Beberapa waktu lalu, ketenangan liburan saya cukup terganggu dengan pemberitaan menyangkut salah satu organisasi keagamaan Islam di sekolah, yaitu Rohis (Kerohanian Islam). Pemberitaan yang pernah ramai diperbincangkan, terutama di lini masa media sosial menghangat karena adanya kabar mengenai seorang siswi SMAN 1 Gemolong yang “diteror” oleh aktivis Rohis dikarenakan siswi tersebut yang notabene beragama Islam, tidak menggunakan kerudung/jilbab.
Siswi tersebut awalnya menganggap biasa pesan yang disampaikan aktivis Rohis via WhatsApp tersebut. Lama kelamaan pesan itu menjadi semacam “teror” karena berulang kali dikirimkan setiap hari. Hal ini kemudian dilaporkan kepada orang tuanya. Kemudian orang tua dari siswi tersebut membalas pesan yang dikirimkan kepada putrinya itu. Balasan dari orang tua tersebut pada intinya ingin mengajak dialog kepada aktivis Rohis yang mengirimkan pesan tersebut.
Namun tak disangka, jawaban yang diterima orang tua siswi tersebut cukup mencengangkan. Kira-kira jawabannya seperti ini, “Buat apa berdialog dengan orang tua yang tidak tahu dalil agama?” Karena sudah dianggap keterlaluan, maka orang tua siswi tersebut mendatangi sekolah dan meminta dialog dengan pihak-pihak yang bersangkutan, yaitu pihak sekolah dan pihak Rohis.
Meski tidak begitu tahu secara mendalam kondisi dan aktivitas Rohis hari ini, berkaca pada peristiwa di atas, membuat saya tidak habis pikir. Ketika masih aktif dalam kepengurusan Rohis SMAN 1 Banjarnegara, ketika itu saya menjadi ketuanya, aktivitas-aktivitas yang dilakukan hanya seputar pembinaan anggota-anggota, khususnya siswa-siswa yang lain, pada umumnya. Pembinaan yang dilakukan di fokuskan dalam hal keagamaan, meliputi halaqah/mentoring tiap pekan, kultum tiap bakda zuhur yang digilir untuk semua kelas dan kajian rutin yang dilakukan secara berkala melibatkan guru agama islam sebagai pembina Rohis maupun mendatangkan pembicara dari luar sekolah, tentunya dengan izin dan persetujuan pihak sekolah. Terkadang di antara agenda rutin tersebut diselingi dengan futsal, piknik, dll.
Beruntungnya pihak sekolah, terkhusus kepala sekolah sangat mendukung kegiatan keagamaan yang dilakukan di sekolah, beberapa di antaranya dilaksanakan rohis serta mendukung secara penuh berbagai aktivitasnya dengan catatan sejalan dengan peraturan sekolah. Dalam melaksanakan aktivitasnya terkadang rohis suatu sekolah menjalin kerja sama dengan pihak luar sekolah, berupa kelompok kajian, majelis taklim, ataupun organisasi keagamaan. Selain itu, rohis di beberapa sekolah membentuk forum silturahmi rohis se-Kabupaten Banjarnegara (FSR).
Seingat saya, hanya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tidak diajak bekerja sama di forum Rohis tersebut. Selain memang karena tidak punya organisasi Rohis, alasan terkuat lain, selain hanya IPM yang ada di dalamnya adalah karena perbedaan corak keislaman antara kebanyakan Rohis di Banjarnegara dengan IPM. Alasan yang belakangan ini baru saya ketahui.
Kembali pada kasus Rohis SMAN 1 Gemolong di atas, berdasarkan pengalaman saya selama beraktivitas di Rohis, pengaruh-pengaruh yang diterima oleh para aktivis Rohis memiliki kemungkinan yang besar berasal dari orang-orang yang berinteraksi dengan para aktivis Rohis. Baik yang berasal dari internal sekolah maupun yang berasal dari luar sekolah, yaitu dari lembaga-lembaga yang diajak kerja sama. Maka untuk mengetahui akar permasalahannya, harus diusut kepada siapa saja para aktivis Rohis itu ngaji? Mereka ngaji apa saja? Bagaimana cara mereka ngaji?
Permasalahan di atas tidak serta merta selesai ketika oknum aktivis Rohis yang mengirimkan pesan yang dianggap meresahkan tersebut dan pihak sekolah meminta maaf kepada keluarga siswi yang bersangkutan. Pasca selesainya mediasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat berkewajiban menelusuri hal-hal yang sudah saya sebutkan di atas. Penelusuran oleh pihak-pihak berwajib ini bukanlah bentuk diskriminasi dan intimidasi, namun merupakan bentuk perlindungan kepada aktivis Rohis khususnya dan siswa sekolah secara umum dari paham-paham yang tidak sejalan dengan Pancasila dan jauh dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Setelah beberapa hari berlalu semenjak peristiwa tersebut, SoloPos edisi Sabtu Pon, 18 Januari 2020 memuat berita mengenai kasus ini, berjudul 3 Ikrar Menuju Sekolah Toleran. Pada momen upacara yang dilakukan di sekolah yang bersangkutan dilakukan ikrar yang berisi: Pertama, menjamin seluruh siswa mendapatkan pelayanan pendidikan untuk tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kemampuan masing-masing. Kedua, menjamin suasana SMA N 1 Gemolong sebagai rumah kedua bagi anak-anak yang kondusif, aman, nyaman, penuh tenggang rasa, antiperundungan, dan antikekerasan. Ketiga, mewujudkan pelayanan pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila, kebinekaan, dan toleransi secara objektif, tidak diskriminatif dan terintegrasi dalam pembelajaran.
Menurut hemat penulis, kejadian semacam ini merupakan bibit-bibit yang kurang baik bagi toleransi dalam keberagaman, terutama terjadi di lingkungan pendidikan formal milik pemerintah yang sesungguhnya memiliki peran vital untuk menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai Pancasila.
Selain pembacaan ikrar bersama oleh seluruh warga sekolah dan tamu undangan, selepas upacara jajaran pengurus Rohis juga melakukan ikrar secara terpisah. Ikrar ini berisi: Pertama, berjiwa Pancasila dan berjiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dan keberagaman. Ketiga, berjanji berubah dengan mendakwahkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Menuju Rumah Besar Pelajar Indonesia
Semenjak kuliah, saya nyaris tidak lagi berkomunikasi dengan pengurus Rohis SMA yang tiap tahun berganti, sehingga kini saya pun tidak mengetahui perkembangan Rohis di almamater saya ataupun Rohis secara umum. Namun, sebagai mantan pelajar, saya menganggap agaknya antara IPM dan Rohis perlu melakukan suatu kerja sama.
Hal ini juga bisa menjadi jembatan dan alternatif pencegahan agar hal-hal yang sempat muncul di SMA N 1 Gemolong tidak terjadi lagi. IPM sebagai anak panah Muhammadiyah di level pelajar berperan penting dalam mendakwahkan dan menyebarluaskan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang penuh kedamaian dan kasih sayang kepada seluruh lapisan, dalam hal ini seluruh lapisan pelajar, menembus dinding ruang kelas dan sekat status sekolah. Kerja sama ini bisa berupa kolaborasi agenda kajian, seminar, peringatan hari besar Islam, dan lain sebagainya. Dengan terjalinnya kerja sama ini, diharapakan terwujud integrasi antara IPM dan Rohis. Saya kira ini bukan harapan yang utopis, karena lapangan dakwah IPM dan Rohis sama. IPM bisa menjadi pelopor dalam integrasi ini, mengingat IPM punya struktur keorganisasian yang lebih rapi dan punya koneksi se Indonesia, sehingga kebijakan ini bisa dirumuskan di tingkat pusat dan diberlakukan hingga tingkat ranting di sekolah-sekolah.
Integrasi antara IPM dan Rohis ini menjadi langkah awal menjadikan IPM sebagai rumah besar bagi pelajar Indonesia. Rumah besar yang saya maksud disini, bukan berarti seluruh pelajar harus menjadi IPM, tapi IPM menjadi wadah silaturahim seluruh elemen pelajar, tanpa sekat sekolah, organisasi, bahkan agama.
* Catatan
- Penulis adalah Muhammad Afriansyah Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis