Apakah IPM Masih Relevan?

Apakah IPM Masih Relevan?

OpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Apakah IPM Masih Relevan?

OpiniOpini Pelajar
1K views

Harari mengatakan bahwa masalah yang paling pelik yang akan dihadapi manusia di masa yang akan datang adalah relevansi. Dalam konteks IPM, muncul pertanyaan, sejauh mana relevansi IPM di Indonesia? Apakah IPM masih penting untuk dipertahankan keberadaannya? Apakah keberadaan IPM berdampak pada masyarakat di sekitar, terutama pelajar secara umum?

Bahwa tantangan terbesar sebuah entitas terletak pada relevansinya. HP Nokia hitam putih di kota besar sudah tidak memiliki harga sedikitpun, karena ia sudah tidak relevan dengan zamannya. Ancaman disrupsi teknologi membuat banyak pekerjaan menjadi tidak relevan, seperti penjaga gerbang tol. Esok lusa, sopir taksi online bahkan, yang baru saja mendisrupsi sopir taksi offline, juga akan terdisrupsi kembali oleh mobil otomatis yang bisa dikendalikan tanpa sopir. Maka, jika IPM tidak lagi dipertimbangkan dan tidak lagi memiliki bargaining position yang kuat dalam masyarakat, barangkali karena tingkat relevansinya tidak terlalu tinggi.

IPM di akar rumput tentu relevan karena gerakan dakwahnya masih cukup dirasakan. Walaupun tidak banyak, namun tetap ada kader-kader yang jauh dari agama dan berada dalam pergaulan yang kurang baik, dapat menemukan jati diri ketika mengenal IPM. Data ini dapat dibaca pada buku (Bukan) Untuk Pelajar Muhammadiyah yang diterbitkan oleh PW IPM Jawa Tengah.

IPM di akar rumput masih dapat menjalankan peran untuk menjaga moralitas pelajar dalam batas-batas yang mereka mampu. Ada pula pelajar-pelajar yang mengalami broken home, kemudian mereka mencari pelarian diluar rumah. Rata-rata, pelajar dengan permasalahan seperti ini akan lari pada hal-hal negatif seperti narkoba, seks bebas, dan minuman keras. Namun, di samping itu masih ada beberapa pelajar yang pelariannya adalah kegiatan-kegiatan positif, salah satunya adalah kegiatan IPM. Di IPM lah kemudian orang-orang ini menemukan kenyamanan hingga akhirnya menemukan jati diri sebagai kader persyarikatan dan kader bangsa.

IPM di akar rumput juga sedikit banyak mampu mewarnai alam pikiran pelajar dalam batas yang mereka mampu. Hal ini pula yang dialami oleh seorang kader yang bercerita kepada penulis. Sejak awal SMA, seorang kader IPM ini banyak membaca buku-buku ideologi transnasional seperti Tarbiyah Jihadiyah dan Ayatu ar-Rahman fi Jihadi Afghan yang berisi kumpulan ceramah Abdullah Azzam, Ma’alim fi ath-Thoriq karya Sayyid Quthb yang menjadi pegangan gerakan tarbiyah, Ya! Mereka Memang Taghut karya Amman Abdurrahman, Aku Melawan Teroris karya Imam Samudera, dan buku-buku lain yang se-ideologi.

Alam pikirannya yang bersifat jihadis ini tumbuh subur ketika ia menjadi Ketua Ranting IPM di salah satu sekolah Muhammadiyah, karena lingkungan sekolahnya juga memiliki alam pikiran yang sama. Ketika ia menjabat di Pimpinan Daerah, ia mulai mengalami konfrontasi-konfrontasi pemikiran dengan alam pikiran Muhammadiyah. Misalnya ketika ia mencoba memahami konsep Pancasila. Hasil pembacaannya terhadap Pancasila begitu terpengaruh oleh Abdullah Azzam dan Amman Abdurrahman, sehingga ia meyakini bahwa Pancasila adalah taghut.

Di IPM, ia diajarkan bahwa Pancasila adalah konsensus masyarakat Indonesia, yang di Muhammadiyah disebut dengan Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah. Pada titik ini, IPM mampu mewarnai alam pikiran pelajar, sehingga dakwah Muhammadiyah dapat menjangkau dimensi yang lebih luas.

IPM juga berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh persyarikatan, umat, dan bangsa. Tokoh-tokoh yang lahir dari rahim IPM antara lain adalah Hajriyanto Y. Thohari yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI 2009-2014 dan sekarang menjabat sebagai Duta Besar Lebanon, Haedar Nashir yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas yang menjadi Ketua KPK pada tahun 2010-2011, Siti Noordjannah Djohantini yang sekarang menjadi Ketua Umum PP Aisyiyah, Ahmad Dahlan Rais yang sekarang menjadi Ketua PP Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang belum terdokumentasi.

Dalam konteks ini, IPM sangat diperlukan untuk melahirkan kader-kader penerus bangsa. Namun, apakah Pimpinan Pusat, beserta Pimpinan Wilayah barangkali, masih cukup relevan bagi Pimpinan Ranting atau Pimpinan Cabang? Jika boleh berpikir sedikit nakal, kita asumsikan tidak ada PP IPM dan PW IPM. Apakah PR IPM di masing-masing sekolah atau desa masih akan tetap hidup dan berjalan? Semoga ada satu dua kader yang mencoba menjawab pertanyaan ini dengan artikel, syukur-syukur dengan buku. Selamat berpikir!

*) Catatan

  • Penulis adalah Yusuf R. Yanuari, Ketua Bidang PKK PW IPM Jawa Tengah dan LAPSI PP IPM.
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Millenial Berkarya diRumah
Cegah Covid-19, IPM Sumsel Buktikan Pelajar Juga Turun Tangan
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.