Berbicara Deforestasi, Peradaban Kita Bukan untuk Hari Ini Saja

Berbicara Deforestasi, Peradaban Kita Bukan untuk Hari Ini Saja

OpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Berbicara Deforestasi, Peradaban Kita Bukan untuk Hari Ini Saja

OpiniOpini Pelajar
1K views

Beberapa waktu lalu tepatnya pada 4 November 2021, Presiden Indonesia Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa pakde Jokowi baru saja berkomitmen melindungi hutan di acara iklim COP 26 bahkan Indonesia sendiri telah menjadi salah satu dari 100 negara lebih yang berjanji zero deforestasi. 

Lalu mengapa pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti? Sampai bawa-bawa nama emisi karbon atau deforestasi segala. 

“Pembangunan besar-besaran era presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. “

Kok rasanya bencana alam seakan disepelekan? 

Naiknya Suhu Global

Padahal, IPCC melaporkan bahwa suhu bumi lebih panas dari yang diperkirakan, suhu global diprediksi naik hingga dua derajat Celcius pada tahun 2060, hal ini berakibat pada fenomena cuaca ekstrem yang berakibat bencana alam. Seperti yang baru-baru saja terjadi di tahun 2021, banjir di Kalimantan Selatan, gempa di Sulawesi Barat, banjir dan longsor di Manado, dan lain sebagainya yang merupakan dampak dari krisis iklim. 

“Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama halnya dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.”

Langgengnya Deforestasi

Iya tapi jangan deforestasi besar-besaran juga, segala pembangunan yang diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat punya kapasitas, kadar, dengan mempertimbangkan proporsi antara tujuan, manfaat bahkan dampaknya terhadap keseimbangan ekosistem dan lingkungan sekitar. Beda cerita jika yang ingin dicapai adalah kesejahteraan rakyat pemodal.

Jangan lupa akan mandat Undang-Undang nomor  28 TAHUN 2002 di poin ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP.

“Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.”

Jika menghentikan pembangunan disangka melawan mandat Undang-undang Dasar, lalu pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan lingkungan sekitar dan bencana alam mendatang dianggap apa?

Sepertinya pembahasan kita semakin kompleks, izinkan saya menyeruput kopi terlebih dulu. 

Baik, kita lanjut.

Salah satu contoh langkah pemerintah Indonesia yang berpotensi terhadap deforestasi besar-besaran ialah agenda pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Yang kita ketahui bersama bahwa kalimantan kaya akan potensi sumber daya hutan. Hutan Kalimantan yang begitu indah, harus menjadi korban birokrasi demi dalih tata ruang potensial. 

Bahkan, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengatakan ibu kota baru akan dibangun di Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, yang terdiri dari hutan produksi, hutan lindung, dan hutan yang digunakan untuk penelitian Universitas Mulawarman. Di bagian Selatan, terdapat Bukit Bangkirai, yang merupakan pusat konservasi orang utan.

Memang, Isran memastikan ibu kota itu hanya akan dibangun pada bagian hutan produksi, atau area yang menurut regulasi dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Tapi, bagaimanapun hutan produksi juga hutan yang menjadi mata pencarian masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab atas pencarian nafkah masyarakat serta menjamin kesejahteraan jika pekerjaan yang disiapkan tidak memenuhi kebutuhannya?.

Berdasarkan laporan dari salah satu organisasi non-pemerintah (non-governmental organization/NGO), World Wide Fund (WWF) tahun 2017, hutan di Kalimantan masuk dalam salah satu paru-paru terbesar di dunia. Luasnya mencapai 40,8 juta hektare. Jika sebuah kota besar benar-benar akan dibangun di kawasan borneo, maka tentu potensi kerusakan hutan yang ditimbulkan sangat besar pula. Bayangkan saja, akan ada berapa banyak penduduk sekitar yang hidup melarat akibat terlanjur menggantungkan mata pencahariannya pada sumber daya hutan, akan ada berapa banyak satwa yang habitatnya di renggut dan digadaikan dengan proyek konstruksi semata? 

Jika alasan pemindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan sebab kondisi Ibu Kota lama yang kian padat nan sesak, Ketersediaan lahan yang melimpah serta potensi bencana yang minim. 

Tidak menutup kemungkinan 20 tahun kedepan, Kalimantan sebagai Ibu Kota baru pun kian padat nan sesak, ketersediaan lahan tak lagi berlimpah, serta berpotensi bencana yang ekstrem,  bukan?

Sama halnya dengan kondisi akses jalan di Kalimantan maupun di Sumatera yang tidak begitu memadai karena harus melewati kawasan hutan, beserta 34 ribu desa yang juga berada di kawasan hutan dan sekitarnya dijadikan satu dari banyaknya alasan menolak paksaan Indonesia untuk zero deforestasi.

“Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Kalau konsepnya tidak ada deforestasi berarti tidak boleh ada jalan? Deforestasi kan supaya bisa memberikan akses bagi rakyat agar tidak terisolasi.” Pungkas Seorang Menteri LHK kita. 

Tapi nyatanya, menurut grafik luas IPPKH (Ha) per periode oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan ( PKTL) KLHK, bahwasannya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) lebih banyak diberikan kepada sektor tambang dari pada non tambang seperti jalan tol, jalan umum, jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, migas, geothermal dan lain-lain.

Bicara soal kepentingan rakyat, lantas mengapa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan IPPKH lebih banyak diberikan kepada sektor tambang, bukan kepada pembangunan infrastruktur.

Oke kalau hari ini krisis iklim, global warming, atau perkara muram lainnya belum mendapat perhatian, kepedulian, serta seakan disepelekan. Coba pikirkan bagaimana dengan beberapa tahun ke depan, tercatat bahwa generasi Alpha (lahir 2010-2020) diprediksi akan menghadapi paparan kondisi iklim kekeringan, banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan tujuh kali lebih ekstrim daripada generasi sebelumnya. 

Pesan untuk Pemegang Kekuasaan yang Tersayang

Maka dari itu, ada empat hal yang penulis ingatkan pada pemimpin saat ini agar kita semua bisa keluar dari ancaman terburuk krisis iklim. 

  1. Stop proyek bahan bakar fosil;
  2. Menetapkan rencana pengurangan separuh emisi global pada tahun 2030
  3. Aturan tegas pengurangan emisi karbon tanpa pengecualian;
  4. Komitmen finansial untuk sejumlah negara rentan terkena dampak iklim, khususnya Indonesia.

Jika hari ini suara gagasan kami terabaikan begitu saja, kita semua tahu, siapa penanggung bencana-bencana di masa depan. Stop basa-basi, kami butuh aksi bukan narasi apalagi klarifikasi !

  • Penulis adalah Adinda Rahmadhani. Sekretaris Bidang PIP Pimpinan Cabang IPM Tarakan Tengah. Ia memiliki hobi membaca, menulis, traveling. Bisa terhubung melalui  akun instagramnya @Adindarhmdii ataupun surel Adindarahmadhani0202@gmail.com
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

 

 

PW IPM Kalsel Bantu Kurangi Emisi Karbon
Student Earth Generation: Mulai dari Mana ?
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.