Baca Artikel atau Baca Story

Baca Artikel atau Baca Story

OpiniUncategorized
1K views
Tidak ada komentar

Baca Artikel atau Baca Story

OpiniUncategorized
1K views

Untuk melanjutkan tulisan Stagnasi Gerakan IPM: Formalitas dan Rutinitas (baca disini) dan Stagnasi Gerakan IPM: Keluar dari Elitisme ke Realisme (baca disini) yang dimuat IBTimes beberapa waktu yang lalu, penulis ingin menegaskan kembali urgensi IPM yang identik dengan satu isu tertentu, khususnya pada tingkat Pimpinan Daerah (PD). Karena pada tingkatan ini sering kali jatuh pada problematika yang sama, diantara problematikanya adalah sebagai berikut : 

Pertama, tanggung dalam menyelesaikan masalah

Kita ambil contoh dalam hal literasi. Misalnya begini, di kabupaten A, tingkat literasi pelajarnya pada tahun 2000 adalah 0,2%. Pada tahun ini, PD IPM di daerah A didirikan. Sekarang, di tahun 2019, ketika PD IPM sudah berdiri selama 19 tahun, kira-kira sudah mendongkrak berapa persen tingkat literasi di kabupaten A tersebut? Apakah masih sama atau justru mengalami penurunan? atau justru PD IPM tidak pernah memiliki data tingkat literasi pelajar di kabupaten/kota masing-masing?

Isu literasi dan keilmuan yang menjadi identitas formal IPM masih terus digaungkan, namun kita sangat jarang menemukan data indikator-indikator tingkat literasi beserta peningkatan-peningkatan yang dilakukan oleh IPM. Jika data tersebut tidak ditemukan, maka IPM sangat mungkin untuk melakukan penelitian guna mengukur tingkat literasi atau semacamnya di tingkat masing-masing pimpinan. Sehingga, data tersebut bisa digunakan untuk membuat indikator ketercapaian program dalam satu periode.

Kedua, idealisme yang tinggi untuk menyelesaikan banyak isu dalam satu periode

Isu-isu yang banyak ini kemudian di breakdown menjadi bidang-bidang yang masing-masing ingin menyelesaikan isunya secara terpisah. Misalnya, isu literasi di breakdown menjadi bidang PIP, isu dakwah di breakdown menjadi bidang KDI, isu advokasi di breakdown menjadi bidang advokasi, dan seterusnya.

Realitanya, yang sering terjadi adalah bahwa hanya ada satu atau dua orang yang tersisa sampai akhir periode dalam satu bidang. Hal ini kemudian menjadikan isu yang digarap oleh bidang tersebut tidak maksimal, bahkan hampir tidak memberikan efek apapun. Dalam istilah bahasa Arab terkenal dengan sebutan wujuduhu ka adamihi (adanya seperti tiadanya).

Banyak PD IPM yang dalam satu periode memiliki program yang baik dan maksimal dalam satu atau dua isu saja dan sangat jarang yang mampu menyelesaikan semua isu yang sudah disepakati di renstra atau visi misi gerakan. Dari sini dapat kita lihat urgensi suatu pimpinan khususnya PD IPM untuk memilih satu atau dua isu utama yang dijadikan branding dan identitas substansial, sehingga kemudian satu dua isu ini dapat diselesaikan dengan maksimal dan memiliki kontribusi nyata untuk lingkungan sekitar. Analogi dari hal ini dapat dibaca pada tulisan Stagnasi Gerakan IPM sebagaimana yang disebutkan diatas.

Ketiga, keterputusan strategi gerakan antar periode

Salah satu kelemahan IPM adalah sistem periodisasi yang sangat singkat, yang menyebabkan gerakannya tidak berkesinambungan (sustainable) ada setidaknya dua komponen yang turut menciptakan ketidaksinambungan ini. Pertama, pimpinan baru yang tidak mau mendengar arahan alumni, karena menganggap mereka lebih memahami realitas di lapangan atau mereka menganggap arahan-arahan alumni adalah cara lama yang sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Padahal, arahan alumni inilah yang menjadi nyawa bagi kesinambungan program IPM dari periode ke periode.

Kedua, alumni yang memberikan arahan hanya dalam hal-hal politis, bukan gerakan. Diakui atau tidak, alumni sering mengarahkan kader-kadernya untuk kepentingan politis. Hal ini yang juga menyebabkan komunikasi alumni dan pimpinan baru tidak berjalan pada rel yang seharusnya. Seharusnya, relasi alumni dengan pimpinan baru adalah relasi orang yang memiliki pengalaman dalam gerakan dengan penerusnya, agar setiap gerakan memiliki umur dan nyawa yang panjang. Sekaligus menghindarkan pimpinan baru dari kesalahan-kesalahan yang sama dengan yang pernah dialami oleh alumni. Sehingga IPM tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kali, bahkan kesekian kali.

Urgensi ketersinambungan program seharusnya menjadi nyawa bagi perkaderan IPM. Bahwa kegiatan perkaderan tidak hanya berbicara kader dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Namun juga kader yang mampu melanjutkan gerakan nafas panjang.

Istilah gerakan nafas panjang ini adalah hasil ketika suatu PD IPM sudah memilih satu atau dua isu yang diselesaikan. Penyelesaian isu dalam bentuk gerakan itu haruslah gerakan yang memiliki nafas panjang dan bersifat lintas periode. Sehingga urgensi ketersinambungan program wajib adanya untuk menunjang penyelesaian isu yang tidak tanggung dan memberikan efek yang nyata.

Untuk menyelesaikan hal ini, setiap pimpinan dapat membuat panduan dan analisa gerakan jangka panjang seperti Kebijakan Program Jangka Panjang IPM 2014-2024 yang dibuat oleh Pimpinan Pusat, yang sifatnya lebih konkret dan kontekstual, disertai dengan indikator-indikator ketercapaian yang jelas dan berbasis data. Dalam Kebijakan Program Jangka Panjang IPM 2014-2024, pada poin 6 tentang tahapan kebijakan program, berbunyi:

“Muktamar XXI (2018-2020) diarahkan kepada pembangunan komunitas kreatif sebagai strategi kultural Gerakan Pelajar Berkemajuan untuk melakukan transformasi individu, transformasi sosial, dan transformasi kebudayaan di tengah masyarakat global.”

Coba kita tanyakan maksud kalimat diatas kepada teman-teman ranting, lebih-lebih ranting SMP, tentu mereka akan kesulitan dalam menerjemahkan kalimat-kalimat yang tertulis dalam dokumen resmi tersebut. Namun tak mengapa. Inilah kemudian yang menjadi dasar pentingnya penyusunan kebijakan program jangka panjang pada tingkat yang lebih bawah, seperti PD, PC, atau bahkan PR.

Kebijakan program jangka panjang di tingkatan ini harus mengandung latar belakang, landasan, prinsip, tujuan, dan tahapan pelaksanaan gerakan. Pada tahapan pelaksanaan gerakan harus disertakan indikator-indikator ketercapaian yang jelas dan berbasis data. Misalnya, kenaikan tingkat literasi dalam satu tahun adalah 5%, ada 10 kader yang disiapkan menjadi khatib yang setiap satu bulan sekali berkhutbah di beberapa masjid, menanam dan merawat 100 pohon dalam satu periode, menyiapkan 10 kader yang disiapkan menjadi seniman atau olahragawan melalui IPM, dan seterusnya. Dan semua harus berbasis angka riil.

Dengan penyelesaian isu yang tidak serba tanggung, fokus kepada satu dua isu tertentu, dan penyelesaian yang bersifat jangka panjang tersebut, diharapkan kehadiran IPM benar-benar dirasakan oleh lingkungan di sekitar. Sehingga manfaat eksistensi IPM ini tidak hanya dirasakan oleh kader-kader IPM sendiri berupa pendewasaan dalam hal organisasi, namun juga dirasakan oleh orang-orang diluar IPM.

Terakhir, salah satu persoalan yang belum terpecahkan adalah bahwa dokumen resmi seperti kebijakan program jangka panjang yang sudah dibuat maupun akan dibuat itu sangat jarang dibaca oleh kader-kader IPM di seluruh lapisan. Artikel ringan seperti ini pun jarang dibaca, apalagi tulisan resmi yang lumayan “berat”. Kader-kader IPM ternyata lebih suka membaca story WhatsApp dan Instagram daripada buku dan putusan resmi organisasi. Setelah selesai membaca tulisan ini, segera close aplikasi browser, buka Instagram, lalu buka story!

*) Catatan

  • Penulis adalah Yusuf R Yanuri, Ketua Bidang PKK PW IPM Jawa Tengah. Penulis dapat dihubungi via email: yy1311999@gmail.com
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Langkah Kecil Hijaukan Sekolah
Era Digital : Akankah Gerakan Pelajar Berkemajuan Hilang?
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.