Apa itu Merdeka Belajar?
Merdeka Belajar merupakan program sekaligus sebagai gerakan baru di dunia pendidikan Indonesia yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi dan inti dari program ini menurut Mas Menteri, sapaan dari Mendikbud saat ini adalah kemerdekaan berpikir yang harus didahului oleh guru sebelum mengajarkan kepada para muridnya. Nadiem mengatakan bahwasannya dalam kompetensi guru segala level, jika tidak terjadi penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan terjadi pembelajaran yang efektif. Tagline #MerdekaBelajar dan Guru Penggerak menjadi branding utama program ini, di mana dua tagline itu diterjemahkan ke beberapa empat program bagi tingkatan sekolah dan perguruan tinggi. Diantaranya untuk kebijakan sekolah, yaitu (1) Ujian Sekolah Bertaraf Nasional diganti Assesment, (2) Ujian Nasional 2021 dihapus, (3) Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) dipersingkat dan disederhanakan (4) Zonasi lebih di mudahkan. Adapun untuk kebijakan perguruan tingi yang terangkum dalam satu Gerakan “Kampus Merdeka”, yaitu berupa: (1) Pembuatan Program Pendidikan (Prodi) baru, (2) Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi (PT), (3) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), dan (4) Hak belajar tiga semester di luar Program Studi.
Visi Dasar Merdeka Belajar Mas Menteri
Melihat beberapa kebijakan oleh Nadiem Makarim di atas memang ada sebuah keinginan darinya untuk menciptakan suasana baru didalam proses pendidikan. Pembebasan, penyerdehanaan serta pengefektifan segala interaksi bagi peserta didik maupun pengajar merupakan target utama capaian gerakan tersebut. Konsep merdeka belajar ala Nadiem Makarim ini mendorong suasana yang belajar dan bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian atau nilai tertentu. Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang dalam paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia, Jakarta, pada 11 Desember 2019. Beberapa alasan yang mendasari menyusun program ini adalah, menurut penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan bahwa hasil penilaian terhadap siswa Indonesia hanya menduduki posisi ke 74 dari 79 Negara. Maka, menyikapi hal tersebut, Nadiem pun membuat gebrakan penilaian yang dalam kemampuan minimun, meliputi literasi, numerasi, dan survei karakter. Literasi bukan hanya sekadar dinilai kemampuan membaca saja, akan tetapi kekampuan isi bacaan beserta memahami konsep dibaliknya. Untuk kemampuan numerasi, yang dinilai bukan sekadar matematika saja, akan tetapi penilaian terhadap kehidupan nyata. Satu aspek sisanya, yakni Survei Karakter, bukanlah dites berbentuk soal saja, melainkan pencarian sejauh mana penerapan asas-asas Pancasila oleh Siswa.
Merdeka Belajar, Tak Boleh Anti Kritik
Sekalipun konsep merdeka belajar dan kampus merdeka memiliki daya tarik yang menggiurkan untuk menjawab problematika pendidikan saat ini, akan tetapi beberapa beberapa harus kita kritisi bersama agar terjadinya check dan balance antara subjek (Pemerintah) dan Objek (Peserta Didik). Pastinya yang paling diprioritaskan mengenai hal tersebut adalah sumber daya manusianya yang memadai. Di mana kualitas guru yang seharusnya dipenuhi dan ditingkatkan terlebih dahulu. Lalu bagaimana cara meningkatkan kualitasnya, pastinya salah satunya dengan meningkatkan taraf kesejahteraanya. di mana guru saat ini, tidak sedikit yang menerima gaji yang jauh dari kata cukup, terutama guru honorer. Nasibnya pun tak jarang dipandang sebelah mata, sehingga jika hal tersebut masih banyak terjadi, maka misi gerakan tersebut akan sulit tercapai. Sekalipun memang dalam sistem penerimaan gaji yang diberikan pemerintah kepada guru yang bersangkutan, hanya diberikan kepada guru yang menjadi PNS. Selain itu juga, fasilitas sekolah yang ada harus memadai untuk mendukung proses belajar mengajar di sekolah, agar apa yang ada di RPP betul-betul dapat terlaksana secara efektif dan efisien dan antara guru dan siswa hak dan kewajibannya dapat terpenuhi semuanya.
Kampus Merdeka, Sistem Pendidikan Liberalkah?
Lain hal dengan kebijakan yang ada disekolah, jika sekolah fokus terhadap penataan pembelajaran dan perangkat pendukungnya, di kampus lebih kepada penyederhanaan konsep kuliah dan penyiapan lulusan yang akan menjadi sarjana. Jika dilihat empat kebijakan yang ada di Gerakan #KampusMerdeka, keempatnya mengarah pada link dan match, yaitu bagaimana pendidikan tinggi bisa tersambung dan relevan dengan kebutuhan tenaga kerja, atau lebih tepatnya menciptakan para pekerja-pekerja di masa depan. Tak bisa dinafikkan lagi, hal ini sudah menjadi “rantai setan”, bahwasannya pendidikan selama ini tidak nyambung dengan dunia kerja. Sehingga visi pendidikan di sini keluar jalur atau melenceng dari tujuan utamanya, yakni memanusiakan manusia, sehingga hal ini akan mengarah kepada konsep liberalisasi pendidikan. Di mana kita ketahui bersama, bahwa ciri utama dari ideologi liberal adalah berusaha menyesuaikan pendidikan dengan ekonomi dan politik diluar pendidikan. Maka terjadilah pendidikan menjadi “bisnis sosial” yang berorientasi pada “pasar kerja”, pendidikan sebagai proses “rekonstruksi sosial” menciptakan “insinyur sosial” yang mampu menciptakan “lapangan pekerjaan”. Seharusnya memang pendidikan diarahkan untuk mahasiswa dapat berpikir dinamis dan taktis ditengah zaman yang sangat komplek, sehingga mereka bisa menjadi agent of problem solving di masyarakat.
Merdeka Belajar untuk Indonesian Gold 2045
Pada akhirnya konsep merdeka belajar ataupun guru penggerak dan kampus merdeka bukan sekadar kumpulan konsep yang nol dampaknya bagi Pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak mau kalau hanya diciptakan sekadar menjadi buruh, akan tetapi Indonesia harus bisa mencapai taraf CEO bahkan Owner dari sebuah perusahaan atau organisasi. Dan pastinya konsep entah dari Mendikbud dan lain-lain nya mengenai Pendidikan di Indonesia, benar-benar mampu menjadi pemecah masalah tahunan, sehingga dapat memberikan wajah baru Pendidikan di Indonesia, guna menyiapkan untuk menyambut Golden Generation in 2045, di mana Indonesia akan genap berusia 1 abad, serta menjadi puncak bonus demografi Indonesia. di mana jumlah usia produktif ( 15-64 tahun), saat itu 79% akan lebih banyak dibandingankan dengan usia non produktif (Usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).
*) Catatan
- Penulis adalah Faiz Arwi Assalimi Ketua Bidang Advokasi PD IPM Kota Yogyakarta 2019-2021
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.