Kolaborasi Pendidikan Melalui Komunitas Alternatif Diluar Sekolah Merupakan Treatment Yang Tepat Dan Efektif Untuk Merespon Bonus Demografi di Indonesia

Kolaborasi Pendidikan Melalui Komunitas Alternatif Diluar Sekolah Merupakan Treatment Yang Tepat Dan Efektif Untuk Merespon Bonus Demografi di Indonesia

OpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Kolaborasi Pendidikan Melalui Komunitas Alternatif Diluar Sekolah Merupakan Treatment Yang Tepat Dan Efektif Untuk Merespon Bonus Demografi di Indonesia

OpiniOpini Pelajar
1K views

Pendahuluan

Kolaborasi nampaknya merupakan term yang sedang naik daunnya, mengisi ruang-ruang diskursus kaum millennial dewasa ini. Bagaimana tidak, istilah tersebut menuangkan dirinya sendiri, menjelma secara massif dan ajaib dalam nasihat-nasihat kaum motivator, akademisi pendidikan, public figure di seluruh negeri, bahkan sampai menyelundup di sudut- sudut tongkrongan kopi  malam hari.

Kolaborasi tidak akan pernah bisa terlepas dari peran sentral sebuah komunitas (kelompok sosial yang memiliki ketertarikan dan habitat yang sama) sebagai salah satu pelaku  utama agenda kerja sama. Komunitas memiliki peran yang sangat penting, bahkan dalam sejarahnya, agenda komunitas yang di topang oleh kolaborasi  mampu mengubah tatanan sosial masyarakat pada sebuah Negara : Yakuza di Jepang, Triad di China, dan Cosa Nostra di Italia.

Dalam bahasa kerakyatan kita lebih mengenal kolaborasi  dengan istilah “Gotong Royong”. Ya, istilah kolaborasi sebenarnya tanpa sadar sudah lama diadopsi dan ditransformasi sedemikian rupa menjadi salah satu identitas supreme dan grunom dalam kaidah bernegara bangsa indonesia. Bahkan Soekarno pernah mengatakan bahwa gotong royong merupakan salah satu ruh, filosofi hidup Bangsa Indonesia. Kendati demikian kolaborasi acapkali belum benar-benar di pahami dan diletakan sebagai salah satu spirit utama organisasi kepelajaran dalam membentuk sebuah agendanya.

Pelajar dan Komunitas

Pelajar adalah tonggak kemajuan bangsa kita, salah satu pepatah mengatakan “ Student today is a leader tomorrow”. Pelajar bukan hanya soal umur dan soal dia yang pergi ke lembaga pendidikan. lebih luas dari itu, pelajar adalah dia yang terlibat dengan proses pendidikan untuk memperoleh pengetahuan sepanjang hidupnya.

Pelajar juga selalu diidentikan dengan sekolah sebagai salah satu komunitas belajar popular. Berbicara pelajar pasti berbicara sekolah . seolah sekolah adalah hal yang lebih penting bahkan dari belajarnya itu sendiri.  Wajar saja, hal ini terjadi karena makna sekolah sebagai salah satu komunitas belajar belum benar-benar ditempatkan dengan benar oleh khayalak ramai sehingga hanya menggantungkan harapan Pendidikan kepada sekolah dan mulai menafikan  adanya komunitas- komunitas belajar alternatif lain selain sekolah sebagai tempat belajar.

Proses pendidikan jangan hanya dibebankan kepada sekolah, kolaborasi pendidikan antara sekolah dan komunitas alternative selain sekolah atau disebut juga “komunitas kultural” juga bisa mendorong minat serta bakat kita sebagai proses belajar, bahkan di komunitas kultural  bisa jadi lebih asik, enjoy, dan tentunya tidak di pusingkan dengan sekelumit berbagai urusan administrasi  yang serba birokrasi seperti sekolah, sehingga minat dan bakat kita bisa lebih berkembang secara efektif dan efesien.

Nampaknya idiom “Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah.”  harus ditanamkan kepada pelajar sejak dini. Sekolah bukan hanya satu-satunya komunitas tempat belajar, pun dengan tidak menafikan kelebihan dari sekolah itu sendiri sebagai komunitas. Kita bisa menambal kekurangan wadah menyaluran potensi dan kreatifitas pelajar di sekolah, dengan gerakan kultural melalui komunitas-komunitas minat dan bakat yang tidak terlalu formalistik.

Kebudayaan Sebagai Entitas Komunal

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berbudaya, peradaban bangsa yang besar tumbuh dari akar-akar budaya yang menopangnya.

Presiden Joko Widodo pun berkali-kali menegaskan bahwa Indonesia ialah negara berbudaya. “DNA Bangsa Indonesia adalah kebudayaan”. Budaya merupakan aset besar bangsa yang berharga, bahkan filosofi bangsa kita yaitu pancasila juga beberapa diambil dari nilai-nilai budaya.

Pendidikan saat ini hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan peserta didik. Jika peserta didik sudah mencapai nilai atau lulus dengan nilai akademik memadai/di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), pendidikan dianggap sudah berhasil. Pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa di dalam diri peserta didik semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa bisa membawa kemunduran peradaban bangsa. Padahal, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara.

Kebudayaan sebagai identitas utama pelajar Indonesia harus senantiasa dijaga dan di kembangkan dalam ruang- ruang kolaborasi khususnya yang menyangkut kepelajaran. Karena dengan begitu kita menjadi individu, komunitas, negara yang tetap menghargai kekayaan paling berharga dan bernilai yang berasal dari diri sendiri.

Komunitas Poros Utama Kolaborasi

”Didik dan persiapkanlah anak-anakmu, sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk hidup pada masa yang berbeda dengan masamu” (Ali bin Abi Thalib )

Beberapa Tahun kedepan , Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Artinya sepuluh tahun yang akan datang pelajar-pelajar kita hari ini yang akan menentukan apakah bonus demografi ini menjadi hal yang baik atau buruk bagi bangsa ini.

Komunitas dan kolaborasi menjadi strategi yang yang sangat baik dan menjadi wadah untuk memfasilitasi  minat dan kreativitas pelajar yang dilihat dari prilakunya  memiliki berbagai karakteristik yang berbeda-beda untuk menyambut surplus generasi muda tersebut Kita bisa menambal kekurangan wadah menyaluran potensi dan kreatifitas pelajar di sekolah, dengan gerakan kultural melalui komunitas-komunitas yang tidak terlalu formalistik.

Fahd Pahdepie, salah satu penulis muda terkenal,  penggiat kolaborasi di Indonesia, sekaligus alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyampaikan setidaknya ada tiga segmen atau pilar utama masyarakat yang harus bersatu  untuk membentuk sebuah kolaborasi yang ideal :

(1) kaum muda intelektual: mereka yang memiliki konsep, idealism, gagasan-gagasan mengenai sesuatu (2) Kaum muda Aktivis: mereka yang senantiasa kritis menyuarakan suara, bergelut dan bergulat dalam dunia tarik suara jalanan dan yang ke (3) The Entreupreuneur: para pengusaha.

Kesimpulan

Adanya angka surplus generasi muda merupakan anugrah sekaligus kondisi yang harus direspon cepat oleh berbagai organisasi kepelajaran , tak terkecuali Ikatan Pelajar Muhammadiyah. . Spirit kolaborasi dengan mengembangkan komunitas- komunitas alternatif diluar sekolah merupakan treatment yang tepat dan cukup efektif untuk merespon bonus demografi Indonesia sekaligus menjawab tantangan budaya akhir- akhir ini. Dengan begitu generasi muda khususnya pelajar bisa  memikili ruang mengolah minat dan bakat yang luas sehingga memiliki kecakapan untuk menjalankan cita- cita bangsa di masa depan.

*) Catatan

  • Penulis adalah Ihsan Mughni Hidayat Sekbid Advokasi PW IPM Jawa Barat
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Akun Tidak Resmi IPM, Pentingkah?
Penyebaran Habitus Iqra Di Atas Ranjang Pendidikan Procrustes
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.