Tulisan ini berawal dari penulis yang tengah mengevaluasi Sistem dari Pimpinan sendiri, mulai dari kebijakan, mekanisme, potensi Pimpinan Daerah dan bagaimana menentukan langkah yang tepat untuk ke depannya.
Singkat cerita, sampailah dari penulis harus memetakan bagaimana Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting IPM menjalankan fungsi Ikatan sebagaimana perannya. Karena menyadari penulis masih minim wawasan akan hal itu maka Penulis mencari pencerahan dengan membaca literatur mengenai IPM yang tak lupa bertanya ke beberapa kader IPM lain.
Cukup mengejutkan ketika beberapa kawan itu memiliki opini bahwa adanya Pimpinan Cabang itu kurang efektif ditinjau dari beragam pengalaman mereka. Dan dari sinilah kajian Pimpinan Cabang ini penulis mulai.
Alasan Cabang Muncul?
Satuan wilayah, daerah, cabang itu dibentuk salah-satunya karena latar belakang geografis, mengingat beberapa daerah di Indonesia itu kadang kontras sekali kulturnya, padahal cuma beda kecamatan. Sehingga pendekatan organisasinya tentu saja berbeda. Selain diperlukan wadah untuk menghimpun ranting, cabang perlu ada supaya garis koordinasi bisa diterjemahkan dengan konteks kultur yang lebih variatif.
Adakalanya dalam suatu Daerah memiliki cakupan area yang luas, sebagaimana Kabupaten Wonogiri yang memiliki area kabupaten seluas 182.236,02 Ha, dan memiliki 25 kecamatan. Bahkan jarak Kecamatan terjauh (Paranggupito) dengan Wonogiri Kota itu berjarak 68 KM. Maka, salah satu urgensi adanya Cabang adalah untuk menjadi tangan panjang Pimpinan Daerah dengan lingkup gerakan yang lebih fokus dan intens. Tetapi antara Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, bahkan Pimpinan Ranting harus jelas sinerginya; mana Event yang harus dikerjakan Pimpinan Daerah, mana yang harus dikerjakan Pimpinan Cabang, termasuk juga mana yang harus dikerjakan Pimpinan Ranting.
Maka dari itu penulis diawal mencoba memetakan peran Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting. Event tingkat Kabupaten yang pasti adalah Taruna Melati 2, PDPM 2, Konpida, dan Musyda.
Kemudian Event tingkat Pimpinan Cabang yang pasti adalah Taruna Melati 1, PDPM 1, Konpicab, dan Musycab. Pimpinan Daerah dalam hal ini tidak bisa semena-mena melangkahi Pimpinan Cabang untuk mengurus Ranting tanpa seizin dan sepengetahuan Pimpinan Cabang ataupun ranting yang melangkahi Pimpinan Cabang untuk diurusi Pimpinan Daerah atau atasnya. Hal ini untuk menjaga perasaan Pimpinan Cabang biar ada marwahnya sedikit~
Taruna Melati 1: Ranah Pimpinan Cabang atau Pimpinan Ranting?
Penulispun sedikit berfikir akan pentingnya Pimpinan Cabang dalam tubuh Ikatan ini, misalkan memikirkan apakah Taruna Melati dikerjakan oleh Ranting atau Cabang. Jika dikerjakan Cabang, maka ada potensi kesenjangan kemampuan Peserta dalam kegiatan Perkaderan, mengingat peserta tidak berasal dari jenjang pendidikan yang sama, ada yang dari SMP, ada yang dari SMA.
Persoalan kesenjangan ini sebenarnya bukan berarti yang harus direformasi peran Pimpinan Cabangnya. Melainkan teknis perkaderannya. Untuk mengatasinya adalah dengan membuat TM 1 khusus jenjang SMA dan TM 1 Khusus jenjang SMP.
Ranting Pesantren tidak bisa disamakan dengan PR IPM yang berada di sekolah formal biasa mapun yang berada di Ranting Desa karena pada umumnya Pesantren memiliki kurikulum yang cukup padat, yang membuat santri tidak dapat bergerak bebas seperti sekolah-sekolah umum. Maka mulai dari sini diperlukan TM 1 khusus pondok yang itu sudah diwacanakan dalam Pedoman Perkaderan Nasional.
Jika TM 1 dikerjakan Pimpinan Cabang, TM 1 yang dikerjakan tiap daerah memiliki intensitas ringan karena Perkaderan Tingkat Dasar dari suatu kecamatan bisa dibarengkan menjadi satu dengan peserta yang terseleksi dari masing-masing Ranting, dan bagi Ranting yang bisa membuat Latihan Dasar Pimpinan Ranting dengan Materi yang lebih dasar.
Jika TM 1 dikerjakan mampu dilakukan Pimpinan Ranting maka jelas semua kader memiliki jenjang pendidikan yang sama, pemateri ataupun fasilitator juga enak menentukan level penyampaiannya ke peserta. Kemudian kalau Taruna Melati 1 dikerjakan oleh Pimpinan Ranting tanpa ada Pimpinan Cabang di atasnya, TM 1 didampingi Pimpinan Daerah.
Lantas apa yang jadi persoalan?
Persoalannya bukan di siapa yang melaksanakan, yang jadi persoalan adalah Jenjang perkaderan. Jika kita liat dalam Pedoman Terpadu Perkaderan Nasional, maka tertera jenjang Perkaderan di IPM ada Fortasi (untuk lembaga pendidikan formal) atau Mabica (untuk non formal seperti ranting desa), LDPR, TM1, TM 2, TM 3, TMU. Maka jika mengacu jenjang itu, idealnya Ranting yang Melaksanakan TM1 itu melaksanakan LDPR terlebih dahulu, jadi kalo Ranting mau melaksanakan TM 1, lakukan LDPR dulu. Tetapi sebagian kawan yang lain lebih memilih untuk LDPR dihapuskan saja dari perkaderan formal, dan menempatkan LDPR dilaksanakan sesuai kebutuhan.
Jika LDPR dihapuskan sama saja melompati jenjang perkaderan, yang khawatirnya ketika ikut TM 1 basis pemahaman dasarnya belum cukup, lalu bagaimana jika menurunkan muatan TM 1 sama dengan LDPR? Maka yang kasihan adalah ketika menuju TM 2 dengan basis TM 1 yang belum cukup.
Tetapi itu hanya analisaku, persoalan dari pembaca mau menerapkan perkaderan dengan menghapuskan jenjang perkaderan tanpa LDPR dikarenakan sudah merasa cukup, praktis, dan banyak hal lainnya silahkan, jika masih diterapkan dengan alasan perkaderan harus berjenjang Silahkan. Mungkin ini hanya persoalan masuk SD tanpa TK atau melalui TK kan?
Potensi Cabang Sebagai Pimpinan Kultural
Potensi luar biasa dari Pimpinan Cabang adalah untuk menghimpun kader kultural di kecamatan, kader dari sekolah negeri yang belum berdiri Pimpinan Ranting bisa ikutan.
Terus ada juga tuh, Kader dari Ranting yang diperbolehkan orang tua hanya di ranah Cabang, ranah Kabupaten belum boleh. Yang seperti itu menjadi potensi Pimpinan Cabang, Pimpinan Kultural ini memang bisa dibuat dengan ranting desa, tetapi Pimpinan Cabang cakupannya lebih luas. Karena Pimpinan Cabang bisa bercengkrama dengan Pimpinan Ranting secara lebih intens. Maka, sebagian kawan saya menjadikan Pimpinan Cabang sebagai tempat merajut ukhuwah antar Pimpinan Ranting dengan gaya yang Maha Asyik, senang-senang bergembira di IPM sehingga kader betah Ber-IPM.
Potensi Cabang dari Segi Politik
Aduh, mbahas politik nih. Ditinjau dari kacamata politik, bagi sebagian kawan berpandangan bahwa adanya jenjang Pimpinan Cabang ini menghambat kader untuk berkiprah ke tingkat atas. Ada kader yang ndak bisa naik ke Pimpinan atas karena kelamaan di Pimpinan Cabang atau harus melalui Pimpinan Cabang.
Ada beberapa hal yang perlu ditinjau mengenai potensi Cabang dalam konstestasi perpolitikan, terkhusus pada Musyawarah Wilayah. Pertama, Cabang memiliki nilai suara dalam Musywil. Kedua, Cabang tidak diwajibkan. Kenapa dua hal itu perlu ditinjau? Kita bahas satu-satu ya.
Cabang memiliki nilai suara dalam menentukan Formatur dalam Wilayah, semakin banyak cabang maka semakin banyak suara yang bisa dimanfaatkan untuk menentukan formatur. Kedua, Cabang bukanlah hal yang wajib ada di tiap Pimpinan Daerah, bagi kecamatan yang tidak mau ya tidak buat. Apalagi bagi sebagian kawan keefektifan jenjang masih dipertanyakan sehingga berpotensi pimpinan ranting-pimpinan ranting dengan daya pikir politis memanfaatkan “ketidakwajiban” ini dengan tidak mau membuat cabang untuk mudah melompat ke jenjang Wilayah dan memanfaatkan Cabang di kecamatan lain untuk menjadi suara bagi mereka.
Toh, masalah Pimpinan Cabang untuk menjadi tangan panjang, bercengkrama lebih intens, sebagai pimpinan kultural, penyambung hubungan dari daerah ke ranting, Itu ga harus dibuat pimpinan kan? Dibuat Komunitas Kultural bisa juga kan?
Toh TM 1 bisa dibuat dari Ranting, jika LDPR boleh dihapus dan diganti TM 1 membuktikan cabang semakin menjadi penting ndak penting kan? Jika menjadi Pimpinan lantas apa perannya? Jika tidak wajib ada lantas kenapa ini masih ada dalam jenjang Ikatan kita?
Ya mungkin itulah pandangan yang menganggap Jenjang ini ndak penting. Sebelum lanjut, izinkan penulis beristighfar sambil syahadat ulang dulu setelah menulis segi politis ini, penulis berhusnudzon bahwa perpolitikan kita itu adem-ayem loh jinawi.
Perpolitikan kita ini sangat arif dan bijaksana sebagaimana Permusyawaratan Muktamar Muhammadiyah yang belum pernah ricuh, tidak ada money politik, tidak ada kader ngotot lempar kursi, tidak ada ancam mengancam dengan sajam atau pistol, tidak ada intervensi dari pihak luar, dan segala bentuk hal yang tidak senafas dalam karakter Muhammadiyah yang sebenar-benarnya, pokoknya penulis berhusnudzon demikian.
Dah ah, ndak usah lama-lama. khawatir nanti saya kenapa-napa. Tetapi secara inti, “bug” dalam sistem ini terjadi karena tidak adanya kejelasan urgensi cabang begitupun kewajiban untuk membuatnya, kalopun diwajibkan ya antara guna-ngga guna, apalagi bagi Daerah dengan lingkup relatif sempit, yang bisa menjamah Ranting dalam waktu 5 menit.
Pimpinan Cabang harus memiliki marwah dalam Ikatan yang menjadikan itu sebagai pembeda yang tidak bisa dilakukan oleh ranting atau daerah dan juga tidak bisa dilakukan kalopun cabang tidak ada. Misalkan seperti yang diterapkan dalam Pimpinan Daerah salah satu kawan yang saya tanyai, bahwa TM 1 yang berhak mengadakan itu Pimpinan Cabang, kalo ada ranting yang mau ikut TM ya ikutnya dari Cabang sendiri atau cabang lain.
Hakikat Cabang yang Sebenar-benarnya dalam Pandangan Seorang Suhu
Saya teringat pernah gabut menanyakan hal ini kepada seorang Suhu di Pimpinan Wilayah, ga usah kusebut namanya, biar ngga terkesan menjilat. Dia menjawab dengan bahasa sederhana tapi mendalam bahwa sejatinya Cabang itu ialah tempat untuk Kader mengasah Ideologinya, jika Ranting itu baru dikenalkan, Cabang itu penanaman Ideologi,
Daerah itu merancang Gerakan Konkrit, sedangkan Wilayah itu adalah memetakan dan mengkaji bagaimana menerapkan Ide Nasional ke dalam provinsi, sedangkan Pusat itu adalah Laboratorium untuk menciptakan bagaimana IPM secara Nasional bergerak.
Jadi seharusnya Kader itu sudah tuntas Ideologinya setelah dari Pimpinan Cabang, dan ketika di Daerah, Kader itu menjadi Aktivis Ideologis yang menciptakan Gerakan tanpa terlepas dari nilai Ideologi IPM. Lantas persoalan usia, memang bagi yang ingin ke Pimpinan atas, di Cabang itu jangan lama-lama, cukup 1 periode saja, atau jika dirasa ideologinya cukup boleh ke Pimpinan Daerah, dan seterusnya.
Mendengar itu saya menjadi tercerahkan, maka atas dasar itu Pimpinan Cabang adalah kewajiban, bukan sekadar tangan panjang, bukan sekadar keakraban intens, tetapi lebih ke jenjang Mengasah Ideologi. Peryataan itu ternyata sesuai dengan Roadmap Perkaderan IPM dalam SPI Kuning. Gambarnya sebagai berikut.
“Tetapi kan, kalo Pimpinan Cabang hanya untuk menempa ideologi, ga harus di pimpinan kan? Bikin halaqah ideologi saja bisa.”
Ya. Begitulah jikalau Pimpinan Cabang ini tidak pasti kewajibannya dalam Ikatan, ada aja alasannya.
Terus Gimana Baiknya?
Setelah merefleksikan kajian dan mentadaburi Kitab SPI kuning yang besar kemunkinan segera direvisi, dan mungkin ini yang akan penulis terapkan dalam Daerah penulis, pada intinya kita harus menentukan standar ideal yang ada dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah, memang penulis menyadari bahwa Ranting ini dan Ranting itu, Cabang ini dan Cabang itu, Daerah ini dan Daerah itu, Wilayah ini dan Wilayah itu ora iso dibanding-bandingke.
Masing-masing memiliki potensi dan masalah yang tidak bisa disamakan, analoginya sebagaimana kita menetapkan dalam AD/ART bahwa kader dilarang untuk merangkap jabatan dalam Jenjang Pimpinan IPM, tetapi realitanya ada Kader Ranting yang Merangkap di Cabang dan seterusnya dengan beragam persoalan yang bisa dimaklumi.
Secara singkat, dari hasil renungan penulis, Secara ideal Pimpinan Cabang ada untuk setiap Kecamatan, kemudian perlu ada pembeda peran antara Daerah, Cabang, dan Ranting. Dalam Perkaderan Misal, TM 2 diarahkan aktivis dan Dinamisator (Pembawa Perubahan), TM 1 diarahkan ke Pemimpin Ideologis (Wawasan-Keterampilan), Latihan Dasar Pimpinan Ranting (Keterampilan dasar), dan Mabica/Fortasi (Pengenalan). Dari perkaderan ini maka bisa terjabarkan untuk perannya, Daerah sebagai dinamisator; Yang membuat gerakan kreatif dan dinamis berdasarkan kajian analisa tafsiran Pimpinan Wilayah mengenai Gerakan Nasionalnya Pimpinan Pusat.
Kemudian Pimpinan Cabang agar tidak sekadar berfungsi untuk suara Musywil mendapat amanah mengembangkan wawasan dan Keterampilan pelajar lingkup kecamatannya, jadi ada pembagian tugas yang jelas untuk Pimpinan Daerah dan Pimpinan Cabang agar tidak rancu, ini berlaku untuk Daerah lingkup sempit dan luas.
Lantas bagaimana dengan Pimpinan Daerah yang kesulitan menjamah Kecamatan yang jaraknya luar biasa jauh? Oke, jadi Pimpinan Daerah yang sebagai dinamisator ini boleh melaksanakan langsung Gerakannya (untuk Daerah sempit), kemudian boleh memandatkan Pimpinan Cabang untuk melaksanakan Gerakan yang dikoordinasi oleh Pimpinan Daerah.
Tapi tetap, Pimpinan Cabang memiliki tanggung jawab mengenai wawasan pelajar di lingkup Kecamatannya. Bila ada Kader yang naik sampai Daerah dan masih menganggap Pancasila itu thaghut, ataupun ada Kader yang sampai tingkat Daerah belum tahu bagaimana cara bikin surat, ataupun Kader yang belum ngerti cara melaksanakan sidang, maka sudah dipastikan Pimpinan Cabang belum berhasil menuntaskan amanahnya.
Terakhir, Ranting adalah orang-orang yang diasah Keterampilan dan wawasannya oleh Cabang, kemudian menjadi Ujung Tombak dalam melaksanakan Gerakan dari Pimpinan Daerah. Timbul pertanyaan, “Lalu bagaimana jika masalah Keterampilan dan Wawasan dari Pimpinan Ranting tidak meminta ke Cabang? Bahkan malah minta ke Pimpinan Daerah, Wilayah, atau bahkan langsung ke Pimpinan Pusat?”
Duh, ya begitu lah realitas sekarang, Pimpinan Cabang ini antara penting ndak penting, toh tugasnya bisa diambil Pimpinan Daerah, disisi lain Pimpinan Ranting bisa melaksanakan Pelatihan dan meminta Pimpinan diatas Cabang untuk mengisi Keterampilan dan Wawasan, tetapi kembali lagi.
Kita harus menentukan hal idealnya, idealnya Pimpinan Cabang yang bertanggung Jawab akan Keterampilan dan Wawasan IPM di Kecamatan, maka jika dari Pimpinan Daerah membantu dalam ranah itu maka dinilai membantu tanggung jawab Pimpinan Cabang, tapi biar ada marwahnya sedikit, tolong Pimpinan Daerah atau Pimpinan Ranting bilang dulu ke Pimpinan Cabang, biar tidak terlalu menyakiti hatinya.
Cukup demikian analisa penulis mengenai jenjang Cabang yang penting ngga penting. Sederhananya, secara ideal Pimpinan Cabang itu wajib ada untuk Daerah lingkup sempit ataupun luas, ideal ini bukan berarti saklek tidak bisa dimodifikasi realisasinya, ideal berarti sesuai dengan cita-cita, dalam hal ini penulis mengacu SPI. Kalo dinilai nggak penting maka bisa juga ditiadakan dalam ikatan.
Bisa menghemat pengeluaran dari pengadaan Musycab dan turunannya, Pimpinan Daerah yang sulit menjangkau Ranting tinggal mengubah Pimpinan Cabang menjadi Koordinator Kecamatan dalam Struktur Daerah, dan tidak ada Cabang yang dimanfaatkan sebagai Pimpinan penambah nilai suara dalam Musywil yang kemudian menghilang pasca “kepentingan” selesai. Atau Pimpinan Cabang ini ada tidaknya sesuka-sukanya Pimpinan Daerah saja, mau dibuat oke, enggak ya nggak papa.
- Penulis adalah Rahman Ardi Wardana, Ketua Bidang Organisasi PD IPM Wonogiri 2021-2023. Mahasiswa Teknologi Pendidikan Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Seorang kader ber-IQ fluktuatif yang kadang gabut dan kadang nulis. Kalian bisa terhubung instagram @rahman.wardantz
- Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.