Berbicara mengenai kehidupan di era kemajuan ini takkan jauh pesat berkembangnya ilmu pengetahuan inovasi dan teknologi. Keadaan tersebut memacu kita untuk senantiasa beradaptasi menjadi yang terbaik dan terdepan dalam nilai-nilai berkemajuan. Banyak sekali semboyan semboyan yang sering kita gaungkan seperti hustle culture, kerja keras bagai kuda atau kader idaman pimpinan/ayahanda. Persaingan dengan kompetisi nampaknya tidak bisa kita hindari. Demi mengejar kemajuan apapun dapat diraih udah di jalankan.
Namun ada suatu gerakan yang dulu telah lama populer juga dalam menghadapi situasi yang sama namun di kemajuan yang berbeda. Mengenai suatu gerakan yang membudaya dengan semangat persaingan serta siapa yang paling di depan. Samakah gerakan itu dengan apa yang kita alami sekarang?
Stanakovisme dan Proganda Massal
Mari kita kenalan dengan Alexey Stakanovich, seorang penambang batubara di Uni Soviet. Iya hanyalah seorang buruh biasa namun apa yang dia perbuat dalam sehari itu dapat merubah suatu negara bahkan memunculkan gerakan yang abadi selama 5 dekade. Hari itu itu di siang yang panas dalam gua tambang ia berhasil memecahkan rekor yang luar biasa, menambang 102 ton batubara dalam sehari.
Mengalahkan seluruh penambang batu bara di negeri itu yang hanya bisa menghasilkan 7 ton per hari! Sontak berita ini mengagetkan seluruh anggota serikat tambang hingga partai komunis di wilayah tersebut.
Keberhasilan stanakovich terdengar hingga telinga Joseph Stalin, sang pemimpin besar di negeri tirai besi itu. Keberhasilan satu orang yang sungguh melampaui batas tersebut menjadi contoh untuk gerakan yang lebih besar. Satu gerakan yang mengharapkan setiap orang untuk berusaha lebih dan lebih. Menghalalkan suatu kompetisi untuk menjadi yang terbaik dan terbanyak, produktif dari yang paling produktif untuk menghasilkan Stanakovich lain. Gerakan ini menjadi suatu pecut ke luar biasa demi menggenjot produksi dalam negeri. Mengharapkan suatu perubahan luar biasa dari seorang kader yang berdedikasi.
Era Disrupsi, Pelajar, Kompetisi
Tidak ada yang menyangka bahwa perkembangan zaman akan secepat ini. Perubahan yang sangat dinamis mengharuskan kita untuk kata beradaptasi. Menghasilkan suatu perubahan tidak hanya dalam hitungan Minggu namun hari maupun jam. Persaingan demi persaingan kita lakukan di manapun. Baik bagi seorang pelajar yang sedang menempuh proses belajar mengajar. Maupun saat menjadi seorang kader yang sedang berusaha melakukan proses berkemajuan jam berjuang di jalur dakwahnya masing-masing. Secara bayang-bayang kita dituntut untuk menjadi yang terbaik. Menjadi teladan dari teladan. Dan berusaha menciptakan proses aktualisasi diri agar dapat menjadi terbaik dari yang terbaik dan menghasilkan sesuatu yang melampaui target setiap harinya.
Contoh kecilnya adalah dalam bermedia sosial. Kita dituntut untuk selalu berkompetisi dan melakukan inovasi agar selalu menjadi yang terbaik serta yang paling depan menghasilkan suatu trending. Budaya kompetisi dalam dunia maya tersebut menuntut kita untuk sedia 24 jam demi menghasilkan suatu karya yang harus di unggah untuk menghasilkan likes. Kepada siapa yang paling tercepat dan yang paling banyak likes nya ia akan mendapatkan title trending.
Kompetisi tersebut memicu semua orang untuk menggenjot kapasitas trendingnya. Membayangi siapa pengurus dari media sosial tersebut. Bagaimana mana cara mereka bekerja beristirahat.
Stanakovisme Modern dan Solusinya
Berlomba ke siapa yang paling cepat dan siapa yang paling di depan merupakan bahan bakar dari era disrupsi. Yang tak ayal menjadikan hantu Stanakovisme bergentayangan kembali. Suatu hantu yang menakut-nakuti kita agar menjadi terbaik dari yang paling baik. Yang memicu kita bekerja melampaui hasil. Melampaui batas dan melampauinya segalanya. Efeknya adalah kompetisi yang menghalalkan segala cara dan mengaburkan suatu tujuan yang jelas. Sangat berorientasi pada hasil sementara namun hilang akan makna kenapa kita harus melakukan sesuatu tersebut.
Menghadapi hal tersebut budaya kompetisi pada era disrupsi ini mantapnya harus dibarengi dengan semangat kolaborasi dan kerjasama. Mengenai persamaan nasib dan pertukaran informasi dan teknologi untuk lebih memacu kita beradaptasi dan maju bersama. Demi mengurangi nilai-nilai egosentris dan kompetisi jegal-menjegal. Lalu menciptakan pola komunikasi yang berbasis solidaritas.
Pendekatan yang merangkul tanpa memukul, dengan tujuan untuk belajar bersama dan senang bersama. Sehingga menggugurkan tenggang rasa dan saling curiga. Dan juga memberikan ruang untuk berkembang melakukan kesalahan. Kesalahan bukanlah suatu hal yang nista namun pelajaran yang dapat kita ambil dan kita perbaiki demi jalannya suatu proses agar menjadi lebih baik.
***
Mengenai perkembangan yang pesat di era disrupsi ini tidaklah menjadikan kita sebagai seorang Stanakovis baru yang akan menghalalkan semua kompetisi dengan berbagai macam cara demi menghasilkan satu hal yang lebih menjadi yang paling baik yang terbaik lalu menjadikan kita menjadi manusia dengan ego yang besar demi hasil semu belaka.
Namun di era ini ini kita bisa menjadi seseorang yang lebih bijak dan mau maju bersama dengan semangat kolaborasi, solidaritas dan mau belajar dari kesalahan-kesalahan. Sehingga lebuh menikmati proses yang ada dan menjadikan diri dapat beradaptasi dengan bijak serta memiliki tujuan yang jelas dalam hidup kita. Jadi kita tidak terjerumus dalam hasil yang semu dan jadi lupa siapa diri kita.
- Penulis adalah Bima Aditya Fajrian. Ketua Bidang Pengembangan Kreativitas dan Kewirausahaan PW IPM DIY. Bisa terhubung melalui akun instagramnya @inisial_kilo.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.