Demi Pena dengan Segala Perlawanannya

Demi Pena dengan Segala Perlawanannya

Milad 59 IPMOpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Demi Pena dengan Segala Perlawanannya

Milad 59 IPMOpiniOpini Pelajar
1K views

Saya mengenal Ikatan Pelajar Muhammadiyah (dulu Ikatan Remaja Muhammadiyah) pada saat bersekolah di SMP Islamic Centre Muhammadiyah Cipanas-Cianjur. Saya termasuk siswa yang membenci organisasi IPM. Kenapa? Karena saya melihat ‘ketidakadilan’ yang dijalankan oleh pengurus IPM dalam menjalankan roda organisasi. Sebagai contoh, di sekolah saya Bidang Hikmah dan Advokasi (sekarang Bidang Advokasi) merangkap sebagai Bidang Keamanan yang membantu sekolah untuk menghukum siswa-siswa yang nakal dan melanggar aturan.

Nah, pengurus IPM ini tidak berani atau tidak mau untuk menghukum teman sekelasnya meskipun temannya secara jelas juga melanggar aturan. Oleh karena itu, ketika saya diamanahkan menjadi Pimpinan Ranting IPM, yang kebetulan Bidang Hikmah dan Advokasi, saya menyampaikan kepada teman-teman saya bahwa siapapun yang melanggar aturan dan ada laporan ke saya maka saya akan menghukumnya dengan hukuman yang sama dengan siswa lainnya. Pada saat itu saya mencoba melawan ketidakadilan yang telah berjalan selama bertahun-tahun.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya mengenal IPM lebih dalam dengan aktif di daerah, wilayah, hingga pusat. Dengan mengenal lebih dalam, saya menyadari bahwa IPM dalam perjalanannya tidak lepas dari kata perlawanan. Melawan ketidakadilan yang menimpa masyarakat Indonesia, khususnya pelajar Indonesia.

Tumbuh dengan Perlawanan

Jika saya melihat sejarah IPM, seringkali saya menemukan literatur-literatur yang menyebutkan bahwa IPM berdiri dan dideklarasikan oleh Pemuda Muhammadiyah untuk meredam pengaruh komunis yang pada saat itu sedang mengincar pelajar-pelajar Muhammadiyah. Apalagi IPM dideklarasikan setahun sesudah Partai Masyumi membubarkan dirinya, partai yang banyak diisi oleh kader Muhammadiyah. Disini saya melihat adanya perlawanan dari Pemuda Muhammadiyah yang mencoba untuk menjaga kader-kader Muhammadiyah dari ‘serangan’ luar.

Pada saat saya menjadi ketua apresiasi aeni budaya olahraga, melalui program DiaLogue saya menggagas untuk menghidupkan kembali sastra dikalangan pelajar. Karena bagi saya, sastra memiliki kekuatan perlawanan yang sangat kuat. Seseorang tidak akan mungkin bisa berbicara sastra jika dirinya tidak banyak membaca, baik membaca buku maupun membaca lingkungan di sekitarnya.

Dari tahun ke tahun pergerakan IPM selalu diisi dengan perlawanan atas ketidakadilan bagi pelajar. Perlawanan terhadap keserakahan penguasa dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan pelajar. Contoh yang paling sederhana adalah IPM melawan atas kebijakan-kebijakan pendidikan yang mengambil untung dari pelajar. Sebelum ujian nasional (UN) dihapus atas saran Ayahanda Abdul Mu’ti sebagai Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), IPM selalu menyuarakan perlawanannya untuk menghapus UN.

Bagi saya IPM bisa bertahan dan berkembang sampai berusia 59 tahun karena perlawanannya terhadap ketidakadilan. Jika saja IPM ikut arus atas ketidakadilan, dan bahkan berkawan dengan kekuasaan yang zalim terhadap pelajar, mungkin saja IPM akan ditinggalkan oleh kader-kadernya dan menghilang ditinggal zaman. Pertanyaannya, apakah sekarang kebijakan-kebijakan pemerintah sudah adil terhadap pelajar? Atau IPM sudah terlena dan lebih memilih berkawan dengan kebijakan-kebijakan tersebut?.

Mental Melawan Ketidakadilan

Saya menulis tulisan ini bukan saya membenci IPM, seperti halnya tulisan saya terhadap Nadiem Makarim yang sampai saat ini masih diam tidak melakukan inovasi yang signifikan terhadap dunia pendidikan, saya menulis ini karena saya cinta terhadap IPM. Kadang, perasaan cinta yang begitu besar akan selalu diutarakan melalui tulisan jika kata-kata sudah tidak sanggup lagi diucapkan.

Apakah saat ini pergerakan IPM sudah berani melawan kebijakan-kebijakan yang tidak adil terhadap masyarakat atau pelajar? Atau IPM sudah melihat bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lagi merugikan? Atau IPM sekarang terlena dengan predikat organisasi terbaik hasil kongkalikong dewan juri?.

Jangan sampai diamnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan atas adanya kegaduhan didunia pendidikan saat ini dianggap sebagai hal yang biasa oleh IPM. Diamnya Nadiem bisa berbahaya bagi dunia pendidikan, sebab akan berdampak kepada naiknya angka putus sekolah karena dampak Covid-19.

Satu lagi contoh yang paling sederhana adalah apakah IPM sudah melakukan perlawanan atas hadirnya Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016. Peraturan menteri yang justru menghilangkan Fortasi (Forum Taaruf Siswa) sebagai kekhasan IPM dalam memperkenalkan dirinya kepada kader-kadernya. Mungkin sebagian sekolah Muhammadiyah berani memakai istilah Fortasi, tapi ada sebagian sekolah Muhammadiyah yang ternyata lebih memilih Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Alasannya karena sekolah takut tidak akan dapat anggaran jika memakai Fortasi. Jika untuk hajat sendiri saja IPM tidak berani melawan, maka apakah IPM berani melawan untuk hajat yang lebih besar.

Sudah banyak undang-undang yang akan dibahas dan disahkan oleh anggota dewan, sudah banyak Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang dikeluarkan. Dan sudah berapa banyak IPM melakukan kajian dan perlawanan terhadap regulasi-regulasi tersebut? Mari kita tunggu jawabannya, salam sayang dari saya. Demi pena dengan segala perlawanannya.

*) Catatan

  • Penulis adalah Hanif Alusi (Ketua Bidang ASBO PP IPM 2014-2016).
  • Substansi tulisan sepenuhnya tanggungjawab penulis.
Rayakan Milad 59, IPM Jateng Adakan Nobar Apel Pelajar Melalui Zoom
Mampukah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Mencerahkan Alam Pelajar?
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.