Di dalam mitologi Yunani, ada seorang tokoh jahat yang dikenal dengan nama Procrustes. Procrustes adalah seorang raja yang memiliki sebuah istana di sisi jalan Athena dan Eleusis.
Setiap malam dia selalu mengundang rakyatnya secara bergantian untuk menghabiskan malam di istananya. Siapa saja yang diundang dapat merasakan masakan lezat yang tuan Procrustes sediakan, menikmati seluruh keindahan istana, dan juga tidur di ranjang emas milikinya.
Memang semua itu terkesan sebagai jamuan yang luar biasa, tetapi kekejamannya bermula ketika malam telah tiba. Ketika rakyatnya yang diundang telah berbaring di atas ranjang sang raja tiba-tiba saja dia diikat dengan kuat, kemudian sang raja akan membandingkan tinggi rakyatnya dengan ranjang emas yang dimilikinya. Jika ternyata rakyatnya lebih pendek dari panjang ranjang, maka sang raja akan menarik kaki rakyatnya hingga tingginya persis menyamai ranjang, dan jika ternyata dia lebih tinggi, maka kakinya akan dipotong sampai menyamai panjang ranjang
Sampai saat ini ungkapan “ranjang procrustes” adalah sebuah metafora untuk menunjukan kesewenang-wenangan yang memberlakukan sebuah standar baku kepada setiap orang tanpa melibatkan dirinya sendiri.
Membicarakan fenomena pendidikan, mungkin kali ini kita dihadapkan pada permasalahan serius. Karena jika kita lihat dengan seksama, fenomena pendidikan yang terjadi pada hari ini mirip dengan mitologi yang telah kita bicarakan di atas.
Hari ini sebuah institusi pendidikan berlaku layaknya ranjang agung yang menjadi arena penyesuaian minat dan bakat peserta didik sesuai dengan keinginan para elit global.
Ketika memasuki sekolah, tidak sedikit diantara peserta didik yang justru semakin kehilangan jati diri mereka. Mengapa? Karena jika minat dan bakat mereka tidak sesuai dengan sebuah ranjang pendidikan, maka dengan cara apapun mereka akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengannya, terlepas mereka suka ataupun tidak. Dan jika ranjang pendidikan tak mampu menanggung tingginya minat dan bakat yang dimilikinya, maka sang penguasa takan segan untuk memotong setiap harap dan bakat mereka sampai sesuai dengan apa yang diharapkan sebuah lembaga.
Jika keadaan ini tidak segera dibenahi, maka mungkin pada akhirnya, alih-alih menjadi ruang pembebas, sekolah hanya akan menjadi tembok pembatas untuk pergerakan pikiran.
Jadi apa yang menyebabkan semua ini? Jawabannya adalah ketidakmampuan kita untuk menjawab pertanyaan “mengapa”. Sadar atau tidak, belakangan ini kita terlalu disibukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan teknis, seperti “bagaimana seharusnya seorang guru mengajar?” “Bagaimana metode yang tepat bagi peserta didik untuk belajar”, dll.
Penulis tidak mengatakan bahwa pertanyaan semacam itu sia-sia. Tetapi akan jauh lebih baik jika kita menyelesaikan dulu pertanyaan fundamental seperti “mengapa kita harus belajar?”. Jika kita tidak bisa menjawab hal itu dengan baik, maka sebaik apapun metode yang kita gunakan dalam belajar, hasilnya akan tetap kurang optimal.
Alasan kuat adalah ruh dalam suatu perbuatan. Sejak zaman dulu kaum terdidik selalu berhasil menjawab pertanyaan fundamental tersebut, sekalipun tidak ada satupun dari mereka yang memiliki keserupaan tujuan, karena memang kebutuhannya berbeda-beda.
Rasulullah SAW mendirikan sebuah “institusi pendidikan” di rumah salah seorang sahabatnya yang bernam Arqam Bin Abi Al-Arqam untuk mendidik jiwa para sahabatnya yang baru saja berhasil keluar dari praktik pagan masyarakat arab kuno. Orang-orang Yunani dulu mendirikan shcole atau sekolah untuk mengisi waktu luang mereka. Dan masyarakat mesir kuno dulu melakukan praktik pendidikan untuk menunjukan rasa syukur kepada para dewa. Sekalipun memiliki tujuan yang berbeda, kita tahu bahwa tiga model pendidikan diatas berhasil membangun peradaban yang luar biasa.
Mengapa? Bukan karena masalah geografis, metodologis atau hal lainnya. Tetapi berkat kemerdekaan mereka dalam berpikir yang memungkinkan mereka bebas berekspresi secara aktif di lingkungannya masing-masing
Ketika sahabat mengikuti pendidikan ruhani yang dipimpin oleh rasulullah, mereka melakukannya bukan karena paksaan atau ancaman, tetapi mereka melakukannya karena kesadaran yang didasari pada cinta. Begitupun hal nya dengan masyarakat Yunani ataupun Mesir Kuno. Mereka yang kini menjadi seorang filsuf besar terlahir bukan dari seorang yang tidak merdeka dalam pikiran. Baik Plato, Aristoteles, Zeno, ataupun yang lainnya bebas memilih guru dan cabang ilmu yang mereka gemari, terlepas dari siapa dan metode seperti apa yang mereka dapatkan, yang penting mereka bisa mengisi waktu kosong mereka untuk belajar.
Kemerdekaan berpikir seperti inilah yang semakin hilang dari jiwa para pelajar. Pelajar hari ini dituntut belajar bukan untuk memenuhi kebutuhan jiwa, tetapi untuk memenuhi kebutuhan hasrat para penguasa. Sehingga, pada akhirnya kita dibuat kerepotan dengan fenomena pendidikan yang bukannya membina tetapi justru membinasakan masa depan para pelajar.
Ketidakmampuan kita menjawab alasan kuat ini akan berdampak pada kurang optimalnya pendidikan menggunakan metodologi atau sistematika pembelajaran manapun.
Perlu kita ketahui bahwa pada dasarnya banyak jalan menuju roma, maksudnya terlepas menggunakan metodologi pendidikan manapun kita sebenarnya memiliki potensi yang sama dalam menggapai kesuksesan.
Tetapi, untuk apa kita mengetahui jalan terbaik dan tercepat menuju roma, sedangkan kita sendiri tidak tau mengapa kita harus pergi ke roma?
Sekarang apakah ada tujuan pendidikan yang bisa kita terapkan untuk semua orang? Secara umum mungkin ada, walaupun perinciaannya, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, akan berbeda-beda.
Kita tau bahwa Islam selaku agama rahmatan lil’alamin mengedepankan jiwa seorang intelek, salah satu buktinya bisa kita lihat dari perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Ketika wahyu pertama kali turun, Nabi Muhammad tidak diperintahkan untuk shalat, zakat, nyeleding Abu Jahal, atau ngebaperin Siti Khadijah. Perintah pertama yang beliau terima adalah perintah untuk membaca. Bahkan, sebenarnya makna iqra jauh lebih dalam dari sekedar membaca, karena di dalam bahasa arab kata ini digunakan untuk menghimpun beberapa kata mulai dari membaca, mengkaji, mentadaburi, dll.
Permulaan surat ini dimulai dengan perintah membaca secara mendalam (iqra), dan di akhiri dengan perintah untuk melakukan suatu aksi (wasjud waqtarib). Ini artinya konsepsi pendidikan yang diajarkan islam adalah bagaimana kita bisa mentransformasikan setiap kajian filosofis yang kita pelajari ke dalam perbuatan aktual yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan diri sendiri.
Menariknya, konsepsi tersebut diletakan di dalam surat Al-Alaq, yang secara literal memiliki arti dasar “suatu hal yang melekat”. Ini artinya seakan-akan Allah ingin memberitahukan kepada kita semua bahwa hakikat etos habitus iqra memang harus melekat dalam setiap pribadi seluruh manusia.
Jika kita lihat, keberhasilan Rasulullah, Kiayi Dahlan, Socrates, dan para tokoh intelek lainnya adalah bukti bahwa menerapkan metode Al-Quran yang telah kita bahas dalam segmen pendidikan adalah cara paling ampuh memberikan parameter keberhasilan pendidikan seseorang.
Seseorang pelajar yang dikatakan berhasil bukanlah mereka yang mampu menimbun dan menghafal ribuan bahkan jutaan ilmu dari buku-buku LKS yang mereka dapatkan. Tetapi, mereka yang disebut pelajar berhasil adalah mereka yang secara merdeka mampu mentransformasikan setiap ilmu yang mereka miliki menjadi suatu amalan yang dapat meningkatkan kualitas diri dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT.
Jadi sampai saat ini kita masih ada di dalam kekangan ranjang prokrustes yang membelenggu pikiran dalam diri. Pertanyaannya adalah kapan kita akan membuka mata, berjuang bersama-sama untuk melepas rantai dan memerdekakan diri?
*) Catatan
- Penulis adalah Muhammad Fajar Siddiq, Kader IPM, Alumni MA Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.