Dalam IPM, terutama di tingkat elit, jarang sekali kita dihadapkan dengan permasalahan keumatan atau kepelajaran, malah kita justru lebih sering dihadapkan dengan konflik politik di dalam tubuh organisasi yang terbilang sudah terlalu banyak.
Konflik politik yang sebenarnya tidak perlu, bahkan cenderung kontraproduktif. Pasalnya, konflik politik ini selalu melahirkan korban-korban yang terbilang cukup serius. Contoh nyatanya adalah, ada salah satu korban politik IPM yang jatuh sakit hingga dua bulan karena menghadapi hantaman politik yang begitu berat dan pelik.
Di antara korban-korban politik itu, awalnya ada yang hendak mengubah hidup ke kota tempat sekretariat IPM berada. Mereka sudah menyiapkan seluruh perbekalan untuk “hijrah” Namun, karena “satu-dua” hal, yang anda semua pasti sudah tahu apa itu, mereka batal berangkat.
Padahal, perpindahan kader IPM ke suatu kota bukan hanya sekedar perpindahan fisik semata, tetapi juga transformasi diri, transformasi jaringan, dan transformasi kelas sosial. Kader-kader yang berasal dari desa rela datang ke kota dengan beragam motif, entah itu karena karir, pendidikan, dsb, yang mana motif-motif tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup.
Sayangnya, IPM tidak selalu dapat mengakomodasi seluruh kepentingan kader-kader tersebut. Banyak di antara mereka yang mengurungkan niatnya untuk hijrah karena “satu-dua” hal tersebut. Maka, konflik politik itu tidak pernah sesederhana yang dikira, ia menyangkut hajat hidup kader-kader IPM untuk menjadi pelopor gerakan IPM di pimpinan masing-masing.
Kader-kader IPM tersebut hanya ingin naik kelas dengan datang ke kota, tidak untuk ber-IPM saja, tapi juga untuk mencari peluang demi melanjutkan pendidikan atau karir. Namun, tak semua kader IPM mendapatkan kesempatan untuk melakukan hijrah itu. Yang penyebabnya bukan karena faktor keluarga atau finansial, tetapi karena faktor politik di IPM. Mereka yang gagal masuk ke Pimpinan Wilayah misalnya, mereka tidak jadi merantau ke ibukota provinsi. Akhirnya, transformasi sosial yang telah mereka siapkan menjadi sia-sia belaka.
Satu contoh lagi ketika Musyawarah Daerah di Pimpinan Daerah diselenggarakan, pihak-pihak yang menjadi korban konflik politik itu tak jarang merasakan penderitaan yang besar, apalagi di tingkat yang lebih tinggi.
Namun, dunia politik memang bukanlah suatu hal yang dapat dihindari oleh kader IPM yang sedang mencoba menaiki jenjang ke tempat yang lebih tinggi.
Berangkat dari itu, izinkan saya “urun rembuk” tentang ide-ide yang bisa meminimalisir dampak negatif dari konflik politik itu. Agar, adik-adik kita di bawah, dan anda-anda semua yang masih punya umur panjang di IPM, tidak perlu merasakan dampak dari konflik politik tadi.
Politik Jalan Tengah
Istilah moderat bukan lagi menjadi hal yang asing bagi Muhammadiyah, terutama bagi kader IPM yang mungkin istilah itu sudah menjadi “makanan sehari-hari” kader IPM, karena Islam yang dipilih oleh Muhammadiyah sebagai ideologinya adalah Islam yang moderat atau tengahan, wasathiyah. Islam yang secara sederhana sering diartikan dengan tidak kiri dan tidak kanan.
Tengahan atau moderat dalam konteks politik berarti berada di tengah. Dalam bahasa Alquran disebutkan, syuhada ‘ala an-nas. Menjadi saksi atau wasit yang berada di tengah. Apakah berarti netral? Tidak juga. Umat Islam diajarkan untuk tidak netral. Kata Dante Alighieri (1265-1321), tempat tergelap di neraka disediakan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral.
Wasit itu tidak netral, ia selalu berpihak. Berpihak kepada siapa? Berpihak kepada kebenaran, keadilan, dan peraturan yang berlaku. Dalam konteks IPM, politik jalan tengah berarti berpihak kepada kepentingan pelajar secara umum. Jika di Pimpinan Wilayah ia harus berpihak kepada kepentingan pelajar di satu provinsi, tidak hanya di daerahnya sendiri. Jika di Pimpinan Daerah ia harus berpihak kepada kepentingan pelajar di satu kabupaten/kota, tidak boleh berpihak kepada pelajar di ranting atau cabangnya sendiri.
Politik tengahan juga berarti tegak lurus mengikuti konstitusi. Sayangnya, implementasi dari hal ini tidaklah mudah. Memang, seluruh kader IPM selalu tegak lurus mengikuti konstitusi. Hanya saja, masing-masing dari mereka menafsirkan konstitusi dengan berbeda-beda, kadang ditafsirkan secara jujur, kadang ditafsirkan sesuai kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, yang diperlukan adalah kejujuran dalam membaca teks-teks konstitusi IPM, baik berupa AD/ART ataupun aturan-aturan lain. Sehingga, selama kita semua jujur dan ikhlas dalam membacanya, perbedaan-perbedaan itu tidak akan menjadi pemicu konflik yang meniscayakan adanya korban.
Lebih jauh, peta politik tengahan berarti menghilangkan sekat-sekat primordial kedaerahan. Primordialisme adalah suatu perasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan. Menghilangkan sikap primordialisme di sini berarti tidak mendukung atau memihak orang berdasarkan kesamaan daerah dan kesamaan bahasa.
Primordialisme adalah salah satu ideologi manusia pra-modern ketika mereka masih hidup secara nomaden dan bersuku-suku. Kini, ketika seluruh manusia telah terkoneksi secara global, idealnya ideologi primordial itu segera ditanggalkan. Manusia yang hidup secara primordial adalah manusia yang tidak bisa menghargai keragaman suku, budaya, dan bahasa.
Maka, keberpihakan kader IPM, sekali lagi adalah kebenaran dan keadilan yang dilihat secara jujur dan tulus. Dalam hal personalitas, yang harus didukung adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan dan kompetensi.
Patronase Jalan Tengah
Salah satu hal yang membuat konflik politik di IPM semakin mengeras adalah patronase dengan senior, lebih-lebih senior yang meninggalkan legacy konflik. Maka, menurut hemat saya, kader IPM tidak elok jika harus mewarisi konflik seniornya masing-masing. Jika kader IPM terus mewarisi konflik, maka yang terjadi adalah konflik berkepanjangan tanpa ada dosa apapun sebelumnya.
Maka, dalam memilih patron senior, kader IPM juga mulai harus meluruhkan nilai-nilai personalitas dalam diri senior, dan mulai melihat kembali kepada ideologi. Jadi, kita berpatron terhadap senior yang sesuai dengan ideologi, bukan yang memiliki kesamaan daerah.
Senior sesama daerah atau wilayah itu memang penting, itu tidak bisa dibantah. Silaturahmi dengan senior-senior yang satu daerah atau satu wilayah adalah budaya baik yang tak boleh ditinggalkan. Apalagi, selama ini salah satu sumber fundraising IPM adalah senior di daerah masing-masing.
Namun, ketika terjadi permusyawaratan, sebagian senior akan punya Kepentingan sendiri. Maka, agar konflik politik tidak terlalu besar, intervensi senior harus dibatasi. Saya yakin, haqqul yaqiin, kita sudah mengetahui tentang nilai ideal ini. Namun, antara pengetahuan dengan praktik itu berbeda. Kita tahu, tetapi tidak mudah untuk mengamalkannya.
Ketika konflik-konflik yang terjadi diperparah dengan kehadiran senior, maka ada baiknya kita berpihak dan menaruh respek pada senior yang kita ketahui memiliki ideologi dan pandangan politik yang bijak dan dewasa. Bukan senior yang ideologinya adalah “asalkan juniornya menang”.
Dengan berpihak kepada senior-senior yang tidak punya kepentingan politik, konflik-konflik itu minimal bisa berkurang. Ini adalah sikap yang moderat dalam memposisikan senior.
Apresiasi Kader Apolitis
Menurut Wikipedia, apoliticism is apathy or antipathy towards all political affiliations. Saya tidak ingin mengartikan apolitis sebagai sikap anti politik. Melainkan lebih ke laku asketis yang tidak ingin luruh dalam konflik kepentingan.
Kita tidak bisa menafikan bahwa kita bisa mengkapitalisasi IPM menjadi kekuatan politik yang mendatangkan keuntungan pragmatis. Namun, sependek yang saya tahu, di tengah-tengah kita selalu hadir kader-kader yang tulus berjuang untuk IPM. Kader-kader ini tak banyak bicara, tak punya banyak kepentingan. Kepentingan mereka adalah kesuksesan berbagai kegiatan dan gerakan IPM.
Kader-kader ini tersebar dari ranting hingga pusat. Mereka selalu digunakan dalam berbagai kepanitiaan. Mereka rela meluangkan waktu dan tenaga yang besar untuk kesuksesan kegiatan. Bahkan, tak jarang mereka mengeluarkan uang pribadi untuk ‘menambal’ kekurangan dana.
Namun, kader-kader ini jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka memang jarang berada di posisi strategis, paling maksimal hanya ketua bidang. Namun, keihklasan dan pengabdiannya tak ada yang meragukan.
Kader-kader ini juga sama sekali tak tertarik dengan konsolidasi untuk meraih kemenangan tertentu. Mereka memang tak pernah diperhitungkan ketika sedang ada konsolidasi. Tujuan mereka jelas, yaitu mengabdi kepada IPM. Mengabdi kepada kepentingan IPM, bukan kepentingan kelompok dan faksi manapun di dalam IPM.
Ber-IPM dengan jalan tengah berarti memberikan apresiasi yang lebih terhadap kader-kader ikhlas seperti itu. Mereka ini adalah “tulang punggung” IPM. Tuhan memberikan rahmat yang luar biasa besar kepada IPM karena IPM masih memiliki kader-kader ikhlas seperti ini. Bukan kader yang tiap hari tampil di muka, tetapi tak memberikan kontribusi yang nyata.
- Penulis adalah Yusuf Yanuri, Anggota Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PP IPM 2021-2023. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @yusuf.yanuri.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.