“Jika IPM ingin dikatakan sebagai the chosen organization, maka dia harus terlibat aktif pada persoalan-persoalan riil di tingkatan pelajar. Tentunya, IPM tidak boleh terlena oleh kejayaan-kejayaan masa lalu dan menjadi diam di masa sekarang.
Justru masa lalu itu dijadikan spirit bagi IPM untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan Muhammadiyah di masa yang akan datang. Di sinilah kaderisasi di IPM diharapkan mampu menjadi anak panah Muhammadiyah.” (Muqaddimah IPM Muktamar XVI IRM)
Sesungguhnya hakikat perkaderan IPM sudah termaktub di dalam Muqaddimah IPM yang menjadi kesepakatan bersama dalam forum tertinggi IPM. Cita-cita menjadikan IPM sebagai anak panah persyarikatan seharusnya menjadi agenda utama IPM di setiap gerak langkahnya. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan strategi praksis dalam ranah perkaderan (pendidikan kader).
IPM dan Fasilitator
Lokakarya Nasional Perkaderan IPM di Bali tahun 2017 tidak hanya menghasilkan buku Pedoman Terpadu Perkaderan, namun juga dari situ disadari dan disepakati bahwa fasilitator dan pendamping merupakan ujung tombak perkaderan.
Saat itu, perihal penting terkait fasilitator hanya dilakukan dengan membakukan secara tertulis kurikulum Pelatihan Fasilitator dan Pendamping (PFP) yang belum terurai di dalam SPI. Gerak dan langkah fasilitator belum terurai secara kongkrit. Perlu adanya strategi struktural untuk memberikan ruang para fasilitator dalam bergerak.
Selama ini IPM belum serius dalam mewadahi para fasilitator perkaderan. Mereka hanya diikat secara informal dalam komunitas yang biasa disebut Korps Fasilitator dan Pendamping (KFP).
KFP tidak dapat digolongkan sebagai lembaga maupun tim kerja karena tidak memiliki legal standing secara organisasional. Tugas pokok dan fungsi fasilitator juga menjadi kabur. Selain itu, KFP juga tidak memiliki banyak kewenangan. Sehingga KFP tidak dapat mengakselerasi pergerakannya. Di sinilah titik kelemahan perkaderan formal IPM.
Dalam praktiknya, alumni PFP yang sudah digembleng dalam pelatihan sering menghilang dan tidak bisa dilacak oleh bidang perkaderan yang menghimpunnya dalam KFP. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Ada yang tidak dapat fokus di dalam KFP karena memiliki jabatan formal di dalam IPM. Ada juga yang menghilang karena KFP tidak memiliki keterikatan yang kuat secara formal.
Tentunya kader IPM banyak yang menyadari bahwa berjuang di dalam IPM memerlukan sebuah kewenangan agar dapat bertindak. KFP seolah hanya dijadikan sebagai pembantu pimpinan khususnya bidang perkaderan dalam mengelola sebuah pelatihan.
Di sisi lain, bidang perkaderan di dalam pimpinan IPM memiliki kewenangan yang cukup besar melihat perkaderan sebagai inti pergerakan IPM. Selain berwenang dalam melakukan penyelenggaraan pelatihan, bidang perkaderan berwenang dalam menyeleksi peserta pelatihan. Bidang perkaderan juga berwenang dalam menyatakan kelulusan peserta dan mengeluarkan syahadah pelatihan.
Tidak hanya itu, bahkan di tingkat pusat, bidang perkaderan dapat menentukan pola perkaderan IPM secara nasional melalui SPI, pedoman perkaderan, dan instrumen lainnya.
Seharusnya, beberapa kewenangan bidang perkaderan harus didistribusikan. Pendistribusian kewenangan ini dapat dilakukan untuk mengakselerasi peran fasilitator dan pendamping IPM. Sehingga, perlu dibentuk lembaga fasilitator dan pendamping IPM.
Melembagakan Fasilitator dan Pendamping
Pelembagaan fasilitator dan pendamping akan sangat berdampak positif untuk IPM. Selain untuk memperkuat KFP dengan perubahan dari komunitas menjadi lembaga yang akan membuat fasilitator diakui secara formal, dan memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas.
Lembaga fasilitator dan pendamping akan menjadi penetralisir laju kepentingan politik di dalam tubuh pimpinan IPM yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses perkaderan formal IPM.
Asumsi ini didasari karena Taruna Melati masih menjadi syarat umum dalam pencalonan Ketua Umum dan Pimpinan IPM, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Taruna Melati memiliki kekuatan secara politis dalam proses pengorganisasian IPM.
Namun, hal ini hanya dapat tercipta apabila Lembaga fasilitator dan pendamping memiliki takaran wewenang yang tepat. Tentunya, ikhtiar dalam pelembagaan fasilitator dan pendamping ini untuk mewujudkan cita-cita IPM sebagai anak panah Muhammadiyah.
*) Catatan:
- Penulis adalah Alfa Rezky Ramadhan Koordinator Departemen Kajian Isu Strategis IPM (KISI) LAPSI PP IPM. Penulis bisa ditemui di Instagram @alfa_rezkyr.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.