Muktamar XXI Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan sebuah ajang permusyawaratan tertinggi dalam organisasi otonom Muhammadiyah tersebut. Forum Muktamar membahas segala hal yang berkaitan dengan keberlangsungan roda organisasi mulai dari pertanggungjawaban dan pergantian pimpinan, strategi pergerakan, agenda aksi, dan segala permasalahan yang dianggap harus dibahas secara nasional. Sebelum forum ini berlangsung, saya berniat menulis sebuah gagasan pribadi hasil dari pandangan analitik saya yang bersifat subjektif.
Permusyawaratan tertinggi ini merupakan salah satu peluang yang paling besar dalam melempar gagasan-gagasan besar yang tentunya berskala nasional atau lebih lagi berpotensi memberi dampak secara nasional bahkan global. Banyak sekali isu-isu yang dapat dilemparkan dalam forum ini, namun tentunya akan terseleksi secara kualitatif karena yang dibutuhkan adalah gagasan-gagasan yang strategis, taktis dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Muktamar sebelumnya atau forum-forum nasional lainnya menelurkan banyak ide dan gagasan hasil dari diskusi terbatas para kader yang mengikutinya. Saya sebut terbatas karena memang terbatas oleh waktu dalam pendiskusiannya, terbatas oleh referensi dan data yang diperoleh, serta terbatas oleh kemampuan sumberdaya manusia atau subjek penggagas itu sendiri. Namun semua keterbatasan ini harus tetap diapresiasi karena merupakan ikhtiar yang dilakukan untuk kebaikan ikatan.
Secara spesifik, dalam Muktamar yang menjadi pelempar gagasan-gagasan tersebut adalah tim materi yang sudah disepakati dalam Tanwir dengan mekanisme memilih wilayah yang nantinya mengutus kader terbaiknya. Hal ini memang sangat diperlukan untuk merancang draft awal materi. Walau materi sudah dirancang oleh tim materi, tidak menutup kemungkinan adanya usulan gagasan dari peserta Muktamar. Dengan keterbatasan waktu yang ada, seharusnya forum Muktamar dapat mengapresiasi dan mempertimbangkan segala usulan gagasan dari musyawirin. Keterbatasan waktu Muktamar ini memang mengharuskan terbentuknya mekanisme sidang yang taktis namun tetap apresiatif. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan yang diusulkan tersebut harus ditulis sebagai referensi agar dialektika yang bersifat oralis dapat lebih efisien untuk disampaikan.
Namun di sini terdapat kekurangan yang menjadi keterbatasan kualitas gagasan-gagasan yang dilempar yaitu data penguat gagasan masih sangat jarang muncul. Data secara kuantitatif ataupun kualitatif pernah dimunculkan dalam Muktamar XX untuk mendukung gagasan agenda aksi. Tapi data tersebut diambil dari luar internal IPM dan belum didukung oleh data yang diperoleh dari hasil survei atau riset dalam ruang lingkup IPM. Hal ini menjadikan reliabilitas data diragukan karena belum tentu apabila dilakukan riset internal IPM akan menunjukkan hasil yang sama dengan data eksternal IPM walau data yang disajikan diambil dari lembaga terpercaya dan berskala nasional maupun internasional.
Masalah autentifikasi data ini perlu menjadi kesadaran bersama secara serius. Menjadikan IPM sebagai sebuah organisasi yang berbasis riset merupakan sebuah impian yang sangat relevan karena hal tersebut sangat sesuai dengan jati diri IPM sendiri yaitu gerakan ilmu. Dapat dibayangkan apabila setiap keputusan pimpinan dalam IPM didasari oleh hasil riset. Contoh yang sudah pernah dilakukan adalah keputusan terkait dikembalikannya Bidang Ipmawati dalam struktural IPM. Fauzan Anwar Sandiah dalam tulisannya yang berjudul “Bidang Ipmawati sebagai Platform Emansipasi IPM” menyajikan data-data autentik hasil review pemetaan yang dilakukan oleh Ahmad Sarkawi. Data ini sangat mendukung rasionalisasi pentingnya Bidang Ipmawati dalam struktural IPM. Apabila setiap keputusan pimpinan IPM didasari oleh data hasil survei yang autentik (survei atau penelitian yang dilakukan dengan IPM sebagai objek penelitian) di atas, maka keputusan pimpinan IPM khususnya dalam tingkatan nasional dan juga regional akan tepat sasaran dan secara real memecahkan masalah di tataran grass root.
Banyak berbagai permasalahan yang belum bisa dipecahkan oleh Pimpinan Pusat IPM sekaligus Pimpinan di bawahnya. Salah satunya adalah penolakan Sistem Perkaderan IPM (SPI) yang baru dengan argumentasi bahwa substansi teknis SPI yang baru ini sulit untuk dipahami dan tidak sesuai dengan budaya organisasi di setiap wilayah ataupun daerah. Untuk permasalahan ini perlu adanya survei apakah seluruh pimpinan minimal bidang perkaderan sudah membaca dan memahami substansi SPI yang baru? Data hasil survei ini akan menjawab permasalahan ini dan membantu dalam pembuatan keputusan tindak lanjut. Semisal hipotesa yang menyatakan bahwa ternyata banyak dari pimpinan IPM yang belum membaca SPI sehingga perkaderan berjalan dengan labilitas kualitas kader yang dihasilkan dari pelatihan. Hipotesa ini juga mengartikan bahwa pimpinan ditingkatan bawah terlalu dini menolak SPI yang baru sebelum berusaha memahami dan mempraktikkannya. Hipotesa ini akan terbukti apabila dilakukan riset atau survei yang dilakukan dengan metodologi penelitian yang sesuai.
Sehingga sangat perlu dibentuk sebuah lembaga ataupun bidang baru yang fokus melakukan riset-riset dalam rangka mendukung setiap keputusan yang diambil oleh pimpinan IPM termasuk mensuplai data untuk materi Muktamar IPM dan forum-forum lainnya. Sebenarnya tugas riset ini dapat dilakukan dan seharusnya dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) sebuah lembaga yang didirikan oleh PP IPM. Sebelumnya memang pada 2016, LaPSI sempat mengadakan kegiatan kelas mikro riset berbasis Appreciative Inquiry (AI). Namun dalam pergerakannya, LaPSI belum menunjukkan progresifitas yang berarti dalam bidang riset. Hal ini memang terjadi karena LaPSI tidak memiliki struktural yang mengakar rumput seperti Lembaga Media (Tim Media) yang baru saja dibentuk. LaPSI hanya ada di tingkatan pusat. Berbeda dengan Tim Media yang diawali dari tingkatan pusat selanjutnya pimpinan dibawahnya membentuk lembaga yang sama. Oleh sebab itu, LaPSI selayaknya menjadi perhatian penuh dalam Muktamar XXI.
Muktamar XXI di Sidoarjo tahun ini sesuai dengan rencana jangka panjang berfokus dalam pengembangan isu komunitas sebagai strategi kultural pergerakan IPM. Isu ini sangat membutuhkan riset untuk pengembangannya, karena sebelumnya sudah banyak bermunculan komunitas-komunitas yang dipelopori oleh IPM khususnya di Jawa Timur. Riset yang dilakukan ini akan berguna untuk mengetahui komunitas yang sudah bergerak sehingga selanjutnya dapat diidentifikasi lebih lanjut untuk mengembangkan gagasan substansial materi Muktamar. Namun fakta menunjukkan bahwa blue print materi yang diluncurkan oleh tim materi Muktamar XXI lebih menekankan pada hasil analisis agenda aksi baru. Padahal agenda aksi sebelumnya sangat kosmopolit dan belum merata.
Akhirnya, pengembangan budaya riset dalam IPM sangatlah penting sebagai implementasi ikhtiar menuju masyarakat ilmu. Budaya riset ini juga akan mendukung penuh fokus Muktamar XXII yaitu percepatan transformatif dalam bidang ilmu menjadikan IPM sebagai organisasi yang profesional. Marilah kita sadarkan diri kita sebagai seorang kader yang harus memiliki pandangan yang kosmopolit sehingga dapat menerima hal-hal yang baru dan mencintai ilmu sehingga akan memiliki etos riset pula. Selamat bergembira dan menikmati dinamika Muktamar XXI.
Salam Apresiatif dan Inspiratif dari atas rel kereta,
Jakarta-Sidoarjo, 16 November 2018.
*) Catatan
- Penulis adalah Alfa Rezky Ramadhan, merupakan Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh pendidikan jenjang S-1 Program Studi Manajemen Pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis dapat dihubungi via WA di nomor 0882147330776 dan e-mail alfarezkyramadhan@gmail.com
- Substansi penulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis