“Suf, adikku pengen kuliah ke luar negeri di Belanda, bisa enggak ya?”
“Pasti bisa, asal serius,” jawab saya sambil menebarkan rasa optimis.
Pertanyaan di atas dilontarkan oleh kawan saya ketika kuliah di UMS. Adiknya yang ia maksud adalah salah satu kader IPM di kawasan Timur Indonesia yang kebetulan saya kenal cukup baik.
Pertanyaan itu mengingatkan saya, dulu ketika saya masih mahasiswa S1 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Waktu itu, ada banyak senior di Muhammadiyah yang mengeluh. Kenapa tidak banyak kader Muhammadiyah yang mengambil beasiswa dari berbagai lembaga untuk melanjutkan studi di luar negeri? Bahkan, salah seorang dari mereka sambil agak geram berkata, “Bahkan untuk mendaftar saja tidak berani!”
Ini adalah isu lama di Muhammadiyah. Kabar baiknya, belakangan kesadaran ini tidak hanya menjadi keluhan yang langsung menguap di warung kopi. Ada beberapa (untuk tidak mengatakan banyak) upaya yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah di berbagai level untuk menjawab hal ini. Pertama dan terutama tentu Muhammadiyah Scholarship Preparation Program (MSPP).
Kegiatan ini agak menyimpang dari kebiasaan Muhammadiyah. Saat elemen lain di internal Muhammadiyah menggelontorkan dana miliaran untuk membangun gedung dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), MSPP menggelontorkan ratusan juta untuk memfasilitasi puluhan kader belajar Bahasa Inggris secara intensif selama tiga bulan. Lengkap dengan berbagai fasilitasnya: makan, tempat tinggal, transportasi, hingga uang saku bulanan. Program ini kemudian diikuti oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). IMM membuat kegiatan yang sama bertajuk Djazman English Scholarship (DES).
Dua kegiatan tersebut punya semangat yang sama, yaitu menyiapkan kader-kader Muhammadiyah agar bisa bersaing untuk mendapatkan beasiswa studi lanjut, terutama di luar negeri.
Membangun Pondasi Kesadaran dalam Diri Kader IPM
Sependek pengetahuan saya, belakangan kesadaran di tubuh aktivis-aktivis Muhammadiyah memang muncul. Saya merasakan sendiri beberapa kali didorong oleh senior-senior untuk dapat mengambil beasiswa tersebut. Tak hanya mendorong, mereka juga membimbing saya step by step. Dari awal hingga akhir.
Selain itu, di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), saya juga mulai menemukan kader-kader dengan semangat yang sama. Pembentukan lembaga pengembangan bahasa dan studi lanjut Pimpina Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) menjadi buktinya. Hingga tulisan ini dibuat, SK lembaga tersebut belum keluar. Kita belum tahu nama resmi lembaganya nanti apa. Yang jelas, tupoksinya sudah clear: membantu memfasilitasi kader-kader IPM yang ingin menempuh studi lanjut di luar negeri.
Tiga bulan belakangan, saya bertemu banyak kader IPM yang, secara terang-terangan maupun secara tersirat, menyatakan niatnya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Itu baru yang saya temui dan menyatakan niatnya. Yang belum saya ketahui tentu jauh lebih banyak. Ini adalah sinyal bahwa keberadaan lembaga ini mutlak diperlukan dan ditunggu oleh banyak orang. Semoga, lembaga baru ini benar-benar dapat memfasilitasi kader-kader IPM untuk bersaing secara global. Sehingga proyek internasionalisasi Muhammadiyah itu tidak berhenti di pendirian AUM, tapi juga pada peningkatan sumber daya manusia yang mampu bersaing secara global.
Sebenarnya, bayangan-bayangan kegiatan lembaga ini nanti akan tidak jauh berbeda dengan MSPP dan DES. Tugas lembaga ini sederhana karena sudah diberi contoh oleh pendahulu. Cari funding, kumpulkan kader, belajar Bahasa Inggris bareng-bareng. Bisa satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan. Setelah itu, cari funding untuk ambil tes IELTS. Pada saat yang sama, lakukan pendampingan penulisan esai, latihan wawancara, sharing dengan awardee, dan lain-lain.
Jamaah pejuang studi lanjut luar negeri ini akan menjadi sekoci kecil Muhammadiyah yang di masa depan akan sangat bermanfaat bagi peradaban manusia. Hasilnya tidak bisa dirasakan dalam waktu dua sampai tiga tahun, melainkan 10 sampai 20 tahun.
Hal yang perlu Dipersiapkan
Maka, sebagaimana percakapan saya di awal tulisan ini, saya ingin sampaikan kepada kader IPM di seluruh Indonesia, bahwa peluang untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri itu besar sekali. Besar sekali. Tentu ada beberapa prasyarat dasar yang mutlak dan tidak bisa dinego.
Pertama, berani bermimpi. Kadang, untuk sekedar mimpi saja kita takut. “Bisa enggak ya?”, “Too big ini kayaknya”, “Susah nggak sih?” Perasaan-perasaan seperti itu harus dibuang jauh-jauh. Ini prasyarat dasar. Mutlak. Kita harus yakin dulu. Yakin kalau tembok yang seolah-olah terlihat besar dan kokoh itu bisa kita taklukkan dengan kerja keras dan kerja cerdas.
Kedua, Bahasa Inggris. Bahasa Inggris untuk mendaftar studi di luar negeri itu tidak bisa joki. Tidak bisa diwakili. Apalagi beli sertifikat. Toh, kalaupun bisa joki, lalu Bahasa Inggris kita pas-pasan, maka siap-siap saja mati-matian ketika nanti menempuh pendidikan di luar negeri. Selain sebagai syarat administrasi, kemampuan Bahasa Inggris mutlak diperlukan. Bahkan, sekalipun skor kita sudah memenuhi syarat, kita akan tetap mengalami beberapa kesulitan.
Ketiga, bangun komunitas. Berjuang sendirian itu melelahkan, bikin kita gampang menyerah. Maka, berjuang mengejar mimpi itu harus berjejaring. Di sinilah peran lembaga baru di PP IPM ini diperlukan. Lembaga ini bisa menjadi rumah bagi kader-kader yang tengah berjuang. Di sinilah kader-kader itu akan bertemu, belajar bersama, riset kampus bersama, berbagi keluh kesah bersama, dan menikmati proses bersama. Dengan berjamaah, kita bisa saling menyemangati dan saling memotivasi.
Terakhir, saya ingat betul seorang senior berkata secara serius kepada saya. “Hanya ada satu hal yang tidak bisa saya bantu: Bahasa Inggris. Kamu persiapkan sendiri Bahasa Inggris. Sisanya saya akan bantu.”
Teman-teman. Ketika kita serius mengejar mimpi dan cita-cita, percayalah, banyak tangan-tangan orang baik yang akan datang membantu. Selamat mencoba!
- Penulis adalah Yusuf Yanuri, Anggota Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PP IPM 2021-2023. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @yusuf.yanuri.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.