IPM.OR.ID., MEDAN – Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) dalam rangkaian kegiatan Muktamar XXIII IPM gelar Forum Diaspora Kader dan Temu Alumni IPM/IRM yang diadakan pada Sabtu, (19/08/2023) di Gedung Madinah Al Munawarah Asrama Haji Kota Medan.
Adapun Forum Diaspora Kader dan Temu Alumni IPM/IRM tersebut mengusung tema “Menguatkan Kepedulian, Tingkatkan Silaturahmi dan Eratkan Ukhuwah” yang diselenggarakan usai kegiatan pelantikan Pena IPM Sumatera Utara. Forum ini menghadirkan beberapa alumni IPM, meliputi Slamet Nur Achmad E, Babay Parid Wazdi, Muhammad Muchlas Rowi, Danik Eka Rahmaningtyas, Rizaluddin Kurniawan, dan Diyah Puspitarini.
Slamet Nur Achmad E. menyampaikan bahwa diaspora kader bagi Muhammadiyah dan Aisyiyah itu diperlukan. Para kader tentu harus dipanggil dan dikoordinasikan serta konsolidasikan agar bisa menyambung kembali frekuensi Muhammadiyah. “Setelau lama tidak terhubung dengan Muhammadiyah, tentu perlu memanggil dan melakukan konsolidasi untuk mensinergikan apa yang menjadi agenda Muhammadiyah untuk penguatan agenda Muhammadiyah di ranah sosial, pengetahuan, usaha, politik, catatan sipil, dan bahkan di kancah internasional,” terang Slamet.
Lebih lanjut, Babay Parid Wazdi melihat bahwa keuangan di Muhammadiyah kurang terintergrasi. “Kalau keuangannya Muhammadiyah terintegrasi maka anggota guru2 dosen bisa sejahtera. Sekarang Muhammadiyah punya modal karena memiliki integritas. Jika AUM Muhammadiyah lebih terintegrasi lagi, maka bisa bersaing dengan BUMN Negara,” tegas Babay.
Di samping itu, Muhammad Muchlas Rowi menambahkan ketika ada acara mentoring atau lainnya dia selalu membawa amal usaha. “Saya menemukan kader-kader kita yang berasal dari perguruan Muhammadiyah. Kita punya titik temu alumni dan teknologi. Kader yang mendapat beasiswa dari Muhammadiyah, kader yang pernah tinggal di panti asuhan, dan juga pernah berada di organisasi Muhammadiyah,” kata Rowi.
Berbeda dengan Rowi, Danik Eka Rahmaningtyas menyebutkan jika kawan-kawan IPM di pusat sampai cabang selalu diingatkan bahwa bisa sampai muktamar itu bukanlah tujuan utama.
“Kalau kita lihat di dunia politik dan melihat ide-ide yang tidak masuk akal karena yangmemberi ide tidak mumpuni. Saat masuk ke dunia politik, di IPM saya diajarkan memanjemen yang baik dan kita harus ada sesuatu yang menjadi nilai jual kita. IPM kekuatan terbesarnya egaliter dan seara dan apabila dijaga betul tidak ada dikotomi dan memiliki nial jual entah itu skill,” pesan Danik.
Selain itu, Rizaluddin Kurniawan juga mengungkapkan bahwa diaspora konsepnya itu mengabdi. “Ada yang perlu dipotret dari segi sistem, sekolah Muhammadiyah yang memotret alumninya. Bagaimana panggilan alumni itu bisa menjadi pengabdian. Harus ada lembaga yang mengontrolnya,” jelas Rizal.
Diyah Puspitarini yang merupakanKomisinioner KPAI menyebutkan tiga hal yang perlu diperhatikan. “Kita harus betul-betul menjadi Muhammadiyah yang mempengaruhi politik. Jangan menjadi politik yang mempengaruhi Muhammadiyah. Gerak utama Muhammadiyah adalah pendidikan. Namun, perlu diingat kalau daerah belum ada komisi perlindungan anak, tentu hal ini bisa menjadi kesempatan untuk membentuk komisi perlindungan anak. Dengqn demikian, sebenernya halbyang didapatkan saat di IPM selain semua perkaderan yang kita lalui juga bisa menguatkan satu sama lain,” jelas Diyah.
Sebagai penutup, Diyah menambahkan kalau sebagai perempuan tidak mudah membuay keputusan yang keluar dari zona nyaman. Tentu bagi sesama perempuan setidaknya saling mendukung.
“Dengan begitu alumni ipmawati bisa berpikir lebih starategis dan berguna bagi bangsa secara universal,” pungkas Diyah di akhir diskusi.*(nas)