Refleksi 58 Tahun Sang Pena : Terlalu Banyak Cinta, Kehabisan Tinta

Refleksi 58 Tahun Sang Pena : Terlalu Banyak Cinta, Kehabisan Tinta

Opini
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Refleksi 58 Tahun Sang Pena : Terlalu Banyak Cinta, Kehabisan Tinta

Opini
1K views

Tepat pada 18 Juli 1961 silam, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) mulai meniti karir. Sinar mentari terpancar dan merasuk ke jiwa-jiwa pelajar untuk mereduksi sinar kelam ideologi non-Islami saat itu. Militansi, loyalitas, integritas serta intelegensi kader betul-betul dituntut untuk menghadapi kerasnya zaman. Salah sedikit, tak akan ada yang tahu tentang nasib pelajar saat ini.

Pada usianya yang ke-58, eksistensi Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi bukti bahwa proses kaderisasi berjalan sesuai dengan skema yang tersusun rapi. Harus diakui, IPM dapat menjawab tantangan zaman orde baru hingga saat ini. Nama besar IPM sebagai Organisasi Kepemudaan (OKP) berprestasi pada tahun 2016 menuntut para kader untuk bergerak lebih mobile, berintelegensi tinggi, dan berjiwa militan, namun tetap dengan gaya khas Muhammadiyah yang santun, modern, dan religius.

Tepat di hari ulang tahun IPM, karena kekuatan cinta yang masih tertanam erat pada pribadinya, ribuan kader dari berbagai penjuru Nusantara berlomba-lomba memberikan ucapan, harapan, dan testimoni. Alur kaderisasi dan pertemuan-pertemuan rutin di Ikatan Pelajar Muhammadiyah rupanya memupuk rasa cinta berkepanjangan. Jiwa-jiwa kader yang merindu akhirnya kembali bertemu pada kegiatan Reuni Akbar di berbagai wilayah dengan twibbon-twibbon berisikan foto menggunakan almamater kuning kebanggaan dengan tagar-tagar unik, kemudian bercerita panjang lebar tentang pengalaman, kisah, dan lelucon-lelucon yang tak ada habisnya.

Bersamaan dengan ucapan selamat, sebenarnya kita mesti berbenah melihat realita menyedihkan akan problem-problem pelajar yang lepas dari pantauan IPM sebagai Organisasi Kepemudaan berbasis pelajar. IPM terbukti masih terlalu kikuk untuk terjun secara langsung membasmi perkelahian pelajar, narkotika, dan mengadvokasi para stakeholder sistem zonasi di dalam lingkup Muhammadiyah, terlebih lagi pelajar secara umum. Artinya, seluruh pihak yang mengaku kader harus konsisten, fokus, dan tanggap akan isu-isu pelajar dibandingkan melakukan penggalangan dana korban kebakaran, kecelakaan, bencana alam dan mengadakan bazar-bazar event. Kesemuanya adalah kebaikan, namun mau tidak mau fokus utama dan mainstream IPM ialah pelajar. Hal yang telah sering diingatkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si.

Di dalam buku Sapiens oleh Yuval Noah Harari (2017), dikatakan bahwa Homo Sapiens pernah mengalami mutasi genetik sehingga menyebabkan revolusi kognitif pada manusia modern. Manusia menjadi berpikir berbeda dari sebelumnya, lalu membuat penemuan-penemuan terbaru. Pena yang pada awalnya berbentuk fisik, pada kemudian hari menjadi lebih dinamis, seperti sebuah tangan yang mengetik. Perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan IPM yang berlogo pena juga harus lebih terampil dalam mengolah keyboard. Sangat sejalan dengan media yang kini berperan penting dalam indoktrinasi pelajar. Kesalahan fatalnya ialah, media yang semestinya menjadi ujung tombak IPM untuk melancarkan doktrin, justru hanya memuat berita-berita kegiatan. Sejauh yang terpantau, media sosial IPM dari seluruh jenjang hanya tentang konten yang meningkatkan rasa cinta terhadap ikatan. Opini-opini hampir tak pernah terdengar, juga diskursus solutif tentang pelajar, apalagi menghabiskan tenaga untuk membuat majalah pencerdasan. Sehingga tak terbentuk kreatifitas, inovasi, terlebih lagi hendak berkarya nyata. Jargon-jargon pergerakan yang santer digunakan tersebut ternyata hanya sebuah semangat artifisial.

Tak perlu berlebihan dalam penyesalan. Mungkin saja ini memang sebuah kutukan. Di zaman emansipasi wanita, wanita justru dieksploitasi membabi buta; di zaman kemerdekaan, penjajahan justru semakin luas; dan di zaman memperjuangkan literasi secara total, budaya baca tulis justru semakin mengalami kemunduran.

Sepertinya, IPM sudah terlalu penuh akan rasa cinta. Rasa cinta yang tersurat melalui status, foto, dan lagu. Pada sisi yang lain, tak ada suara. Tak ada goresan yang berarti bagi sejarah. Sudahlah, rasa cinta berlebihan hanya membentuk cerita-cerita yang tak habis kemudian hari, sebab IPM hanyalah sebatas pergaulan dan sebuah lelucon. Budaya keilmuan sebagai bagian dari “5 nilai dasar IPM” tak akan pernah terwujud jika hanya mengandalkan rasa cinta. Sedangkan, kita adalah masyarakat pena. Bermodalkan tinta, sudah waktunya kita menjadi tokoh utama dan pemegang pena yang menuliskan peradaban.

Tentunya harus ada evaluasi secara komprehensif tentang program kerja IPM yang terikat jeratan formalitas, lalu meramaikan media dengan topik-topik hangat pelajar dan pergerakan visioner. Paling tidak, ada aktifitas berpikir di dalamnya, sehingga pelajar dapat peka terhadap situasi terkini dan IPM dapat lebih menghayati betapa penting peranannya dalam mencerdaskan pelajar.

Sebagai kader, saya berharap banyak kepada ikatan ini, bahwa IPM ke depan bukanlah sebuah pena yang terlalu banyak cinta, namun kehabisan tinta; terlalu banyak cerita, tetapi minim fakta aksara; punya banyak asa, tapi dengan senjata yang patah.

Selamat ulang tahun ke-58 IPMku. Tetaplah menjadi payung bagi pelajar yang kepanasan akibat jilbab pelajar yang lepas pasang. Tetaplah menjadi tameng bagi pelajar yang semakin hari semakin temperamen. Tetaplah menjadi tolak ukur adab, ilmu, dan etika bagi pelajar yang doyan narkotika.

*) Catatan 

  • Penulis adalah Andi Muhaimin Darwis Ketua Bidang ASBO PD IPM Kota Makassar 2016-2018 
  • Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis
Sekolah Advokasi Mantapkan Peran Pelajar
Rayakan Hari Jadi IPM ke-58, IPM Lamongan Gelar Resepsi Milad
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.