Beberapa waktu lalu saya lihat video di Tiktok yang membandingkan karakter anak jurusan IPS dan IPA. Seperti kebanyakan konten soal perbandingan dua jurusan itu, anak IPA selalu dikatakan lebih unggul secara akademis dan punya segudang prestasi dibandingkan anak IPS. Orang tua juga lebih banyak mengharap anaknya bisa masuk IPA.
Tapi, pengalaman saya di kelas IPS gak demikian.
Orang tua saya sempat kaget saat tau anaknya pilih masuk jurusan IPS. Padahal waktu saya konsultasi, mereka bilang terserah. Sempat minta saya pindah jurusan, tapi saya tetap mantap di IPS.
Beda dengan mbak Ajeng Rizka yang masuk IPS biar edgy, saya masuk IPS karena sudah punya bayangan mau ambil jurusan apa ketika kuliah nanti dan mau menghindari mata pelajaran yang njelimet di kelas IPA.
Kelas IPS saya isinya hanya separuh kelas IPA. Tapi, dengan anggota kelas yang sedikit ini kami jadi lebih solid. Kalau jalan-jalan kelas mobilisasinya mudah, cukup satu bus mini.
Saya sempat penasaran waktu satu teman kelas saya dari IPS pindah ke IPA. Pilihan dia jatuh ke IPS, tapi orang tua teman saya itu mau anaknya di IPA. Akhirnya teman saya manut wong tuo pindah ke IPA.
Tidak kondusif dan merupakan buangan jurusan IPA. Ternyata di kelas saya hal-hal itu tidak saya temukan. Kelas saya cukup kondusif dan tahu waktu kapan harus bercanda dan berisik, kapan harus kondusif. Cukup diuntungkan juga dengan jumlah anggota kelas yang sedikit.
Waktu saya lihat anggota kelas, saya menemukan nama-nama anak berprestasi. Ada yang saat SMP langganan juara kompetisi pidato bahasa inggris, ada yang merupakan penyandang nilai UN terbaik. Tidak hanya anak berprestasi, aktivis organisasi siswa juga ada di kelas saya.
Ketua Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) saja ada di kelas saya, bukan di kelas IPA. Kemudian saya sadari, semua ketua organisasi dan ekstrakulikuler berkumpul di kelas saya. Hanya ada dua di kelas IPA, ketua Pimpinan Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PR IPM) dan ketua Palang Merah Remaja (PMR).
Teman-teman kelas saya jelas bukan anak buangan IPA. Karena penasaran, akhirnya saya riset kecil-kecilan dengan tanya teman saya di kelas IPA dan IPS kenapa pilih masuk jurusan itu. Jawabannya beragam, yang banyak saya dengar dari teman di kelas IPA adalah supaya bisa punya pilihan yang lebih banyak saat ambil jurusan kuliah. Sedangkan teman-teman kelas saya di IPS kebanyakan sudah menetapkan pilihan jurusan kuliah di awal kelas 11. Riset abal-abal saya pun berkesimpulan kalau kelas IPA itu diisi oleh mereka yang masih belum punya visi mau ambil jurusan apa ketika kuliah nanti. Gampangnya, main aman.
Agak kejam memang, saat kuliah anak IPA bisa dengan mudah ambil jurusan kelompok IPS dan menikung teman-teman IPS. Sedangkan anak IPS dipaksa istiqomah dengan jurusan IPS. Walaupun teman kelas saya di IPS pun ada yang berhasil masuk stikes setelah lulus.
Tapi, bagi saya sebagai anak IPS by will, buat apa bersusah payah memahami ilmu yang nantinya tidak akan saya sentuh saat kuliah. Toh sudah punya visi mau ke mana. Ibaratnya mau pergi ke suatu tujuan, kita malah pilih ambil jalan yang memutar dan belum bisa kuasai jalurnya. Iya sih tetap sampai, tapi waktunya jadi gak efektif. Harusnya bisa dihabiskan sambil santai di tempat tujuan malah pusing di jalan memutar tadi.
Pengalaman saya, anak IPS itu bukan anak buangan. Apalagi anak tidak berprestasi. Mereka yang masuk IPS karena kemauan sendiri itu mereka yang punya visi dan berani berkomitmen. Sudah tau IPS akan punya pilihan jurusan yang lebih sedikit, tapi tetap mantap di IPS. Dibandingkan masuk IPA tapi tidak punya tujuan pasti, masuk IPS karena kemantapan hati dan visi jauh lebih keren.
*) Catatan:
- Penulis adalah Alma Najmia Sekretaris Bidang Perkaderan PW IPM Banten 2018-2020.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.