Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris

Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris

OpiniOpini Pelajar
2K views
Tidak ada komentar
Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris

Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris

OpiniOpini Pelajar
2K views
Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris
Jalan Membangun Peradaban: Dari Antroposentris Menuju Ekosentris

Peradaban diidentikkan dengan terciptanya kemajuan dalam hidup, bertebarnya sains, dan perilaku-perilaku yang membawa manfaat berkelanjutan. Dalam ruang lingkup IPM, diksi peradaban sangat lekat dan sering didengar sebagai interpretasi dari gerakan progresif.

Jalan yang ditempuh untuk membangun peradaban dimulai dari cara manusia memandang suatu kehidupan. Bagi Ibnu Khaldun, peradaban dibentuk dari kemajuan ilmu pengetahuan. Bisa juga diartikan bahwa peradaban dipengaruhi oleh paradigma yang dianut. Semakin progresif paradigmanya, maka semakin maju peradabannya.

Salah satu isu peradaban yang penting dan mendesak saat ini adalah isu tentang lingkungan hidup. Saya khawatir, bahwa suatu hari nanti kita lupa bahwa segala kemajuan hidup berawal dari apa yang kita temukan di bumi. Narasi yang sama benarnya berbunyi kemajuan semu yang kita bangun, akan menjadi sia-sia bila bumi yang kita tinggali ternyata tidak sehat.

Hal tersebut tentu bertentangan dengan etika bumi. Seharusnya, dalam menciptakan peradaban harus mencakup kesejahteraan manusia disertai dengan keadilan ekologis yang memberikan jaminan atas hak-hak lingkungan hidup. Tidak boleh ada ketimpangan antara keduanya.

Kritik Antroposentrisme

Antroposentrisme merupakan paradigma yang memandang manusia sebagai pusat dari seluruh alam semesta. Secara mendasar, memang tidak ada yang salah dengan pandangan ini. Namun, saat melihat beberapa kegaduhan dan kerusakan yang diatasnamakan pembangunan manusia, barulah muncul kesadaran bahwa ada yang salah dengan antroposentrisme. Sehingga, perlu dikaji dan ditelaah kembali.

Yang menjadi masalah yaitu saat manusia menjadi pemangku kuasa dan kehendak bebas atas semesta. Pertimbangan tertinggi dalam pembangunan hidup hanya didasarkan pada manusia. Tidak perlu didasarkan pada lingkungan hidup. Imbasnya, manusia bebas berbuat apa saja di bumi sekaligus rentan untuk membuat kerusakan-kerusakan.

Membuat kawasan industri, misalnya. Karena penyalahgunaan atas antroposentrisme, manusia bebas memenuhi keinginan dan kepentingannya. Walaupun, di sisi lain malah menggunduli hutan, membuang polusi di udara, bahkan mengotori sungai tanpa mempertimbangkan hak-hak lingkungan hidup di sekitarnya.

Perlunya Ekosentrisme

Di tengah reruntuhan bencana alam dan kerusakan lingkungan yang mulai dirasakan, muncullah inisiatif dan desakan menuju kesadaran yang lebih ekologis. Manusia mulai merasakan bahwa cara pandang antroposentris sudah sangat keterlaluan dalam memperlakukan alam. Maka, hadirlah ekosentrisme, sebagai solusi yang memajukan baik kehidupan manusia juga lingkungan hidup.

Tidak seperti cara pandang sebelumnya, paradigma ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh realitas ekologis. Yaitu, membangun peradaban yang memajukan konstruksi humaniora maupun teknologi masa depan tanpa sedikit pun menindas lingkungan hidup. Peradaban dalam kacamata ekosentris didasarkan pada hubungan timbal balik harmonis antara manusia dengan lingkungannya yang berbagi kemajuan satu sama lain.

Pertikaian Dua Paradigma Atas Alam

Meskipun ekosentrisme jelas lebih baik dan lebih berkeadaban, nyatanya tidak semua orang kemudian beranjak menapaki jalan tersebut. Sampai saat ini, terlihat dengan jelas bahwa di tengah narasi ekologi berkelanjutan (ecological sustainablity), masih ada yang mengambil keuntungan dan membuat kerusakan pada alam. Sehingga, saya menyebut fenomena ini sebagai pertikaian paradigma antara antroposentrisme dengan ekosentrisme.

Mengutip dari Garrard, antroposentrisme ingin menawarkan suatu mindset bahwa alam menjadi indah mempesona selama memliki fungsi dan kegunaan bagi manusia. Perihal apakah kemudian manusia juga sama bergunanya bagi alam, nampaknya kurang diperhatikan dalam gaya antroposentris ini.

Paradigma ekosentris ingin membatalkan pandangan tersebut karena kepentingan manusia tidak menjadi satu-satunya hal yang harus dipertimbangkan. Kepentingan dan kondisi hewan, tumbuhan maupun ekosistem harus dilibatkan dalam perundingan untuk membuat segala keputusan.

Membangun Peradaban Ekosentris

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menaruh perhatian yang besar dalam membangun ekosentrisme. Paling tidak, bagi saya ada tiga hal bisa dilakukan.

Pertama, Gerakan Kreatif-Kolaboratif. Untuk menghadirkan spirit gerakan ini, perlu dimulai dari memupuk ekoliterasi yang digagas oleh Capra. Hal tersebut menjadi landasan untuk membangun gerakan pelajar yang dilakukan secara kolektif.

Saya pikir, saat ini kita semua sepakat bahwa pemaknaan literasi tidak hanya membaca-menulis. Melainkan sudah sampai pada fase membentuk kesadaran yang dilanjutkan dengan hadirnya gagasan dan karya.

Hal tersebut sejalan dengan karakter IPM sebagai gerakan ilmu. IPM menyediakan wadah gerakan kreatif-kolaboratif melalui spirit membaca-menulis, menggelar forum diskusi, hingga aktualisasi intelektual yang membebaskan, memberdayakan, dan mencerdaskan.

Kedua, menarasikan pesan dan cita-cita ekologis di ruang digital. Di era ini, kita termasuk dalam konstruksi masyarakat digital. Sehingga, seluruh gerakan ‘tatap muka’ harus dibawa dan diteruskan ke dalam dimensi digital.

Sesuai dengan jihad digital Muhammadiyah, IPM juga harus berperan aktif dalam membangun narasi digital. Termasuk dalam mengangkat isu-isu ekologi. IPM harus mengangkat dan memenangkan narasi yang memuat pesan dan masa depan ekologi.   

Ketiga, pembiasaan gaya hidup berkelanjutan (sustainable lifestyle). Yaitu, cara mengonsumsi dan menggunakan sumber daya alam tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Tentu selaras dengan kaidah ekosentrisme.

Hal tersebut dimulai dari pembiasaan hal-hal sederhana dalam keseharian. Seperti mengurangi penggunaan plastik dengan beralih pada tumbler. Juga, menggunakan tas atau totebag saat berbelanja sehingga memangkas penggunaan plastik sekali pakai.

Pembiasaan yang perlu dilakukan juga dengan menggunakan transportasi umum. Bepergian menggunakan bus publik jauh akan lebih menekan emisi karbon yang dihasilkan. Bayangkan saja, 50 orang yang menaiki bus, akan menghasilkan satu kali polusi dari mesin bus daripada 50 orang tersebut menghasilkan 50 asap knalpot dari kendaraan pribadinya.

Kalau pun saat ini di sekitar masih belum maju sistem transportasinya, seperti memakan waktu yang lebih lama, lebih menguras biaya, ataupun yang lain. Maka, mulailah dengan bepergian bersama teman. Bisa juga menggunakan sepeda ataupun berjalan kaki bila jaraknya dekat.

Dari tiga tawaran di atas, saya meyakini bahwa IPM, termasuk pelajar-pelajar di dalamnya, mampu menarik makna dan mengaktualisasikan gerakan ekologi-peradaban yang sejalan dengan visi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Mengutip dari Mufid, bahwa selain membawa visi ilahiyah dan insaniyah, manusia juga mengemban visi kauniah.

Dalam etos kauniah, manusia dipandang sebagai bagian dari alam, hidup bersama, dan bergantung pada alam, tanpa alam manusia tidak dapat survive dan gagal menegaskan esensinya sebagai khalifah pembangun peradaban ekosentris, yang harmonis dengan alamnya.

*) Catatan

  • Penulis adalah Fery Martasonar Ketua Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PW IPM Jawa Timur.
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Tags: , , , ,
IPM Bogor : Audiensi, Kolaborasi, dan Harmonisasi
Tekan Laju Pertumbuhan COVID-19, IPM Tegal Sari II Bagi-Bagi Masker
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.