Tiktok Berkembang karena Berdaya, Pendidikan Menghilang karena Terperdaya

Tiktok Berkembang karena Berdaya, Pendidikan Menghilang karena Terperdaya

OpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Tiktok Berkembang karena Berdaya, Pendidikan Menghilang karena Terperdaya

OpiniOpini Pelajar
1K views

Belakangan ini jagat maya sedang dihebohkan dengan aplikasi tiktok yang tengah menjadi trend di kalangan masyarakat millenial. Bagi penulis, fenomena ini terbilang cukup unik. Mengapa? Karena seperti yang kita tahu bahwa sebelumnya aplikasi ini tidaklah diterima oleh berbagai pihak, bahkan pernah sempat diblokir oleh pemerintah pada 2017 silam.

Selain itu, bisa kita lihat bahwa tidaklah menjadi sebuah kebanggaan bagi orang yang terkenal dengan aplikasi ini. Tak sedikit dari mereka yang justru mendapat hinaan dan bahan celaan karena sebagai “tiktokers”.

Ya, tapi itu dulu…

Karena kita tidak boleh lupa bahwa dalam kurun waktu tiga tahun setelah kemunculan pertamanya, tiktok telah berhasil bertransformasi menjadi aplikasi ternama di permulaan milenium ketiga, dimana ia sekaligus mampu menjadi mesin cetak berbagai keuntungan bagi para penggunanya, mulai dari ketenaran, fans, dan juga uang.

Namun, titik fokus pembahasan kita bukanlah terletak disana. Hal yang ingin penulis bahas di dalam tulisan ini adalah bagaimana tiktok bisa merubah garis takdir yang hampir membinasakannya? Dan apakah dunia pendidikan yang saat ini sedang berada diujung tanduk mampu meniru perubahan garis takdir seperti yang tiktok alami saat ini?

Penulis sangat yakin bahwa kita bisa mengubah dunia pendidikan semenarik dan semenyenangkan tiktok, youtube, atau platform lainnya. Caranya adalah mempelajari terlebih dahulu bagaimana mereka bisa bangkit dari keterpurukan. Mari kita mulai…

Pertama, dulu tiktok menjadi sebuah hal yang tidak diminati karena ada satu konten yang mendominasinya, yaitu konten pornografi. Inilah yang membuat tiktok tidak berkembang, bukan karena konten pornografinya, tetapi karena tiktok hanya mampu menampilkan satu macam wajah ke depan publik. Berbeda dengan sekarang dimana dia mampu menampilkan banyak tampilan melalui tema konten, gerakan dan musik pengiring yang sangat variatif.

Kedua, dulu tiktok hanya menjanjikan para penggunanya bullying baik di dunia nyata ataupun maya, tetapi sekarang tiktok menjanjikan benefit nyata yang bisa kita lihat dari banyaknya likers, follower hingga royalti berupa uang. Lihatlah misalnya remaja Amerika, Loren Gray, yang diusia 17 tahunnya memiliki 35 juta followers dan mendapatkan Rp.2.3 miliar untuk setiap video tiktok yang dia unggah.

Ketiga, dulu tiktok hanya dimainkan oleh kalangan masyarakat biasa, tetapi semenjak ia dimainkan oleh beberapa public figure seperti artis, musisi, hingga pejabat dan institusi negara, tiktok mulai mencuri perhatian setiap lapisan masyarakat. Lihatlah Kominfo yang memiliki lebih dari sebelas ribu likers di dalam aplikasi yang pernah ia tenggelamkan.

Tiga hal inilah yang menjadi alasan mengapa tiktok mampu bangkit dari keterpurukan. Sekarang kita masuk ke dalam dunia pendidikan, mengapa pendidikan hari ini tidak pernah berkembang, dan semakin dianggap rendah oleh masyarakat?

Jawabannya adalah karena kita terperdaya oleh metodologi baku, ilusi nilai rapot dan kompetisi memperebutkan posisi tertinggi di dalam kelas.

Kenapa orang tidak merasa bosan dengan tiktok? Karena tiktok membiarkan para penggunanya bebas berekspresi dan tidak mengharuskan kepada mereka tunduk pada satu metodologi atau sistematika gerakan tertentu dalam membuat konten. Hal ini memiliki implikasi yang kuat, karena ini akan menambah probabilitas munculnya gerakan trend baru sebelum gerakan trend lama menghilang. Terlebih, variasi dalam gerakan ini akan membuat tiktokers bebas memilih tipe gerakan yang “sesuai dengan dirinya”.

Sekarang kita gunakan kontruksi nalar ini dalam konteks pendidikan. Mengapa pendidikan dinilai begitu membosankan? Jawabannya adalah karena dunia pendidikan hari ini telah terperdaya oleh metodologi pembelajaran yang non-fleksibel. Akibatnya, seluruh siswa harus tunduk pada satu metodologi pembelajaran yang mungkin tidak “sesuai dengan dirinya”.

Kedua, kenapa Loren Gray lebih memilih tiktok ketimbang melanjutkan pendidikan ke universitas seperti angkatan korona saat ini? Jawabannya adalah karena jika dia berhasil, tiktok akan menjanjikan angka dalam rekeningnya, tetapi pendidikan hanya akan menjanjikan angka dalam rapotnya. Logis bukan?

Dunia pendidikan hari ini semakin tidak bernilai karena kita hanya belajar karena mencari nilai, dan bukan bernilai karena menjaga konsisteni belajar. Terlebih, dunia pendidikan tidak pernah menjanjikan royalti nyata selama proses pembelajaran. Satu-satunya royalti yang mereka berikan hanyalah nilai, tetapi nilai pun tidak memiliki jaminan besar dalam menyokong kehidupan mereka sehari-hari. Di sinilah letak permasalahannya.

Pendidikan pada masa kekhalifahan Abbasiyah dulu mampu semenarik tiktok karena mereka memberikan royalti yang nyata kepada setiap praktisi pendidikan, bahkan mereka membayar penerjemah buku dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan. Tetapi lihatlah sekarang, berapa penghargaan kita terhadap ilmu dan guru, berapa gaji yang diberikan kepada mereka dan fasilitas pendidikan seperti apa yang tengah diperjuangkan oleh kita semua?

Ketiga, kenapa tiktok bisa diterima setelah dienyahkan oleh khalayak, karena sekalipun telah mengubah sistem menjadi lebih baik, sebenarnya bukan hal yang mudah untuk melepas label yang sudah dilekatkan oleh publik, bukan? Jawabannya adalah mereka tidak melepaskan opini negatif yang ada di kepala publik satu persatu, karena hal seperti itu akan memakan waktu yang lama. Mereka hanya cukup mencuri hati tokoh dan publik figur, maka dengan sendirinya opini negatif yang membengkak di dalam publik akan ikut menghilang.

Sekarang kita lihat bagaimana publik figur dan para tokoh negara memandang pendidikan. Anjuran, uswah, atau regulasi dan dukungan semacam apa yang diperlihatkan kepada publik? Kurang terlihat bukan?

Ya! Sama halnya dengan tiktok pada 2017 lalu, pendidikan hari ini tengah mengalami masa kritis. Strategi praktis yang efektif sangat diperlukan untuk keluar dari lubang kehancuran ini.

Hanya terus mengkritisi dan memarjinalkan platform yang sedang digemari ini bukanlah langkah yang tepat untuk dijadikan solusi, seharusnya yang kita lakukan adalah mempelajari bagaimana mereka bisa bangkit, berkembang dan diterima oleh masyarakat. Dengan cara itu kita bisa meniru langkah mereka dan mengimplemetasikannya di dalam sektor pendidikan.

Seperti misalnya kita bisa menerapkan strategi tiktok seperti yang telah kita bahas dengan lebih memerhatikan 3 faktor utama, yaitu variasi, royalti, dan juga dukungan publik figur.

Satuan praktisi pendidikan bisa fokus pada faktor pertama, pebisnis dan instansi sekolah bisa bekerja sama mebicarakan faktor kedua, dan tokoh-tokoh masyarakat bisa bersatu untuk bergerak pada faktor ketiga.

Hal ini memang pekerjaan yang berat, dan terkadang kita bingung harus melaui dari mana. Jika pemikiran itu memenuhi kepala kita, maka satu hal yang bisa saya sarankan adalah persempit lingkup pikiran kita. Jangan memikirkan apa yang tidak bisa kita lakukan. Berpikirlah sesuai dengan kapasitas sosial yang kita miliki, sehingga kita bisa langsung mengeksekusi setiap gerakan yang kita pikirkan. Oleh karena itu, ayo kita mulai transformasi ini dengan melakukan introspeksi dan perubahan diri sesuai dengan kapasitas kita masing-masing!

 

* Catatan

  • Penulis adalah Muhammad Fajar Siddiq Alumni MA Darul Arqam Angkatan Korona
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis

 

 

Tags: , ,
Makna Suatu Pendidikan dari Kesuksesan itu Sendiri
Tiga Lomba Kreatif Semarakkan Milad 59 Tahun IPM
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.