GERAKAN IQRA’ SEBAGAI GERAKAN LITERASI UTAMA

GERAKAN IQRA’ SEBAGAI GERAKAN LITERASI UTAMA

Uncategorized
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

GERAKAN IQRA’ SEBAGAI GERAKAN LITERASI UTAMA

Uncategorized
1K views

Ditulis Oleh: David Efendi, Ketua Serikat Taman Pustaka se-Indonesia; Pengurus MPI PP Muhammadiyahk

IG@pekerjaliterasi_

defendi83@gmail.com

 

 

Gerakan Iqro’ yang berbasis Qur’ani sejatinya merupakan panduan gerakan literasi yang utama dan unggul dalam membentuk dan menentukan takdir kehidupan bangsa-bangsa. Spirit teologi ini mengalami marginalisasi hebat di kalangan ummat islam selama seratus tahun terakhir—Muhamamdiyah telah membendung arus pemarinalisasian ummat islam di Indonesia dengan mendorong tegaknya gerakan pencerahan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dengan berbasis ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Tanpa keberadaan Muhammadiyah di abad colonial, saya pribadi psimis, apakah bangsa ini bisa menikmati kemajuan dan kebebasan sebagaimana hari ini asik mahsuk dinikmati generasi kekinian—generasi tanpa dosa sejarah yang disebut dengan generasi milineal. Bebas dosa, tapi memanggul beban teramat besar untuk memastikan kehidupan seperti apa yang akan dijalani di masa depan.

Bagi saya pribadi, Literacy camp #2 adalah spirit yang terjaga dan energi yang terus menerus diperbaharui dan bergenerasi untuk mewujudkan Masyarakat literasi utama yang merupakan estafet dari literacy camp tahun sebelumnya serta kilatan cahaya dari kemuliaan gerakan Iqro’ yang seharusnya menjadi gerakan semua pemeluk Islam di muka bumi. Upaya-upaya itu kini semakin banyak mengisi ruang kosong kesadaran anak muda. Kegiatan semacam ini sangat layak dilakukan sebagai perayaan kecil atas berbagai kemenangan kecil yang terjadi saban hari di banyak sudut (lihatlah kegembiraan BOTS IPM Gresik, rangsel pustaka IPM Lamongan, ROTS dimotori sebagian oleh alumni IPM, becak pustaka, vespa pustaka, dan ratusan lainnya yang sedang tumbuh seperti jamur di musim hujan). Peristiwa literasi itu bolehlah menjadi bentuk kesyukuran dan sekaligus alasan kita berkumpul. Perayaan kecil dalam literacy camp sebagai doa kesyukuran agar gerakan ini terus bergenerasi dan bertahan.

*Literasi Kritis-Transformatif*

Gerakan literasi di dalam Muhammadiyah sama sekali bukan barang baru. Iqro menjadi praktik sekaligus manifestasi keimanan warga dan pengurusnya. Muhamamdiyah dilahirkan oleh ‘the light of knowledge’ yang tak lain tak bukan adalah dilahirkan oleh kemajuan zaman pencarahan yang didalamnya ada kredit utama dan pengutamaan pengetahuan. Orang-orang Muhammadiyah sejak dulu adalah manusia yang terbuka pikirannya, terbarukan cara pandangnya sehingga kedekatan dengan sumber-sumber pokok pengetahuan adalah sebuah keniscayaan. Teknologi yang diadopsi, sistem organisasi, sitem kerja penerbitan adalah temuan-temuan anak bangsa yang orisinil yang aktual dengan daya kontekstualisasi, learning culture, dan dedikasi yang maksimal untuk dijadikan energy pemerdekaan dan pembebasan di tengah iklim politik jahiliyah modern (di Bawah pendudukan Belanda dan Jepang).

Tahun 2003, gerakan Iqro di launching di Yogyakarta dan tahun tanfidz Muktamar 2004 melengkapinya dengan agenda, program, dan agenda detail aksi untuk mempertajam pena dan memperkuat makna-makna yang telah dituliskanya. Kemampuan mengelola baca-tulis semata-mata diberdayagunakan untuk memperkuat kesadaran, tindakan, pembelaaan atas relaitas secara kritis dan transformatif. Habitus dan peristiwa literasi nyaris menjadi embedded di tanah geliat organisasi pelajar Muhammadiyah pasca Orde Baru. Keberpihan pelajar Muhamamdiyah yang telah melek diskursus telah terbukti dari beragam respon individual dan organisasi akan beragam situasi timpang: kekerasan pelajar, komersialisasi pendidikan, komodifikasi agama, brutalnya pemilu, diskriminasi perempuan, dan masih banyak lagi yang telah menjadi agenda gerakan Pelajar Muhammadiyah dari sabang sampai merauke, dari pusat sampai ranting. Capaian ini telah menjadi sangat menggembirakan dan membanggakan.

Namun demikian, ternyata terdapat ruang kosong mengenai ekslusifnya penegtahuan dan buku-buku di tengah masyarakat yang timpang dalam sistem neoliberal. Banyak anak bangsa ternyata menderita tuna baca, tak memiliki akses bacaan yang berkualitas, infrastruktur peprustakaan hanya dinikmati kelas menengah perkotaan, oleh borjuis muda yang meniti karier yang kemudian dibelit oleh pikiran sempit developmentalisme dan pragmatisme. Hal ini dibuktikan dengan situasi ketika buku-buku digerakkan ke jalanan antusisme anak-anak bangsa sangat luar biasa. Wajar saja kini simpul-simpul pustaka bergeliat, forum taman baca juga, dan bahkan belum lama ini Muhamamdiyah merespon dengan mendirikan serikat taman pustaka yang merupakan branding gerakan literasi Muhammadiyah sejak 1923 masehi. Simpul pustaka bergerak dalam waktu dua tahun telah tumbuh hingga 700-an anggota komunitas, FTBM juga ribuan, dan taman pustaka jika selesai diidentifikasi juga akan menjadi subyek transformasi sosial yang penting.

Dengan kata lain, gerakan kritis transformative harus direkonstruksi sekuat tenaga, mendorong upaya probumisasi pengetahuan, menggerakkan pengatahuan sampai jauh dengan spektrum nilai-nilai emansipatif dan advokatig yang dirawat. Maka, tidak ada kata tidak bahwa IPM harus terlibat mengisi ruang kosong peradaban untuk mendorong keadilan literasi, keadilan masa depan, keadilan politik, pendidikan etis dengan mempromosikan sumber pengetahuan dengan highest quality beserta kuantitas yang juga perlu diperjuangkan keterpenuhannya. gerakan iqro menjadi gerakan mulia nan utama yang pantas diperjuangkan melampaui ruang dan waktu—untuk memastikan semua orang punya kesempatan memajukan diri dan kelompoknya menghadapi hidup dan kehidupan. Subtansi ini telah menjustifikasi bahwa gerakan politik pendidikan atau demokratisasi pengetahuan ala gerakan iqro IPM menjadi sebuah misi besar: gerakan pendidikan etis-emansipatif yang tumbuh disemai oleh nilai-nilai islam berkemajuan yang mengdepankan praktik keadilan, filantropi, dan komitmen dakwah (sustainable). Gerakan literasi berkesadaran kritis Ini juga dapat dikatakan, meminjam istilah Erich Fromm, sebagai politics of Hopes. Ya, politik harapan anak bangsa. Sebuah pembelaan akan kehidupan banyak mahkluk hidup.

 

*Islam Literat, Islam Ekologis*

Ada keyakinan yang tumbuh dalam diri saya. Semakin intensif seseorang terlibat dalam peristiwa literasi dan praktik literasi di dalam kehidupannya maka pada akhirnya ia akan tumbuh menjadi sosok yang ramah dan peduli terhadap lingkungan hidup dimana manusia memungkinkan melanjutkan perjalanan hidup di hari depan. Peristiwa literasi dan praktik literasi sejatinya adalah habitus islam yang literat—yang membaca dan mendalami pengetahuan Islam sebagai ilmu yang aktif dan dinamis. Peristiwa literasi dalam hal ini penting dipahami sebagai persinggungan antara apa-apa yang tertulis dalam sumber penegtahuan (buku dll) dengan konteks sosial, budaya, politik, dan ekologis masyarakat sebagai pertemuan ‘yang maha literasi’—karena telah mempertemukan ilmu dan realitas atau sebaliknya. Sedangkan, praktik literasi dapat dipahamis sebagai model dan bentuk-bentuk serta karakter aktifitas/peristiwa literasi yang berjalan berkesinambungan dari masa ke masa, dari zaman ke zaman dengan refleksinya masing-masing. Literacy camp dalam benak saya adalah ruang tumbuh antar komunitas yang juga menilustraikan pertemuan antara peristiwa literasi dengan praktik literasi. Sekaligus,s ebagai wahana refleksi bersama-sama untuk melipatgandakan kekuatan di masa depan baik yang dekat atau jauh.

Jika dalam tradisi Freirian, ekoliterasi (ecoliteracy: dari kata ecology dan literacy yang dipopulerkan oleh Fritjhop Capra dan dialihbahasakan/dipopulerkan oleh pegiat RBK) adalah kesadaran paling tinggi di level kesadaran kritis dalam berliterasi. Gerakan-gerakan perbukuan, gerakan membaca menulis tidak cukup pada akhirnya karena secara praktis dan faktual manusia membutuhkan bumi dan semestra ekosistem yang mempengaruhinya mengarungi kehidiupan. Kesadaran akan mendesaknya model gerakan ekoliterasi telah membuktikan bahwa penggiat literasi tak boleh tercerabut dari realitas ekologis dan kosmologis yang meyelubunginya sebagai variable interdependen. Jadi, semakin literat seseorang, sejatinya semakin menunjukkan pembelaaanya atas persoalan-persoalan ekologi, semakin memperlihatkan posisi pro-keadilan lingkungan dan keamanan semesta ekosistem.

Dengan demikian, ummat islam dengan literasi tingkat utama adalah berkelindan dengan konsepsi hidup seorang muslim sebagai khalifah yang bertugas memastikan ummat manusia menjadi protector bagi keseluruhan tata kehidupan (eco-governance). Tanpa itikad dan dedikasi di dalam penyelenggaraan urusan ekoliterasi ini, kita sebenarnya sedang memanen bencana demi bencana tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi sesungguhnya karena tuna pengetahuan ekologis.

Sebagai catatan akhir, saya harus bersikap apersiatif dan selalu menghargai uapaya skala apapun dalam berurusan dengan literasi. Siapa saja punya peluang besar untuk menjadi penggerak dan pelaku literasi. Sehingga, upaya upaya selama ini yang dipelopori oleh pelajar Muhammadiyah memenuhi takdirnya sebagai gerakan ilmu tak pernah padam, setelah puluhan tahun berjibagu Gerakan iqra (Gerakan literasi) kini berkolaborasi dengan ragam gerakan-gerakan ekologi. Semoga tulisan singkat di tengah banyak kesibukan ini ada sedikit manfaat bagi peserta literacy camp. Nuun Walqolami Wa maa yasturuun.

)*tulisan untuk memantik diskusi di sesi Literacy Camp #2 di Gunungkidul, 16 Desember 2017

Jogokaryan, 16 Des 2017 juga

Berbagai Komunitas Literacy dari Seluruh Indonesia Berkumpul, Literacy Camp #2 Resmi Dibuka!
Kemahiran Santri-Santri Pesantren Trimulyojati Memainkan Gamelan saat Menyambut Peserta Literacy Camp #2
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.