SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia “Masih Menyontek”, IPM Bisa Apa?

SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia “Masih Menyontek”, IPM Bisa Apa?

Opini
518 views
Tidak ada komentar
SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia "Masih Menyontek", IPM Bisa Apa?

SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia “Masih Menyontek”, IPM Bisa Apa?

Opini
518 views
SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia "Masih Menyontek", IPM Bisa Apa?
SPI Pendidikan 2024: 78% Sekolah di Indonesia "Masih Menyontek", IPM Bisa Apa?

April lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan tahun 2024. Dalam perilisan SPI Pendidikan ada hal yang menarik penulis untuk digaris bawahi, diulas, dan menjadi perhatian Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Hal tersebut adalah fakta bahwa pada 78% sekolah responden (449.865 responden) masih terdapat “tradisi” menyontek. Dengan kata lain, mayoritas sekolah di Indonesia masih terjadi sontek-menyontek.

Kenapa Siswa Menyontek?

Pertanyaan sub bab ini dapat terjawab melalui berbagai sudut pandang. Secara sederhana, kita bisa melihat masalah menyontek sebagai masalah struktural dan personal. Dapat disebut sebagai masalah struktural akibat dari tuntutan lingkungan atas performa belajar dan hasil yang tinggi dari seorang murid. Mudahnya, kita biasa lihat hasil akhir belajar dari nilai. Pokoknya kalau nilai atau ranking nggak 10 besar sama dengan nggak pinter, –maaf curhat.

Imbas dari high demands di atas adalah mau tidak mau siswa menyontek agar achieve Key Performance Indicator (KPI) yang distandarkan oleh lingkungan. Sehingga, kebiasaan menyontek menjadi terasa lumrah di kalangan siswa. Sayangnya, tradisi menyontek ini menimbulkan masalah personal. Umumnya siswa menyontek karena ketidakpercayaan siswa pada kemampuannya dan lingkungan yang tidak hadir untuk mendukung siswa.

IPM Bisa Apa?

Berdasarkan artikel Suara Muhammadiyah yang berjudul “Menyigi Kualitas dan Jumlah Sekolah Muhammadiyah”, Muhammadiyah memiliki jumlah sekolah sebanyak 5.346 sekolah/madrasah pada tahun 2024. Bila menghitung dari persentase, mungkin Muhammadiyah memiliki 2,5% dari jumlah sekolah di Indonesia. Mari kita berasumsi secara ugal-ugalan bila 78% dari sekolah Muhammadiyah juga masih melakukan “tradisi” menyontek, kira-kira masih ada 4.170 sekolah yang melakukannya. Jumlah yang sangat fantastis bukan?

Dari jumlah sekolah Muhammadiyah berdasarkan asumsi di atas, penulis yakin kalau IPM sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah bisa memberikan dampak seminimal-minimalnya. Mari kita melihat jumlah anggota IPM berdasarkan wikipedia yang diklaim hingga 7 juta anggota di seluruh Indonesia. Mungkin jumlah tersebut terdengar sangat besar dan tidak realistis, mari kita berasumsi lagi bahwa jumlah anggota aktif IPM saat ini ada di angka 1%-5% dari 7 juta.

Berarti ada sekitar 7.000 sampai 35.000 anggota yang tersebar di Indonesia, mulai dari Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Ranting (PR). Dengan jumlah sebanyak itu, penulis yakin bahwa IPM bisa berdampak untuk menurunkan tingkat menyontek di sekolah, minimal sekolah Muhammadiyah.

Lantas Bagaimana IPM Bisa Berdampak?

Ada satu ide yang terlintas di pikiran penulis yang menurut penulis masuk akal dan memungkinkan dilakukan oleh IPM di tingkat pusat sampai ranting, yaitu dengan campaign. Anak IPM jagonya ber-“kampanye” bukan? Hehehe. Anyway penulis coba jelaskan dari sudut pandang penulis, “kenapa campaign?”

Pertama, sesuai dengan tujuan IPM itu sendiri, yaitu “membentuk pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Penulis rasa kita sepakat kalau menyontek perbuatan yang nggak mencerminkan “berilmu”, “berakhlak mulia”, dan “menjunjung nilai ajaran Islam”. Sampai di sini harusnya clear.

Kedua, hemat penulis, IPM punya positioning yang lebih bagus dibanding Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), bila kita membandingkan dengan organisasi di sekolah negeri. IPM punya struktur yang bertingkat dari ranting sampai pusat. Ini jadi peluang IPM untuk melakukan campaign secara masif dan terstruktur dari puncak kepemimpinan sampai akar rumput. Menurut penulis, kita (anak IPM) juga sudah terbiasa bekerja sama dan membagi peran dengan struktur ini, sehingga nggak membuat struktur ini menjadi hambatan untuk melakukan campaign ini, tetapi menjadi peluang.

Ketiga, kembali kepada apa yang telah penulis asbun-kan di atas, kalau anak IPM jago ber”kampanye”. Baik kampanye yang beraroma politis maupun kampanye gerakan-gerakan sosial. Kita sudah punya praktik baiknya seperti Tobacco Control IPM.

Ngomong-ngomong soal praktik baik, sewaktu penulis duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), penulis ingat kalau Pimpinan Daerah (PD) IPM Kota Yogyakarta saat itu juga punya campaign “Yuk Garap Dewe” alias “Yuk Kerjain Sendiri” saat masa-masa Ujian Nasional (UN) kala itu untuk mengampanyekan gerakan anti mencontek saat UN. Dengan kata lain, IPM sudah nggak asing lagi dalam berkampanye pada isu ini.

Keempat, campaign ini adalah hal paling mendasar untuk meningkatkan awareness atau kesadaran. Tentu IPM boleh dan bisa melakukan hal yang lebih berdampak dibanding hanya sekadar sebuah campaign, tetapi kenapa saya ngide campaign. Kalau kita merujuk pada model AISAS atau tahapan konsumen dalam dunia advertising, para target audiens campaign harus melalui beberapa tahap untuk menuju tujuannya: tidak menyontek (lebih lanjut ikut membagikan campaign tersebut). Namun, langkah awal yang harus dilalui adalah attention atau perhatian yang berarti target audiens sadar bahwa ada sesuatu hal yang nggak baik (soal menyontek), sehingga ada campaign yang dilakukan IPM.

Tentu awareness atau attention yang dilakukan pada campaign yang dilakukan perlu diukur keefektifitasannya agar dapat menentukan strategi campaign hingga tahap action.

Penulis sadar bahwa ngide dan menulis di atas adalah hal yang mudah dan praktik di lapangan tidak semudah ngide dan menulis di atas. Tetapi, penulis hendak mengingatkan dan mengajak kawan-kawan IPM di luar sana untuk sadar dan kembali bergerak bersama untuk adik-adik kita di sekolah dan untuk pendidikan Indonesia yang lebih cerah.

  • Penulis adalah Hanif Indhie Pratama, Kader IPM Daerah Istimewa Yogyakarta. 
  • Substansi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
PD IPM Garut Ajak Pelajar Hadapi Tantangan Sosial di Inklusif Asik Camp 2025!
Perkuat Pemahaman Advokasi, IPM Ciputat Gelar Kampoenk Advokasi
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.