IPM.OR.ID., JAKARTA – Belakangan ramai di media sosial mengenai dugaan kasus penyelewengan donasi dari pengelola dana sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT). Berdasarkan informasi yang tim ipm.or.id peroleh melalui Tempo.co, para petinggi lembaga pengelola dana sosial ACT diduga menyelewengkan donasi publik. Uang yang disalurkan itu diduga sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan personal petinggi-petinggi ACT. Informasi lebih lanjut mengatakan bahwa gaji pengurus mencapai ratusan juta rupiah. Uang donasi ada yang mengalir untuk keluarga pimpinan lembaga ini. Sementara itu, sejumlah penyaluran donasi bermasalah. Merespon hal tersebut, Nashir Efendi (Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah) menyerukan kepada seluruh kader IPM maupun persyarikatan Muhammadiyah yang lebih memilih ACT daripada Lazismu untuk berhenti aktif di lembaga ACT, baik itu menjadi relawan atau karyawan.
“Sudah ada beberapa report sebelum Tempo yg menjelaskan soal kebobrokan ini,” jelas Nashir melalui akun media sosialnya.
Kekhawatiran Nashir mengenai ACT ini dimulai saat ia masih beradai di Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Nashir ketika itu melakukan mini riset utk kebutuhan Materi Musyawarah Wilayah IPM Jawa Timur. Menurut riset yang telah ia dan tim lakukan, masih ada 8% yg masih memilih ACT.
“Diperkirain sekarang naik melihat trend kesalehan hibrida muslim muda yang semakin meningkat. Saya khawatir ACT nantinya lebih dikenal daripada Lazismu,” terang Nashir.
Lebih lajut Nashir berpendapat, menyalurkan donasi ke Lazismu tidak akan mengurangi keber-Islam-an atau peduli dengan minoritas Muslim lainnya. Justru menurut Nashir, kita tidak perlu khawatir dengan menyalurkan donasi ke Lazismu yg menggunakan label Muhammadiyah, sebab MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) bersama Lazismu jauh 10 kali lebih cepat tanggap daripada ACT itu sendiri.
Nashir menyoroti fenomena bahwa dalam sepuluh terakhir ini banyak kajian gerakan filantropi Islam yang menggeliat di Indonesia. Tempo melihat sisi lain, konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) dari geliat dan menjamurnya fenomena ini. Menurut Nashir, tentu ada efek samping yang belum ter/diantisipasi dari fenomena ini.
“Sisi yang menarik dikritisi dan harusnya tidak boleh terjadi, meski ini juga akan menguatkan rencana pemerintah menerbitkan UU untuk mengawasi aktivitas filantropi umat Islam, yang secara administrasi dan birokrasi tentu akan sedikit merepotkan kalo sudah dalam kuasa kontrol pemerintahan,” tutup Nashir. *(iant)