Dunia secara serentak tengah mengalami fenomena yang cukup mampu mengundang gelombang krisis dari berbagai sektor, perlahan menarik arus keresahan dan bermuara pada pengujian kualitas pemangku kebijakan. Benar, bahwa pandemi Covid-19 ini adalah dampak dari sekian banyak variabel cara manusia memperlakukan lingkungannya dan merasa resah dengan apa yang diakumulasikannya selama ini adalah bentuk logika yang salah, tetapi menjadi lebih fatal ketika cara pemerintah menjawab persoalan adalah dengan melempar tumpukan soal dan lamban dari tuntutan jawaban atau bahkan jika hanya mengharapkan kesadaran rakyat untuk perlahan merapikan persoalan.
Maka jangan heran jika yang ditempuh pemerintah hanya himbauan.
Pendidikan sebagai salah satu pilar penentu stabilitas dan masa depan suatu negara, tanpa terkecuali ikut terdampak fenomena Covid-19 ini, penulis melakukan riset mandiri dengan menyertakan beberapa pelajar sebagai variabel penelitian tentang efektivitas pembelajaran online yang sampai detik ini masih menjadi solusi yang ditawarkan pemerintah dalam dunia pendidikan. Data-data yang penulis lampirkan dalam narasi ini adalah sebagai penguat dari acuan realitas yang dirasakan oleh setiap responden dalam penelitian penulis, sehingga mampu dipertimbangkan seberapa besar arus keresahan ini. Sebanyak 28,6 juta pelajar atau sebanding dengan 10,8% dari jumlah penduduk indonesia yang dilansir dalam harian kompas (26/03/2020), kiranya tidak cukup mampu merubah prioritas pemerintah dalam menangani. Keluhan dan keresahan atas ketidakefektifan pembelajaran daring pun mungkin hanya dirasakan oleh segelintir pelajar atau bahkan hanya penulis dan beberapa pelajar yang masuk dalam variabel penelitian. Walaupun pertanyaan kemudian adalah bahwa keresahan itu memang tidak dirasakan atau tidak cukup mampu pelajar untuk mengutarakan, karena tidak banyak aktivis, tokoh dan para elite yang berkomentar tentang krisis nya sektor pendidikan dalam menterjemahkan situasi pandemi ini. Maka tidak ada maksud lain dari penulis untuk sekadar mengangkat narasi ini kepermukaan, karena berekspektasi narasi ini mampu mengetuk kebijakan pemerintah saja seperti nya jauh dari imajinasi pelajar yang tidak sedikitpun memiliki legitimasi untuk menyatakan itu.
Kegiatan belajar daring yang dipilih pemerintah dalam merespon Covid-19 secara resmi dinyatakan oleh presiden Joko Widodo, Minggu (15/03/2020). Sejak saat itu pula gelombang pertanyaan meragukan kebijakan pemerintah yang cenderung imajinatif, jika dibandingkan dengan kemampuan infrastruktur dan kualitas pendidikan kita. Pembelajaran daring yang mengharuskan setiap siswa dan pengajar terkoneksi dalam lalu lintas internet secara eksplisit melahirkan masalah baru, responden memaparkan ketika menggunakan salah satu fitur video conference keresahan semacam banyak siswa yang tidak dapat terkoneksi dalam satu waktu, ketidakjelasan penjelasan dari para pengajar ketika memaparkan materi akibat kendala sinyal, waktu pembelajaran yang tidak menentu, siswa yang izin pada jam-jam tertentu akibat kendala hand phone dan laptop yang harus secara bergilir bergantian dengan adik atau kakaknya, bahkan tak jarang kendala justru hadir dari para pengajar, dimulai dengan persoalan sinyal, kebingungan memfungsikan fitur bahkan sampai pada persoalan habis kuota. Semua keresahan ini dirasakan oleh responden seakan menjadi siklus tiap harinya.
Pemaparan responden ternyata selaras sebagaimana keluhan dalam hasil riset Prof. Slamento bahwa 7 dari 10 guru tidak melaksanakan pembelajaran daring karena keterbatasan pemahaman untuk mengakses dan tidak memiliki alat perangkat yang diperlukan, seperti laptop dan kuota internet (08/04/2020). Realitas ini mengafirmasi betapa kebijakan pemerintah itu tidak dihasilkan atas bacaan dari permasalahan yang ada, hal ini diperkuat dengan pernyataan Fahmi Syahirul Alim Program Manager Internasional Center For Islam and Pluralism (ICIP) yang mengatakan bahwa selain pada kapasitas pemahaman pengajar untuk mengakses pendidikan secara daring, kualitas dan kecepatan internet kita belum optimal yaitu berada pada posisi ke 74 dari 77 negara dan infrastruktur internet belum merata keseluruh pelosok negeri (06/04/2020).
Kebijakan seharusnya mampu menjadi usulan arah tindakan untuk mengatasi suatu hambatan dan mencapai realisasi suatu sasaran seperti yang diucapkan Carl Friedrich, karena dampak dari suatu kebijakan harus mampu melahirkan pilihan kolektif yang saling berkaitan dan saling bersinergi.
Perubahan sistem pembelajaran menjadi daring adalah bagian dari produk sebuah kebijakan, namun caranya yang tidak memperhatikan ketimpangan yang ada, justru semakin mempertegas ruas ketidakseriusan pemerintah dalam menyikapi krisis pendidikan. Pembelajaran yang berbentuk daring pada tataran prakteknya hanya bergeser pada media penyampaian yang berbeda, tapi justru format pengajaran dan metode pendampingan tidak sedikit pun dikemas menyesuaikan pergeseran media yang ada. Bagaimana mungkin memfungsikan metode yang sama pada media yang berbeda, paradigma pengajar yang masih berorientasi hanya pada penuntasan target kurikulum, tentu perlahan menarik muara pelampiasan, disatu sisi keterbatasan kapasitas pengajar menjadi kendala, namun di sisi lain target kurikulum harus dituntaskan. Maka kiranya pemberian tugas dengan kapasitas yang banyak menjadi jalur dominan yang ditempuh para pengajar, siswa cukup mengerjakan dan pengajar tuntas dari beban. Keadaan ini merujuk pada pernyataan responden
“Bahwa ketika kendala dalam video conference terus menjadi persoalan tiap harinya, pengajar hanya memindahkan media pembelajaran seperti di grup Whatsapp atau telegram, yang justru hanya memungkinkan terjadinya lalu lintas pembelajaran sejauh pada instruksi pesan dan berujung pada tumpukan tugas, siswa hanya tahu notif tugas, dan pengajar hanya tahu pengumpulan tugas,” keadaan ini menerjemahkan bahwa lalu lintas pembelajaran online hanya sejauh pertukaran soal dan jawaban, bahkan tidak sedikit para pengajar yang menggunakan tugas dengan jumlah yang tak wajar sebagai bahan absensi bagi siswa, sehingga hak siswa untuk mendapatkan bimbingan pengajaran justru tidak terpenuhi. Berdasar kan data dari KPAI terkait pengaduan sistem pembelajaran online (25/03/2020) menerima total 77 pengaduan yang merujuk pada persoalan dominan yaitu beban tugas yang terlalu banyak, bahkan berdampak pada aspek psikologis siswa yang terancam akibat beban tugas yang tidak semestinya. Tentu, keresahan ini berbanding lurus dengan kapasitas dan pola pikir pengajar, namun ditengah ketidakjelasan pemerintah terkait panduan metode dan format pendampingan dalam penyelenggaraan pendidikan daring, kiranya menjadi muara persoalan. Selain mempertegas pula bukti bahwa program pelatihan guru yang memakan dana sampai dengan 900 miliar ternyata tidak efektif, seperti ucap Indra Charismiaji (18/03/2020). Partisipasi dan peran orang tua selalu menjadi dalih pemerintah dan lembaga untuk melempar balik keresahan. Benar, bahwa kehadiran orang tua menjadi lebih intensif dalam proses pembelajaran dibanding para pengajar dan pendidikan primer dalam keluarga jauh memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan anak, sampai disini penulis sepakat. Namun melimpahkan itu semua ditengah ketidakjelasan panduan sama dengan melempar beban tanpa tanggungjawab.
Dunia pendidikan kita memang tidak dipersiapkan untuk mapan, pendidikan kita masih berkutat pada learning what to learn (belajar tentang sesuatu) bukan learning how to learn (belajar cara belajar), Subjek utama pembelajaran selalu bermuara pada pengajar, dan kedaulatan siswa atas pengetahuan hanya berpangku pada sejauh kapasitas pengajar. Sehingga sistem pendidikan kita tidak cukup mampu beradaptasi dengan berbagai situasi. Ditengah hancurnya imunitas pendidikan dalam menyikapi Covid-19 ini, asas pendidikan berbayar atau bahkan pantas disebut ilegal levies practice (Pungutan Liar) justru tetap diberlakukan, bahkan terjadi pada lembaga pendidikan responden yang tetap menarik iuran dengan metode daring yaitu transfer, tentu dengan efektivitas yang jauh berbeda dengan pengajaran. Bagaimana mungkin ketika siswa tidak merasakan penuh fasilitas, dan hak tidak terpenuhi, sementara siswa harus memperlakukan hak bayar sekolah seolah- olah keadaan baik-baik saja. Dituntut pembenahan, justru melempar tagihan.
Maka, Semua situasi ini menggambarkan betapa lambannya pemerintah dalam menyikapi beragam persoalan pendidikan. Karena tidak meratanya akses pendidikan, rendahnya kualitas pengajar, sampai dengan ketimpangan fasilitas adalah bukan masalah yang baru bagi pendidikan kita. Namun ketidakseriusan pemerintah dalam menyikapi yang justru memperpanjang rantai persoalan, dan pandemi Covid-19 ini hanyalah bagian dari cara dunia menarik jadwal terbit kebobrokan dan kembali mempertontonkan wajah miris pendidikan.
Di akhir narasi, penulis hanya ingin mengajak kepada seluruh pelajar untuk sama-sama menyuarakan keresahannya, sehingga gelombang kesadaran menjadi masif dilancarkan ke segala sisi dimensi pendidikan. Karena setiap dari kita adalah manusia bebas yang berhak mengoreksi dan merumuskan masa depan wajah pendidikan kita yang sedikit banyak ditentukan oleh kebijakan pemerintah.
*) Catatan
- Penulis adalah Pramuja Yudha Pratama, PD IPM Garut.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
1 Komentar. Leave new
Saya sebagai salah satu siswi di sekolah negeri sangat setuju atas ap yg bapak/i sampaikan, saya merasa terbebani dengan berbagai tugas yang selalu di arahkan, tanpa adanya penjelasan materi diawal, beberapa guru saya hanya memberikan tugas dan mengabsensi murid²nya tanpa penjelasan materi. Saya merasa siklus mengajar saya hanya sekedar menjawab dan mengumpulkan tugas 🙁