Berorganisasi adalah kesengsaraan yang menjelma menjadi pelipur lara dikala lelah dalam menafsirkan makna hidup. Begitulah kira-kira prinsip yang saya pegang dalam berorganisasi. Tentunya dalam menjalankan amanah ini, sudah seharusnya kita berpikir bahwa apa yang selama ini sudah kita berikan kepada organisasi. Bukan berpikir tentang apa yang sudah diberikan organisasi kepada kita. Sehingga dalam berjuang kita punya arah dan tujuan yang jelas.
Tekanan, hambatan, bahkan cacian, itu tidak lepas dari yang namanya perjuangan. Bahkan bukan tidak mungkin, banyak tekanan yang kita dapatkan, itu dari internal pergerakan kita sendiri. Tekanan dari senior? bisa saja.
Fenomena Senioritas
Berbicara mengenai senior, apa yang terbayang dalam benak kita? Otoriter? orang yang paling tua? atau bahkan perlakuan yang tidak wajar terhadap junior? Ya. Itu bisa saja ada. Namun, hal yang seperti itu harus kita buang jauh-jauh, jangan sampai narasi yang seperti itu menyugesti pikiran-pikiran kita sehingga tidak ada perubahan diakibatkan oleh kerangka berpikir yang salah.
Fenomena senioritas sudah sangat sering kita jumpai di berbagai macam organisasi. Senioritas adalah perbedaan status yang dikelompokan berdasarkan usia dan jenjang pengalaman, dalam bahasa bahasa Jepang senioritas ini sering disebut dengan Nenko Joretsu.
Namun, kemudian ketika ada pertanyaan: Perlukah senioritas itu? Disatu sisi memang perlu untuk menerapkan senioritas agar timbulnya rasa saling menghormati antara sesama terkhusus kepada yang lebih tua. Di sisi lain, senioritas ini sangat-sangat merugikan. Kenapa saya katakan merugikan, karena dengan penerapan sistem ini, kebebasan untuk berpikir dalam sebuah organisasi kian terkikis dan terlupakan oleh kejamnya situasi.
Sekarang zaman sudah berubah, maka bagaimana kemudian bisa menyesuaikan terlebih dalam sistem berorganisasi. Sehingga, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk meninggalkan sistem organisasi yang bisa dibilang tertutup dan tidak demokratis.
Ini zaman yang serba terbuka, artinya tidak ada lagi sistem rimba yang diterapkan dalam mengemban amanah “Siapa kuat, maka dia berkuasa”.
Lalu, bagaimana kemudian jika ada senior yang merasa paling benar, paling kuat dan segala-galanya seperti dalam kuasanya? Bagaimana sikap kita selaku kader terkhusus dalam IPM sendiri?
Pertama, yang harus kita ingat adalah senior itu masih manusia dan tidak akan mungkin menjadi tuhan dan jangan pernah menuhankan senior sebab itu bagian dari menduakan Allah SWT. kemudian apa langkah selanjutnya yang harus kita lakukan untuk menghadapi senior yang seperti itu?
Kita hanya perlu belajar dan terus belajar dengan cara kita sendiri meskipun cara belajar yang kita buat tidak berarti apa-apa di mata senior. Kita hanya perlu belajar dan mereka perlu bukti kesuksesan dari proses belajar yang kita gunakan. Sehingga, pada akhirnya mereka akan tersadarkan oleh proses dan waktu.
Prinsip Egaliter
Apabila dilihat dari segi Etimologi atau bahasa, egaliter diambil dari bahasa Prancis yaitu egal yang bermakna sama, tidak ada perbedaan. Istilah ini muncul pada saat peristiwa revolusi Prancis yang menjadi penyebab munculnya Declaration des droits de’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara) pada tahun 1789 yang memiliki semboyan: Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.
Hingga pada akhirnya pernyataan mengenai hak asasi manusia atau HAM dicantumkan dalam konstitusi Prancis. Dalam hal ini setiap manusia mempunyai atau memiliki hal yang sama, tidak ada yang membedakan hak-hak apapun itu.
Artinya, dalam mengemban amanah dalam organisasi terkhusus di Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang telah lama menggaungkan slogan pelajar berkemajuan, tidak ada patokan siapa yang paling berhak berpikir, membuat konsep, dan siapa yang paling berhak membagi ilmu pengetahuan. Semua sama dan harus bahu-membahu mengembangkan ikatan.
Saya jadi teringat dengan kata-kata mutiara bahasa Arab yang kira-kira bunyinya seperti ini, “Umat itu membutuhkan kektuatan yang muda dan pengalaman orang tua”. Sudah seharusnya prinsip yang seperti itulah yang menjadi pegangan kita dalam ikatan, bukan malah merasa paling berjasa, merasa paling bisa dan merasa paling berkuasa yang pada akhirnya membawa kita pada arogansi yang begitu dalam. Menginginkan penghargaan dari orang lain sementara satu pun dari sikap dan perilaku kita tidak menunjukan hal itu.
Berorganisasi itu tempat untuk berproses. Jangan batasi pergerakanmu dengan keotoriteran senior yang kian membelenggu. Lepas dan tunjukan bahwa kamu bisa tanpa melupakan nasihat senior. Jangan terlalu patuh dan jangan pernah membangkang. Senior bukan tuhan yang semua perkataannya harus kita benarkan.
– Rahmat Balaroa
*) Catatan:
- Penulis adalah Rahmat Balaroa Kader IPM Kota Palu.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.