Terorisme didunia bukan hal yang baru dan sudah menjadi ancaman nyata. Aksi teror menyasar berbagai tempat dan kalangan, mulai dari tempat hiburan, tempat ibadah bahkan pos polisi sekalipun. Tidak terkecuali kejadian yang baru-baru ini mengagetkan warga dunia dengan tragedi teror pada Jumat, 15 Maret 2019 terhadap jemaah di Masjid Al Noor dan Masjid Lindwood, Christchurch Selandia Baru. Puluhan orang dilaporkan meninggal dalam kejadian tersebut. Aksi ini dilakukan secara live streaming dan video tersebar cepat di media sosial. Pengecaman kepada pelaku teror serta belasungkawa terhadap korban dan keluarga korban pun ramai disampaikan warga dunia.
Media mainstream dan sosial secara alamiah melaporkan berita serangan ini dengan cepat. Paparan ini dapat secara signifikan mempengaruhi pandangan dunia dan dapat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Untuk diketahui bahwa serangan teroris sengaja difokuskan pelaku untuk membuat kita merasa ketakutan dan menjadi gelisah. Hal tersebut senada dengan definisi terorisme yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act 1984 yang menyatakan bahwa “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear”.
Tindakan terorisme bertujuan untuk menarik perhatian perorangan, kelompok atau suatu bangsa dengan melakukan aksi yang membuat setiap orang merasa ketakutan. Ibarat pisau bermata dua, terorisme memiliki bentuk berupa teror fisik dan teror mental. Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik (badan) seseorang bahkan sampai menyebabkan kematian, seperti pemukulan/pengeroyokan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Adapun teror mental bisa dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyandraan, menakut-nakuti dan sebagainya. Tindakan terorisme yang memperlihatkan aksinya terhadap korban secara live streaming, mengakibatkan setiap orang atau kelompok merasa tidak aman dan dalam kondisi rasa takut (traumatis).
Pemenuhan kebutuhan rasa aman menjadi hal yang pokok dan sangat diperlukan serta diletakkan pada hirarki kebutuhan kedua menurut Maslow setelah kebutuhan biologis. Artinya kebutuhan akan rasa aman harus terpenuhi pada setiap orang atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lainnya.
Kejadian di Christchurch menyebabkan ketidakamanan saudara kita untuk beribadah sebagai umat beragama dan ketidaknyamanan kita menonton video yang dibuat oleh sang teroris. Ditambah penyebaran yang massif dari kita dengan niat “memberikan” informasi serta bentuk penyampaian duka cita atas tragedi ini justru membuat ketakutan dan kegelisahan. Hal ini menjadi poin yang diinginkan si tukang teror. Resah dan membuat gelisah.
Bentuk keresahan dan kegelisahan yang bisa kita lakukan atas kejadian ini dengan berpikir jernih, bersikap tenang serta tidak memperkeruh suasana dengan pernyataan-pernyataan yang dapat mengundang provokasi atau kegiatan non produktif. Kekuatan doa mampu menjadi support dakwah muslim dan tidak menyurutkan semangat memakmurkan masjid khususnya di Selandia Baru.
Momentum ini juga menegaskan kepada warga dunia yang selama ini mengidentikkan isu terorisme dengan agama, bahwa tindakan teror bisa dilakukan oleh siapapun dan tidak lekat dengan agama tertentu. Ini menjadi penegasan bahwa tidak ada agama manapun yang sesuai dengan isu terorisme. Senada yang dikatakan sebagian ilmuwan yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan agama dengan tindakan-tindakan kekerasan, termasuk yang dikategorikan sebagai terorisme (Naharong, 2013 dalam jurnal refleksi).
Kuy, mulai saat ini kita bersatu, berpadu menjalin ukhuwah untuk memerangi segala jenis terorisme yang tidak ada kaitannya dengan konsep dan nilai beragama serta tidak membuat kegelisahan dan ketakutan dengan menyebarkan video aksi terorisme, karena pembuatan video dan menyebarkannya dikemas oleh teroris untuk membuat ketakutan tersebut.
*) Catatan
- Penulis adalah M. Abid Mujaddid, Ketua PP IPM Bidang Advokasi.
- Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.