Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah organisasi Islam yang bergerak di basis massa pelajar dan merupakan aksentuator gerakan Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amanah.
Namun dalam perjalannya, IPM banyak mengalami dinamikanya sendiri ketika berhadapan dengan zaman yang selalu berubah (dinamis). Wacana, gerakan, dan aksi kreatif-inovatif telah dilakukan sejak IPM didirikan. Kendati demikian, kiprah gerakan sosial IPM baik aksi maupun pemikirannya belum banyak menjadi perhatian dari pelajar sendiri.
Terlebih lagi, ternyata organisasi pelajar ini memiliki pemikiran gerakan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan wacana yang berkembang, di saat yang sama pemikiran itu sangat berpengaruh kepada pola pendidikan atau sistem perkaderan kepada para anggotanya.
IPM tentu perlu sadar bahwa pribadi mereka adalah cikal-bakal dari induk organisasi, Muhammadiyah. Jadi, bagaimanapun gelagat pergerakan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah akan mencerminkan bagaimana pola pemikiran Muhammadiyah kedepannya. Di ujung tombak paradigma yang berlaku, Gerakan Pelajar Berkemajuan telah dan akan menjadi fokus elit aktivis untuk saling menggagas paradigma baru atau sekedar mengevaluasi paradigma yang sementara berlaku.
Salah satu poin pergerakan dari paradigma GPB adalah makna “Transformatif” yang sebenarnya sudah harus tuntas di roadmap periodesasi 2020-2022. Namun, mari kita telisik kembali kausalitas ketuntasan transformative movement.
Disclaimer di awal, ini adalah tulisan untuk merefleksikan posisi kita bersama.
Musyawarah IPM dan Suksesi Formatur
Formatur sejatinya hari ini dianggap sebagai para elit penentu struktural suatu pimpinan, hal tersebut menjadi alasan mengapa formatur dalam semalam bertransformasi sebagai “artis” yang banyak dicari-cari.
Bercermin dengan dua musyawarah terakhir di salah satu provinsi, terlihat dan ternilai jelas bagaimana bobot cerminan keberpihakan perhatian para peserta penuh. Musyawarah dijadikan sebagai ajang suksesi formatur (dan kebanyakan sudah diatur), alhasil salah satu agenda penting (sebut saja sidang komisi) hanya dihadiri oleh kader yang sebelumnya telah ditentukan sebagai “pengunjung” atau “time keeper“.
Tidak hanya itu, waktu yang diberikan untuk sidang komisi terbatas pada waktu penentuan paket formatur di salah satu warkop (banyak yang seperti ini). Tuntas tidaknya pembahasan komisi, komisi harus selesai saat penyusunan paket formatur sudah rampung, jadi mirisnya materi yang telah dikaji di tingkatan bawah (lokakarya), pesannya tidak sampai ke level pimpinan atas.
Lalu, saat berada di forum resmi dan mengkritisi “Ketuntasan pimpinan dalam menjalankan amanah”, kira-kira jawabannya seperti apa? Mari saling merefleksi diri.
Perlu kita sadari bahwa amanah musyawarah adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi selama periodesasi berjalan, jadi ada tidaknya formatur terpilih di arena sidang komisi menyumbangkan ide pikirannya, hal tersebut menjadi tanggung jawab pimpinan yang baru.
“Tidak sampai di suksesi formatur dan musyawarah tertinggi, pembagian kue masih sangat alot di pasar pimpinan baru. Menjadi hal yang wajar saat pimpinan baru menentukan struktural berdasarkan hasil bagi-bagi kue, karena pertempuran di level musyawarah tertinggi pun perlu banyak pertumpahan darah. As you know, darah perlu dibalas dengan darah”, kira-kira begitu pemahaman dasar seorang elit politik pimpinan IPM saat ini di berbagai tingkatan mulai dari pusat hingga ranting.
Saya pernah membaca tulisan dari Yusuf Yanuri di platform PP IPM soal tes kelayakan dan penempatan pimpinan berdasarkan kapasitasnya. Yah, tidak menutup kemungkinan hal ini bisa diadaptasi di tubuh ikatan. Tapi kembali lagi, apakah ego pasca musyawarah sudah bisa diredam? Saya rasa hal ini tidak bisa digeneralkan.
Lebih jauh, semoga amanah dan upaya membagi kue sebagai kado politis bisa selaras dengan perkembangan IPM saat ini. Seseorang akhirnya mendapat privilese dari hasil bertempur di medan perang, olehnya itu tidak bisa berpuas diri sampai duduk di kursi pimpinan.
Ada banyak amanah yang harus diemban, salah satunya adalah amanah proyekan yang sudah banjir di penghujung tahun. Mengurus IPM juga butuh makan kata kakanda. Ayo senantiasa refleksi.
Perkaderan IPM Sebagai Arena Bermain yang Suci
Perkaderan hingga kini masih menjadi sebuah ruh bagi persyarikatan. Amanat ayahanda alm. Iskandar Tompo bahkan masih sangat jelas dan mengakar untuk senantiasa melaksanakan tugas, yakni “Tugas utama IPM adalah perkaderan”.
Sayangnya, di tingkatan daerah hingga pusat, perkaderan dipolitisasi pula. Mungkin banyak yang mendengar “Syarat pimpinan adalah wajib TM 2/TM 3/TM U”, alhasil prosesi seleksi pun tak luput dari upaya dialektika yang manipulatif.
Kalau ditelisik lebih jauh, apakah tingkatan kader selaras dengan kualitas kader? Toh, ada kader yang masih belum tuntas dengan personalisasinya padahal sudah TM 3 (contoh). Jadi, sebenarnya apakah kita melakukan perkaderan di TM1 untuk memperbanyak kuantitas saja, dan tm selanjutnya kita mulai bernegosiasi tentang siapa yang “lebih membayar” atau yang paling kuat “Titipannya” dari senior untuk ikut? Kita refleksi sekali lagi.
Ada banyak hal yang menggelitik saat berbicara persoalan perkaderan, ada keseruan tersendiri jika melihat realitas lapangan. Salah satunya mungkin bagaimana habitus kader dan fasilitator sendiri. Di perkaderan, penanaman ideologi sudah sangat massif dilakukan.
Sayangnya, di luar forum perkaderan justru terjadi pembiaran upaya manipulatif yang bisa meruntuhkan ideologi sendiri. Saat ini, perkaderan zero plastic dan zero tobacco berupaya diterapkan di lingkungan perkaderan, tapi sekali lagi masih ada oknum yang melanggar. Mungkin di perkaderan kita pakai tumbler, tapi follow up dan kegiatam lainnya kita malah inkonsisten dan memakai air gelas kemasan. Miris.
Perkaderan di IPM tidak hanya berkutip pada perkaderan formal, namun ada pula perkaderan pendukung. Perkaderan pendukung inilah yang kerap kali luput dari upaya dialektika pimpinan.
Kita concern membahas cara membentuk seorang kader, namun kurang memikirkan bagaimana membentuk seorang fasilitator yang ideal. Bahkan, idealnya seorang fasilitator tidak mempunyai ukuran tertentu sehingga kerap kali kapasitas seorang fasilitator dipertanyakan oleh banyak orang.
Menelisik SPI Kuning yang diangkat dengan memojokkan SPI lain, sayangnya justru membuat SPI kuning lebih berbeda. Ketidaksempurnaan SPI Kuning yang dipaksa untuk sempurna dengan adanya PTP tidak merubah sudut pandang secara massif bahwa pelatihan fasilitator itu penting. Bahkan eksistensi fasilitator yang handal itu tidak begitu dianggap penting. Gerakan sosial yang diimpikan tetap menjadi “gerakan panggung” yang nyata.
Literasi dan Peradaban Utama
Peradaban utama tak akan tercapai tanpa gerakan ilmu sebagai alat revolusi kebudayaan. Di penghujung usia paradigma GPB pun membutuhkan banyak momentum untuk saling mengevaluasi atau menuju new paradigm. Dalam momentum Muktamar XIX IPM di Jakarta, SPI Kuning hadir dengan melengkapi tema “Spirit Keilmuan untuk Gerakan Pelajar Berkemajuan”.
Di Muktamar-muktamar setelahnya pun tidak jauh dari bagaimana “tradisi keilmuan” itu bertransformasi mengerucut ke literasi digital, namun esensinya masih sama hanya saja lebih dinamis.
Roadmap GPB di 2024 menciptakan masyarakat ilmu tidak serta merta menjadi Pr yang mudah ataupun sulit untuk terealisasi. Secara keseluruhan, habitus literasi tiap individu yang massif akan menciptakan peradaban yang akrab dengan kata “literasi”. Saat ini beberapa daerah dan wilayah tengah menggalakkan budaya literasi dengan massif, patut untuk diapresiasi.
Di Sulawesi Selatan, Bidang PIP melalui ketua bidang, Muh Imran Nur menyampaikan “Riset akan menjadi salah satu barometer peningkatan kapasitas keilmuan pelajar”. Hal luar biasa tentunya tidak akan terlaksana jika komponen sekitarnya tidak mampu bersinergi. Selain budaya riset, baca dan tulis pun akan digalakkan di Sulawesi Selatan lewat pembentukan rumah baca di setiap kecamatan.
***
Apapun yang terjadi, nilai integritas sebagai seorang kader perlu diberikan upaya pemurnian kembali.
Secara keseluruhan, sebagai komitmen bersama, amanah musyawarah adalah buah pikir dan kesepakatan semua kader. Ide-ide penting yang tertuang pada garis kebijakan program wajib dikawal. Kembali pada nasihat dari pidato Kyai Dahlan di atas bahwa, kita harus selalu meng-upgrade pengetahuan serta tidak boleh merasa pintar apalagi menyalahkan pandangan orang lain.
Oleh sebab itu, pandangan ini murni realitas yang saya lihat. Sehingga dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan, gagasan ini terbuka, membutuhkan evaluasi dan masukan dari IPMawan dan IPMawati sekalian agar dapat dijalankan dengan baik demi Kemajuan IPM yang kita semua cita-citakan. Semoga red flags (peringatan akan kekeliruan) ini bisa dihilangkan.
Hal hal yang saya terangkan diatas merupakan upaya kita berkiprah di ikatan ini dan ditujukan semata-mata untuk IPM sebagai umat Islam terbaik yang senantiasa berpegang pada prinsip pelajar berkemajuan yakni pencerdasan, pemberdayaan dan pembebasan. Untuk merealisasikannya kita butuh untuk berpikir terbuka, kolaborasi dan berdaya bersama. IPM terlalu besar untuk dikerjakan oleh segelintir orang atau satu kelompok. Semangat kolaborasi dan kolektivitas harus kita pupuk bersama.
Kita yakin dengan berbagai potensi ratusan ribu kader yang tersebar di pelosok negeri bersama komunitasnya, para tokoh yang menjadi pemuka di masyarakat mampu memberikan kontribusi dalam menjawab tantangan zaman ini. Di antara kader telah muncul para inovator, entrepreneur, yang akan menggerakkan masa depan bangsa kita dengan kesesuaian arah pembangunan dalam usaha-usaha pembangunan nasional.
IPM siap berkolaborasi dengan seluruh elemen bangsa dan pemerintahan. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan oleh Allah SWT untuk sama sama memajukan IPM demi kemajuan umat dan bangsa.
- Penulis adalah Lia Asmira, Sekretaris Bidang PIP Pimpinan Wilayah IPM Sulawesi Selatan. Lia bisa dihubungi melalui akun instagramnya @asmiraliaa.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.