Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan

Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan

OpiniOpini Pelajar
88 views
Tidak ada komentar
Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan

Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan

OpiniOpini Pelajar
88 views
Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan
Suara dari Akar Rumput: Dianggap Tidak Ada, Masalah yang Kompleks, dan Respons yang Tidak Sesuai Harapan

Jadilah dokter, insinyur, dan profesional. Lalu, kembalilah kepada Muhammadiyah. (KH. Ahmad Dahlan)

Petuah KH Ahmad Dahlan ini bukan sekadar kalimat motivasi, lebih dari itu ia adalah panggilan pulang. Tapi pertanyaannya, bagaimana kami bisa kembali, jika kami tak pernah sungguh-sungguh dianggap ada? Di akar rumput, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)  hari ini berdiri di persimpangan yang sunyi dan rumit. Di satu sisi, kami diminta menjadi ujung tombak kaderisasi Muhammadiyah. Namun, di sisi lain kami berjalan nyaris tanpa pendampingan, tanpa pegangan, tanpa pengakuan. Kami dituntut melahirkan kader-kader yang militan, inovatif, dan loyal. Tetapi dalam praktiknya, gerak langkah kami lebih sering dianggap formalitas belaka, seolah hanya pelengkap dalam keramaian organisasi.

Dianggap Tidak Tahu Apa-Apa

Yang lebih mengkhawatirkan, dalam praktik organisasi, khususnya di ranah Pimpinan Cabang Muhammadiyah, kami sering kali tidak diperlakukan sebagai pengurus yang setara. Kami kerap dianggap sebagai “anak-anak” yang belum memahami dinamika organisasi secara utuh. Memang, kami menyadari sepenuhnya bahwa kami adalah remaja yang masih dalam proses belajar dan bertumbuh. Namun, kesadaran itu justru menjadi dasar mengapa kami memerlukan pendampingan yang konstruktif, bukan penilaian yang meremehkan. 

Dalam banyak kesempatan, ketika kami berupaya menyampaikan aspirasi, respons yang kami terima lebih bersifat menutup ruang diskusi daripada membuka ruang pemahaman. Ketika kami meminta dialog, yang terjadi justru komunikasi satu arah: kami diminta mendengarkan, bukan diberi kesempatan untuk didengarkan.

Padahal, kami bergerak tidak tanpa dasar. Setiap langkah yang kami ambil bersandar pada AD/ART, pedoman resmi, dan nilai-nilai yang telah ditetapkan organisasi. Namun, ketika kami mencoba meluruskan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip dasar organisasi, respons yang muncul sering kali bersifat merendahkan. Alih-alih dipertimbangkan secara objektif, sikap kritis kami justru dianggap sebagai sikap sok tahu bahkan tidak jarang dibalas dengan komentar yang sinis dan kurang menghargai.

Masalah Kompleks di Tingkat Ranting

Pada tingkat ranting, khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Banyak pengurus IPM mengalami kebingungan dan kesulitan dalam menjalankan peran mereka karena kurangnya pemahaman dari pihak sekolah mengenai karakter dan posisi organisasi otonom Muhammadiyah. Kondisi ini menyebabkan sering terjadi benturan antara program-program strategis IPM dengan agenda sekolah yang bersifat institusional, sehingga kegiatan-kegiatan IPM kerap dipandang sebelah mata atau bahkan disamakan secara simplistik dengan organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Ketidaksesuaian ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan mencerminkan minimnya penghargaan dan pengakuan terhadap peran IPM sebagai wahana kaderisasi ideologis yang berbeda dari organisasi-organisasi siswa pada umumnya.

Dampak dari kondisi tersebut menimbulkan luka yang mendalam dan berkepanjangan dalam tubuh organisasi. Saat IPM kehilangan jati dirinya sebagai wadah kaderisasi pelajar Muhammadiyah yang memiliki ciri khas ideologis yang kuat, maka persepsi para kader baru terhadap IPM turut mengalami distorsi, di mana organisasi ini hanya dilihat sebagai ‘OSIS versi Muhammadiyah’. Fenomena ini bukan sekadar masalah persepsi semata, melainkan sebuah krisis identitas yang fundamental, yang berpotensi menggerus fondasi ideologis dan keberlanjutan gerakan kaderisasi Muhammadiyah di kalangan pelajar.

Akibat dari kondisi tersebut adalah penurunan signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas kader, yang menjadi tantangan serius bagi pimpinan di tingkat cabang, daerah, bahkan wilayah. Proses kaderisasi yang semestinya tumbuh secara organik dari akar rumput terutama di ranting dan sekolah ternyata mengalami stagnasi dan tidak berkembang secara optimal. Ketika fondasi organisasi di tingkat dasar mengalami kemacetan atau bahkan penyimpangan, dampaknya akan beresonansi secara sistemik hingga ke jenjang kepemimpinan yang lebih tinggi. Permasalahan ini tidak semata-mata bersumber dari lemahnya pelaksanaan program, melainkan lebih pada kurangnya pemahaman mendalam, absennya pendampingan yang konstruktif, serta pembiaran terhadap praktik-praktik yang menyimpang dari nilai-nilai organisasi.

Respons yang Tidak Sesuai Harapan

Respons yang kami terima atas kegelisahan dan aspirasi yang kami sampaikan kerap kali bersifat kontraproduktif dan tidak membangun. Mulai dari komentar yang merendahkan, penolakan yang terselubung, hingga pembiaran atas praktik-praktik menyimpang, semuanya menjadi penghalang signifikan bagi proses pembinaan yang sehat. Alih-alih menjadi ruang dialog dan pengembangan, lingkungan organisasi terkadang justru menampilkan sikap eksklusif dan resistensi terhadap kritik konstruktif. Kondisi ini secara bertahap menimbulkan jarak yang tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga struktural, sehingga melahirkan ketidakpercayaan dan ketidakpedulian terhadap kepemimpinan di tingkat atas. Jarak ini bukan merupakan keinginan kami untuk menjauh, melainkan refleksi dari ketiadaan ruang yang memungkinkan kami untuk didekati, didengar, dan diberi kesempatan untuk benar-benar kembali.

IPM bukanlah organisasi yang menuntut kemanjaan, maupun pengakuan tanpa dasar. Kami tidak berharap selalu dibenarkan tanpa kritik. Namun yang sangat kami butuhkan adalah kepercayaan yang tulus, dialog yang setara dan terbuka, serta pengakuan yang sejati bahwa kami, kader akar rumput, bukanlah sekadar pelengkap dalam tubuh besar Muhammadiyah, melainkan elemen vital yang harus diberdayakan dan dihargai.

Muhammadiyah yang kami cita-citakan adalah sebuah rumah yang terbuka dan inklusif tempat di mana kritik konstruktif diterima dengan tangan terbuka, gagasan baru disambut dengan antusias, dan ruang bagi kader muda untuk tumbuh serta berkembang benar-benar diwujudkan. Tanpa suasana yang demikian, seruan ‘kembalilah kepada Muhammadiyah’ akan kehilangan makna dan berakhir menjadi slogan kosong yang tidak berdampak. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bersama-sama membangun Muhammadiyah yang bukan hanya besar dalam jumlah, tetapi juga kokoh dalam kualitas, terbuka dalam komunikasi, dan harmonis dalam kebersamaan.

  • Penulis adalah Muhammad Ihsan Hanif, Ketua Umum PD IPM Jakarta Barat periode 2023-2025. Dapat dijumpai di @iksanhanif72.
  • Substansi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Perkuat Pemahaman Advokasi, IPM Ciputat Gelar Kampoenk Advokasi
Sabda Berkala: Pelajar Klaten Diskusi dan Berkarya untuk Menjawab Tantangan Dunia
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.