Banyak masyarakat membaca karya sastra hanya sebagai hiburan, padahal di dalamnya terdapat banyak nilai yang dapat digunakan sebagai bahan renungan untuk berpikir dan bertindak. Karya sastra, secara umum, merupakan karya tulis yang dituangkan dengan olah kreatif dan mengandung imajinasi yang dominan. Oleh karena itu, banyak yang menyamakan antara karya sastra dengan karya fiksi karena mengandung unsur imajinasi yang dominan. Meskipun mengandung unsur imajinasi atau rekaan, karya sastra tidak sekadar ditulis oleh pengarangnya secara tidak sadar, karya sastra ditulis oleh pengarangnya untuk tujuan tertentu tidak sekadar untuk hiburan saja.
Dunia sastra tidak lepas dari dunia pengajaran. Orang-orang terdahulu menjadikan sastra sebagai bahan pengajaran yang sampai sekarang masih terus dipertahankan. Misalnya, cerita Kancil Mencuri Timun yang selalu didongengkan oleh orang tua kepada anaknya mengandung pengajaran yang sangat bermakna. Karena banyak orang yang mendongengkan, cerita tersebut tersebar luas dengan versinya masing-masing, bahkan cerita tersebut tersebar hingga di luar kawasan Melayu. Dari satu contoh tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa karya sastra tidak hanya sekadar untuk hiburan, tetapi mengandung pengajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari.
Pada dasarnya, karya sastra terbagi atas tiga genre, yaitu puisi, prosa, dan drama. Dari ketiga genre tersebut, masing-masing dapat digolongkan ke dalam dua jenis sastra didasarkan pada isi ceritanya, yaitu karya sastra populer dan karya sastra serius. Baik karya sastra populer maupun serius, memiliki nilai pengajaran yang tinggi. Yang membedakan keduanya hanyalah tingkat kerumitan dalam pemahaman ceritanya.
Keberadaan karya sastra tidak pernah terlepas dari pengarang. Pengarang membuat sebuah karya tidak pernah lepas dari tiga hal, yaitu alam sebagai tempat mencari inspirasi alur dan latar cerita, kebudayaan sebagai tempat mengolah pikiran, dan Tuhan sebagai tempat pengarang bernaung dalam proses hidup. Artinya, karya sastra muncul tidak sekadar sebagai sebuah fiksi, tetapi diramu berdasarkan proses kreatif yang memadukan ketiga hal tersebut, yaitu alam, budaya, dan Tuhan. Oleh karena itu, setiap karya sastra yang dibaca pasti memiliki pelajaran yang bisa dipetik, hanya saja pembaca belum tentu bisa menangkap nilai dari karya sastra tersebut. Selain itu, karya sastra tidak semata-mata muncul karena rekaan dan proses kreatif dari pengarangnya. Karya sastra muncul karena adanya karya sastra sebelumnya yang memiliki keterkaitan. Misalnya, novel-novel karya Kuntowijoyo selalu ada kaitannya dengan novel sebelumnya.
Selanjutnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk tujuan tertentu. Karya sastra populer biasa diciptakan untuk hiburan dan dapat dibaca sekali usai. Karya sastra serius biasanya mengandung nilai kehidupan yang sangat tinggi. Novel-novel karya Kuntowijoyo mengandung pesan kritik sosial yang mendalam dan bisa menjadi bahan renungan pembaca hingga saat ini. Puisi-puisi Chairil Anwar berisi sajak-sajak perjuangan yang bisa menjadi penyemangat pembaca. Novel-novel karya Buya Hamka mengandung pengajaran agama yang sangat tinggi. Pengarang-pengarang tersebut menciptakan karya karena dalam budaya kehidupannya ada yang perlu dibenahi kemudian dituangkan dalam bentuk fiksi menggunakan pergumulan alam sebagai latarnya serta berpikir kreatif dengan merangkai pikiran yang diberikan oleh Tuhan. Oleh karena itu, sangat salah jika karya sastra saat ini hanya digunakan sebagai bahan hiburan dan dianggap tidak memiliki peranan dan nilai.
Jauh sebelum pengarang-pengarang Indonesia bermunculan, sastra sejak dulu digunakan sebagai bahan pengajaran di kerajaan-kerajaan. Pada zaman itu, karya sastra dituangkan dalam bentuk hikayat yang memiliki nilai kehidupan yang sangat dalam. Pada tahun-tahun sebelumnya, karya sastra di daratan Melayu disebut sebagai kitab karena dianggap menjadi tuntunan dalam kehidupan. Misalnya, Bustanus Salatin dan Hill Al-Ziil karya Nurudin Arraniri serta Al-Muntahi dan Asrar Al-‘Arifin karya Hamzah Fansuri.
Di kalangan Muhammadiyah, bermunculan tokoh-tokoh yang mendedikasikan dirinya untuk berolah pikir kreatif melalui karya sastra, bahkan karya-karyanya mendapatkan banyak pernghargaan dan diakui dunia. Misalnya, Buya Hamka, Prof. Kuntowijoyo, Prof. Abdul Hadi W.M., Taufik Ismail, dan Musthofa W. Hasyim serta masih banyak lagi. Kuntowijoyo sering menempatkan pandangan dan karakter Muhammadiyah ke dalam latar ceritanya yang dikemas secara bagus. Salah satu pengarang muda yang sering menjadikan Muhammadiyah sebagai sumber pikirannya adalah Mahfud Ikhwan. Mereka adalah tokoh dan kader persyarikatan yang patut dihargai dengan membaca serta menerapkan nilai-nilai kehidupan melalui karya sastra yang telah dibuat.
Jauh sebelum itu, Prof. Dr. Siti Baroroh-Baried, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah terlama, mendapatkan gelar guru besar pada usia 39 tahun dan merupakan guru besar perempuan pertama di Indonesia, meneliti karya sastra lama karena dipandang memiliki nilai kehidupan yang sangat tinggi. Pada periode berikutnya, Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah 2000-2010 juga meneliti hikayat Iskandar Zulkarnain karena dipandang memiliki nilai yang relevan hingga saat ini. Kemudian, Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Ketua Majelis Kebudayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1990-an dan salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah juga pernah meneliti puisi-puisi lama karya Hamzah Fansuri.
Berdasarkan hal di atas, penghargaan atas karya sastra telah dilakukan oleh tokoh-tokoh persyarikatan. Mereka memandang karya sastra sebagai sarana untuk memberikan pengajaran kepada generas-generasi berikutnya. Mereka telah mencontohkan dan membawa karya sastra lebih dekat dengan persyarikatan. Namun, generasi muda Muhammadiyah saat ini semakin jauh dari karya sastra, bahkan dikatakan jarang sekali membaca karya sastra hingga pada maksud cerita di dalamnya. Oleh karena itu, tugas generasi muda Muhammadiyah saat ini adalah bersama-sama kembali membaca karya sastra, kembali menghargai karya sastra, dan kembali menjadikan karya sastra sebagai salah satu cara untuk mendapatkan nilai serta pelajaran hidup.
*Catatan
- Penulis adalah Nurcahyo Y. Hermawan Ketua Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) PP IPM, alumnus Sastra Indonesia UGM, sekarang bekerja pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis
3 Komentar. Leave new
[…] harinya, ia fleksibel dalam menggunakan waktunya, ia bisa memilih mau menggunakan waktunya untuk belajar ataupun […]
[…] PR IPM SMA Muhammadiyah Puraseda memiliki spirit untuk terus melakukan hal-hal berguna yang sejalan dengan makna surat Al- […]
[…] LAMONGAN– PR IPM SINGGANG semarakkan Milad Muhammadiyah, dengan berbagai jenis perlombaan di Masjid Istikmal Muhammadiyah Dusun Singgang. Kegiatan […]