Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan

Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan

Jawa TimurOpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar
Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan

[adinserter block=”1″]

Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan

Jawa TimurOpiniOpini Pelajar
1K views
Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan
Bukan Nikah Muda yang Kita Butuhkan, Tetapi Menikahkan Ide dan Gagasan

Suatu waktu ketika sedang berdiam diri di tempat tinggal saya kedatangan salah seorang teman yang sudah lama tidak bersua, sekitar satu sampai tiga bulanan. Waktu yang cukup lama di tengah kondisi pandemi yang menjadikan situasi serba susah. Ketika teman saya mendatangi kediaman saya, dia secara antusias seakan-akan sudah tidak sabar lagi mengucapkan kalimat yang sudah tertahan di balik mulutnya. Dia mengatakan bahwa akan mantu.  kata itu dalam bahasa Jawa, jika diartikan dalam bahasa Indonesia yang artinya akan menikahkan atau menjodohkan putra-putrinya.

Sontak dalam hati saya kaget. Bagaimana tidak, lah wong teman saya menikah saja belum, apalagi memiliki buah hati yang siap untuk dinikahkan. “Mantu gundulmu, sopo sing kok mantuno? Umak wes gendeng a?” timpal saya dengan logat bahasa ngegas khas Jawa Timuran aksen Malang walikan. Kira-kira kalau diterjemahkan artinya, “Siapa yang akan kamu nikahkan? Kamu gila ya?”  lalu teman saya dengan tenang memberikan klarifikasi bahwa yang ingin dia nikahkan bukan tentang (siapa) tetapi (apa).

Arti Pernikahan

Sebuah metafora kejutan untuk kita semua yang sudah lama mengkonstruksi alam pikir kita tentang arti sebuah pernikahan baik dari sisi bahasa, makna, sosial dan agama. Bahkan sebagai tradisi hajatan yang kerap kali tetangga ikut andil menjadi seperti supervisor dalam menentukan indikator keberhasilan program.

Kembali ke teman saya tadi. Lalu apa yang sebenarnya ingin dia nikahkan? teman saya menjawab bahwa yang ingin dia nikahkan adalah ide dan gagasan. Wuahh, ketika dia bilang seperti itu mungkin dia sudah seperti makan odading mang oleng yang rasanya seperti menjadi iron man. Ya kali, untungnya iron man mati syahid di film Avengers: End Game, bukan mati sangit seperti para kaum teroris.

Ketika mendengar ucapan bernada progresif-optimis dari teman saya itu tadi. Seketika saya langsung mencerna, mendalami, otak-atik gatuk dan kira-kira apa yang bisa dikaitkan dengan fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita dengan pandangan saya sebagai kader IPM sebagai gerakan keilmuan. Bukan gerakan populis sebagai penentu akhlak-moral apalagi sampai membuat klaim bahwa kita adalah yang paling syar’i dan harus diikuti, misalnya. Pantas saja keilmuan, karena memang tujuan pertama IPM adalah membentuk pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil.

Saling Memahami

Ilmu dulu baru akhlak. Dengan asumsi bahwa jika kita menuntut ilmu secara serius, konsisten, tawadhu dan jujur maka di situ akhlak akan terbentuk. Karena dalam keilmuan yang sebenar-benarnya, secara derivatif kita mendapatkan buah akhlak dan bunga keterampilan. Kok bisa? sebagai contoh hubungan antara murid/mahasiswa kepada guru/dosen dalam hal bimbingan penelitian. Kita belajar penelitian, kita boleh salah tetapi tidak boleh bohong yang akhirnya ada revisi. Kita tidak boleh marah, menyerah dan putus asa ketika mendapatkan revisi berkali-kali. Di situ pentingnya kesabaran dan tawadhu (akhlak) lalu kita dituntut untuk terus menjalin (keterampilan) komunikasi kepada guru/dosen tersebut agar bisa saling memahami apa yang sedang diinginkan.

Saling Berkolaborasi

Gerakan populis Islam yang saya maksud pada paragraf sebelumnya memiliki banyak pola alur logika. Salah satunya adalah narasi bahwa seolah-olah dunia dipenuhi dengan kedzaliman, ketakutan segera hijrah, keromantisasi pengorbanan orang tua. Ditambah lagi matahari terbit dari barat atau tiupan terompet sangkakala itu seakan-akan terjadi esok hari.

Maka satu-satunya solusi untuk mengatasinya adalah menyegerakan pernikahan dengan dalih yang ampuh yaitu “Mumpung masih muda, orang tua masih ada, rezeki masih ada, belum kiamat dan lain-lain.” Ini kalau dalam penelitian antara latar belakang masalah dan rumusan masalah tidak koheren. Kalau masalahnya A maka rumusan masalahnya juga A. Kalau lapar solusinya ya makan, ngantuk ya tidur dan lain-lain.

Jika ada kedzaliman, kebathilan, kemunkaran, kerusakan muka bumi maka solusinya adalah apa upaya kita untuk mengurangi itu semua atau bahasa yang lebih kasar lagi adalah memperlambat datangnya kiamat dengan inovasi keilmuan yang kita miliki sesuai latar belakang akademik dan komunitas yang nantinya akan dinikahkan atau dikawinkan. Bahasa yang lebih ngetrend adalah saling berkolaborasi. Bukan malah saling balapan cepat-cepatan untuk menikah. Apalagi meromantisasi bahwa menikah adalah satu-satunya goals yang harus dicapai. Seolah-olah dunia ini tergambar dari start menuju finish, padahal tidak ada yang benar-benar start dalam start. Juga tidak ada yang benar-benar finish dalam dalam finish. Bisa jadi start adalah hasil finish sebelumnya atau finish yang kita gapai hanyalah permulaan.

Merancang Masa Depan

Nikah muda yang saya maksud bukan dalam batasan usia, kedewasaan, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang saya yakin itu semua bisa diatasnamakan hak, kewajiban dan konsensus antara kedua belah pihak. Tetapi lebih kepada konteks landasan narasi epistemologis yang dibangun seperti penjelasan pada paragraf sebelumnya. Karena setiap konsep yang mencuat dalam diskursus dan wacana ada batasan-batasan dan kondisi sosial yang mengiringinya.

Konsekuensi yang harus kita jalani sebagai generasi pelajar bekerkemajuan yang membawa aras keilmuan dalam kehidupan sosial adalah kita tidak boleh silau dengan hal-hal yang sifatnya populer tetapi sebenarnya nihil akan problem solving yang dihasilkan seperti gerakan dan narasi yang ada pada paragraf sebelumnya. Masih banyak yang kita pikirkan dan lakukan selain terburu-buru jatuh cinta dan menikah.

Bahwa ada teman kita yang menikah kita patut dan wajib untuk merasakan kebahagiaannya. Namun, jika kita semangat dan lebih tertarik membahas pernikahan dalam ekosistem keilmuan di IPM daripada membahas bagaimana meraih beasiswa kuliah luar negeri misalnya atau membawa IPM ke kancah internasional. Maka saya memprediksi gerakan IPM ke depan hanya akan dipenuhi dengan romantisme perjuangan belaka. Bukan spirit kuriositas untuk terus menggali sumur sampai air mata kita dan mata air sumur tersebut dapat menyatu dalam ide dan gagasan menjadi sebuah karya. Jika teknologi menikah dengan entrepreneur bisa menjadi technopreneur. Ekonomi dengan ekologi menjadi ekonomi regenerative. Fisika kuantum bersama ahli neuro sains, biologi molekuler, etnograf, aktuaria, dan lain-lain bisa kita membayangkan ahli-ahli ini berkumpul bisa menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi untuk ikatan dan kemanusiaan universal. Jadi, kapan kita bisa menikahkan ide dan gagasan kita berdua untuk merancang dampak yang lebih besar lagi, dik?

*) Catatan:

  • Penulis adalah Nashir Efendi Ketua Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur 2018-2020.
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Tags:
Sekolah Advokasi Pertama di Banten, Tumbuhkan Budaya Penggagas
Menunggu “Perang” Gagasan Bakal Calon PP IPM
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.