Oleh: Facruddin Achmad
September 1999. Saya bersama 10 orang kawan se-organisasi pelajar menuju Bandung, mewakili kontingen Sulawesi Selatan mengikuti pelatihan tingkat nasional. Level tertinggi dalam strata jenjang pelatihan, kecakapan mengolah, kemahiran menganalisis, hingga kemampuan mengonsep pergerakan organisasi yang berstruktur dari tingkat pusat (nasional), wilayah (propinsi), daerah (kota/kabupaten), cabang (kecamatan), hingga ranting (sekolah). Kami 11 orang, belum satupun pernah berlabuh ke Tanah Jawa!
Sejak dinihari pkl 02.00, setelah melewati pemeriksaan tiket dan barang, kami turut memenuhi ruang tunggu Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar bersama ribuan calon penumpang dan pengantarnya (seharusnya tak boleh, namun cukup banyak yang berhasil lolos). Kapal Motor Tidar berkapasitas 1.974 penumpang yang akan kami tumpangi telah merapat sejak semalam, namun hingga pkl 06.00 belum juga membolehkan penumpangnya naik karena gangguan teknis menurut pengumuman resmi PT. Pelni. Beberapa penumpang cukup santai, tak sedikit pula gusar hingga memaki.
Tepat pkl. 08.00 penumpang dipersilahkan. Awalnya antrian tenang perlahan berubah jubel dan dorong mendorong di pintu keluar ruangan yang tak cukup lebar. Teriakan kesakitan beberapa kali terdengar, khususnya perempuan dan anak-anak. Di tengah suasana itu, ada juga yang memanfaatkannya. Satu kawan saya jadi korban! Dompet kecil di sisi kiri tasnya dicopet. Perempuan berkacamata minus itu menangis tak kuasa. Jelang di tangga kapal ia mengurungkan diri ikut. Tak punya dana lagi ucapnya. Kami semua bingung, harus bagaimana. Satu per satu penumpang mulai menjejal naik, kami masih cari jalan ke luar. Ketua rombongan mencoba menelfon dengan hp (di tahun itu belum cukup banyak yang punya untuk ukuran mahasiswa). Menghubungi keluarganya, tapi kesulitan tembus. Ke beberapa kawan lainnya, taka ada yang punya dana cukup untuk dibawa ke pelabuhan. Giliran ada yang punya, sedang berada di luar kota. Kontak ke sekretariat organisasi pun terhubung; kami tetap diminta berangkat dengan utuh, masalah dana ditanggung bersama, akan ditransferkan saat tiba di lokasi. Raut kawan saya berubah cerah. Mengangguk tanda setuju menjadi aba-aba kami mulai menginjak anak tangga kapal.
Ranjang-ranjang, lorong-lorong dek, hingga pelataran ruang nahkoda, nyaris sesak terisi. Masalah tadi cukup melambatkan kami menemukan posisi bagus untuk istirahat. Dek paling luar pilihan terakhir, meski beresiko sepanjang perjalanan diterpa angin laut dan gesekan kaki penumpang lalu-lalang akan akrab menemani. Besi raksasa buatan Jerman tahun 1987 itu bergerak perlahan. Lambaian tangan pengantar penumpang di tepi pelabuhan meramaikan suasan “khidmat” pelepasan perahu seberat 3.200 DWT atau setara 13.861 gross ton. Teriakan dan senyum-senyuman mereka tampak makin kecil, hingga beberapa jam berikut semua yang terlihat hanya air biru.
Jelang shubuh, suasana tenang sekitar kami berubah riuh. Seorang ibu teriak-teriak kehilangan tasnya. Histeris dan menangis. Lelaki paruh di sampingnya berdiri dan teriak pula memaki siapapun pencurinya. Menatap ke seantero lorong dek, termasuk ke kami yang tak cukup jauh darinya. Lelaki itu mendekat, meminta kami menunjukkan tas-tas dekat kami. Satu kawan saya berperawakan besar tinggi cukup marah dicurigai. Beberapa kawan lain terpancing. Ketua rombongan menenangkan dan mempersilhakan tas-tas kami diihat. Usai semuanya “diperiksa”, lelaki itu meminta maaf. Ketua rombongan berucap: “Perjalanan ini sekaligus ujian jiwa muda kita. Ini latihan menuju dewasa. Yuk, siap-siap shalat.”
Setelah 24 jam lebih 20 menit, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pun kami jejak. Dan lagi-lagi, budaya antri Indonesia belum menunjukkan lebih baik, dorong mendorong di pintu ke luar harusnya tak perlu terjadi. Belum lagi para kuli yang “memaksa” masuk menawarkan jasa angkat barang. Tak kalah parahnya, penumpang berikut yang akan berlabuh menuju Jakarta juga mulai masuk, melanggar karena belum waktunya.
Dengan taksi jenis L-300, kami menuju Terminal Bus Bungurasih. Setelah memilih jadwal berangkat, pkl 15.00 kami pun duduk nyaman dalam Bus full AC menuju Kota Kembang, Bandung. Sepanjang jalan kami mulai banyak membaca buku dan artikel persiapan mengikuti pelatihan. Beberapa kali bus berheti di terminal kabupaten yang dilewati ataupun berhenti mengambil penumpang di tepi jalan. Tiap berhenti selalu akan ada dua hingga lima orang pedagang menawarkan jualan. Dari makanan macam gorengan, krupuk, buah, atau minuman aneka rasa, maupun buku, sticker, hingga pisau dapur, potong kuku, dan lainnya. Entah karena dua kejadian sebelumnya, saya begitu saja selalu merasa mawas diri dan mengingatkan kawan-kawan agar memperhatikan barang bawaan, dan minta agar tidak terlalu lelap saat tidur. Sekitar pkl 03.00, bus berhenti di Tasikmalaya. Lelaki yang duduk di belakang saya turun. Bus berjalan lagi. Ingin ganti buku bacaan, saya meraih rangsel yang ada di bawah kursi. Saat menariknya, kantong rangsel bagian luarnya telah teriris semacam silet. Kamera kodak pinjaman tante saya pun raib. Sesak nafas itu terasa sekali. Teringat lelaki yang turun tadi, pernah mendekat bertanya; “Jam berapa dek?”. Ah, beginikah nasib kalau merantau? Tatapan kawan-kawan jelas iba, dan mungkin bunyinya: “Kok bisa, kamu yang selalu ingatkan kami jaga barang, malah kecurian.” Dan saya pun hanya tertawa pias.
Pagi hari jelang jam 10 kami tiba di Terminal Cicaheum Bandung. Selanjutnya dengan angkot kami menuju lokasi panitia penerima peserta pelatihan di Jalan Sancan. Bersua dengan para peserta se-Indonesia. Esoknya setelah sarapan, 60 orang peserta bersama panitia lokal bertolak menuju Wisma Koperasi di Lembang Bandung.
Keindahan lokasi yang tepat di lembah Gunung Tangkuban Perahu, plus udara segar hingga ke bilik jantung, membuat suasana hati lebih tenang. Sesi pembukaan acara pelatihan oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais amatlah luar biasa. Proklamator reformasi depan kami memberi sambutan pembukaan. Dua jam berikut tak kalah menggetarkan, Yusril Ihsa Mahendra menjadi pemateri. Professor muda ahli tata negara itu menyulap pikiran kami dalam memandang bangsa dan peran sertanya dalam kancah dunia. Tiga kejadian tak menyenangkan serasa terobati impas. Beginikah nikmatnya hingga 11 hari ke depan?
Malam di hari pertama, pasca dinner ternyata kami ujian IQ dan Psikotes. Gagap dan kelabakan tampak di beberapa peserta. Mungkin karena yang tercantum di jadwal tertulis: Pre Test dan Kontak Belajar. Nggak ada kedua kata itu. Esoknya hasil diumumkan, dipajang di mading Instruktur: 60 peserta, saya ranking 30, pas tengah. Tawa lepas dan kecut menyatu. Kekurangan saya apa ya?
Hari kedua materi kian “berat”. Membedah kekerasan sosial yang sedang melanda Indonesia. Fokus pada masalah Poso dan Maluku yang menelan korban ribuan orang. Banyak istilah yang muncul, analisis yang ditengahkan, hingga rentetan referensi yang dipaparkan, serasa menciutkan nyali belajar. Tanya jawab dan tanggapan dominan dari kawan-kawan yang mengenyam kuliah di Jawa. Satu dua dari Sumatera, dan hanya satu dari Kawasan Indonesia Timur, jelasnya bukan saya.
Sore hari, materi dieksplorasi dalam bentuk diskusi kelompok, didampingi satu orang instruktur. Meski suasana diskusi berlangsung di bawah pohon rindang nan sejuk bersuhu 170C, emosi positif untuk lebih terlibat belum menyentuh ego saya. Terlalu kagum dengan kemampuan kawan dari propinsi lain. Anehnya ternyata, juga dialami nyaris oleh 10 kawan kontingen saya. Sesi presentasi kelompok, bagian sayahanya menyiapkan dan mengendalikan penggunaan OHP (over high proyektor) beserta plastik slidenya. Esoknya di majalah dinding; saya ranking 26. Lumayan kan, naik 4.
Sesudah shalat berjamaah shubuh, peserta dibagi lagi dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok diisi dari propinsi yang berbeda. Kajian ayat yang disebut Kultur Tafsir (menjawab tantangan dan persoalan bangsa kekinian dengan perpektif ayat-ayat Al Qur’an) berlangsung 20 menit. Setelahnya, saya ditodong kawan se-kelompok menjadi moderator. Aktifitas ini sesungguhnya biasa saya bawakan, tapi di momen ini rasa minder yang menguasai cukup menjeblok rasa percaya diri. Suasana dan memilih tidak malu dan tidak bikin malu juga yang akhirnya menang, saya “terpaksa” mengiyakan.
Keringat tak bisa saya sembunyikan di ruangan dingin segar yang dihembus angin pinus. Kerap terbata dan kehilangan kata cukup menunjukkan saya lagi demam panggung. Meski usai juga, rasa tak puas dan kurang yakin “bertahan” di pelatihan higgap juga di pikiran. Di rapat kontingen siang hari setelah menikmati Lalapan Sunda, ketua rombongan mengumpulkan kami. Kawan se-kampus saya itu mengevaluasi satu per satu keaktifan dan respon kami dalam pelatihan. Kesimpulan: kami harus naik 10 kali lipat jika ingin pulang dengan rasa bangga yang tak terbatas! Caranya? Mengubah cara pandang: dari berpartisipasi sebagai peserta pelatihan menjadi seperti sedang bertanding!
Babak perubahan itu coba kami praktikkan. Dalam diskusi kelompok sore hari lebih banyak terlibat. Ingatan pada bacaan apapun yang terlintas saya kolaborasikan menjadi satu dua bahan pikiran dan pernyataan. Silih berganti berbicara dan menyampaikan pendapat bukanlah hal yang harus dihindari. Ternyata mengasyikkan. Mungkin ini yang dimaksud: jika anda terlibat untuk nyaman dalam belajar, maka belajar itu akan menyenangkan.
Malam harinya, saya beranikan diri turut menanggapi hasil presentasi beberapa kelompok lain di forum diskusi yang diikuti semua peserta. Meski mendebarkan, terasa lebih mengasyikkan lagi. Mungkin ini yang dimaksud: jika kerikil tajam berani diinjak, anda takkan takut melihat batu besar. Esoknya, saya di ranking 12. Wah, loncatan yang lumayan.
Waktu terus memproses kami di berbagai suasana pelatihan yang didesain tim instruktur. Baikindoor maupun outdoor selalu menyimpan kesan. Manusia itu sungguh menarik. Seorang peserta dari Aceh sangat pandai bercerita lucu. Stoknya nggak pernah habis. Cerita selalu baru, belum pernah didengar sebelumnya. Peserta dari Padang dan Lampung punya segudang pantun. Tiap berkomentar atau presentasi di forum, mengawal dan menutup dengan sastra tua tersebut. Seorang kawan dari Samarinda lihai berpantomin. Dari Papua jago bersuara aneh dan meniru suara aneka hewan. Paling banyak unjuk kebolehan berpuisi. Dan saya masuk dalam banyak itu. Di hari ke delapan, pematerinya seorang penulis dan tokoh salah satu penerbit nasional. Ucapannya cukup memukul emosi positif saya untuk segera terbang: “Jangan pernah menjadi orang kebanyakan, jika anda ingin sangat sukses, kecuali ingin sukses saja.” Kalimat yang aneh. Lebih aneh lagi saat ia berkata: “Apa boleh buat jika anda hanya orang kebanyakan. Tapi cobalah jadi orang kebanyakan yang berbeda.” Orang itu adalah Pak Hernowo.
Kalimat itu menabrak alam imajinasi saya untuk membuat puisi yang tidak biasa. Setidaknya tidak biasa buat saya, dan sepaksa-paksanya; tidak biasa buat orang lain. Hari kesembilan malam, saya membaca puisi dalam acara yang dilabel Talk Show Talk Now. Puisi yang 48 jam baru selesai.
aku marah // pada telinga yang tuli // bibir bisu // dan mata buta
kau pikir patut dikasihani? // tidak!
miskin adalah penyakit // kau harus dihilangkan
undang-undang harus melenyapmu // negara bukan untuk kau
tanah ini untuk orang sempurna // sehat wal afiat dan kaya raya // agar mudah tak ke surga
Selepas sarapan pagi menuju ruang sidang pelatihan, sempat melirik ke mading instruktur. Buk! Sebuah tepukan keras di pundakku dari kawan asal Kendari seiring sudut mataku membaca di angka 8. Pengaruh puisi?
“Bagus. Kamu di sepuluh besar. Tapi kan ini hanya instrumen. Memudahkan evaluasi peserta. Tak adil bila manusia dinilai dengan angka-angka.” Dug! Hatiku mengiyakan. Lalu, yang disebut prestasi dan apresiasi di mana posisinya? Hatiku yang lain bertanya dengan menggerutu. Pikiran ke mana-mana. Bahkan membedah ulang: apakah suasana bahagia belajar optimal di pelatihan bukan hadiah dari Tuhan setelah musibah kecurian dompet, dituduh mencuri di kapal, dan kecurian kamera di bus? Apa salahnya angka jika upaya berpartispasi aktif berhadiah ranking?
Hari itu saya mencoba fokus memperhatikan tiap kawan di ruang pelatihan. Baik yang presentasi, yang bertanya, yang menangapi, yang hanya mengangguk, yang hanya mencatat, bahkan yang hanya banyak melihat ke pembicara, benar adanya: semuanya unik. Punya kemampuan khas. Pertama, secara kualitatif mereka yang terbaik di propinsinya, karena mewakili wilayah. Kedua, semua mahasiswa di perguruan tinggi yang bukan kacangan. Negeri atau swasta punya nama terbaik di tempat masing-masing. Ketiga, di setiap sesi pelatihan mereka tetap aktif dengan caranya masing-masing, terlebih karena saya tak melihat mereka sepanjang hari secara bersaman, tentu ada kejadian “luar biasa” di saat bersamaan saya mengalaminya. Mungkin ini yang dimaksud: “Jangan mengukur kedalaman air dari permukaannya.”
Diskusi pleno malam hari bernilai beda di mataku. Kalimat-kalimat kawanku se-antero nusantara seperti lampu pijar warna-warni yang berganti menyala. Sesekali bersamaan menyala, suasana jadi seperti pesta ulang tahun. Meriah. Saya? Lebih semangat 10 kali lipat. Bukan untuk lomba, sesuatu yang berbeda. Lebih hidup. Mungkin ini yang disebut: “Fastabiqul Khairat, Belomba-Lomba dalam Kebaikan.”
Sehari sebelum penutupan. Panitia mengadakan rekreasi buat peserta ke Tangkuban Perahu. Tak hanya melihatnya lagi dari jendela wisma pelatihan. Kami berada di puncak 2.084 m. Sambil menikmati strawberry jualan di sekitar gunung, merenungi kuasa Ilahi; tampakan kawah berwarna hijau. Memungut kerikil berbahan kapur yang mengadung sulvur belerang, melemparnya jauh berharap tiba ke dalam kawah. Indah sekali, sejauh memandang bebatuan, pinus, montane, ericaceous, yang terhampar di propinsi berpenduduk terpadat, Jawa Barat. Dan teringat firman Rabb yang menggema 31 kali di kitab-Nya: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Hari ke 12. Penutupan mengisahkan cerita takkan berujung. Selain tangis haru dan rasa rindu, juga gelora optimisme melihat bangsa di tangan pelajar-pelajar terbaik masa depan.
17 tahun lalu, berbuah sangat manis kini. Kawan-kawan se-Indonesia itu menjadi jaringan terbesar meluaskan harapan saya menjadi trainer. Alhamdulillah, hampir semua propinsi telah saya kunjungi memberi berbagai pelatihan, khususnya: Super Teacher. Di rumah kawan itulah saya lebih banyak memilih nginap. Merajut silaturrahim, membagi cinta. Mungkin ini yang dimaksud beberapa penggal ungkapan ini:
“Anda takkan pernah miskin jika punya banyak teman.”
“Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.”
“Silaturrahim itu memperpanjang umur memberi berkah.”
Sahabat, kekayaan tak terhingga.
Seperti kata So7: Hingga Ujung Waktu. Selamanya.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Maros-Sulsel, 11 April 2016
Penulis adalah:
* CEO Super Trainer Indonesia
* Aktif di Forum Lingkar Pena, Pemuda Muhammadiyah, dan Darul Istiqamah
* CP:
hp : 081342501014
email : daengsilele@gmail.com
web : www.supertrainerindonesia.com
fp : super trainer
fb, line, instg : fahruddin achmad
twt : dg_silele
sumber:
http://www.supertrainerindonesia.com/2016/06/hingga-ujung-waktu-fahruddin-achmad.html?m=1Hingga Ujung Waktu; Catatan TMU 1999