Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan

Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan

OpiniOpini Pelajar
85 views
Tidak ada komentar
Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan

Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan

OpiniOpini Pelajar
85 views
Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan
Refleksi Ramadan: Berjalan Menuju Titik Ketakwaan

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan dan ampunan. Kita sebagai seorang muslim atau muslimah dilatih untuk menahan diri selama menjalani bulan suci ini. Hal-hal baik bersama-sama kita tingkatkan demi meraih banyak kebaikan, keberkahan, ketakwaan, dan menggapai rida serta cinta-Nya.

Kita semua sama-sama tahu, jika setan dibelenggu pada bulan Ramadan. Tapi, kita pun sama-sama tahu, masih banyak diantara kita yang masih “kesetanan”, melakukan kemaksiatan, melakukan tindak kejahatan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa setan ternyata tak melulu soal wujud, tapi juga tentang sifat. Sifat setan yang terdapat dalam diri setiap manusia.

Karena pada akhirnya yang menjadi musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Setannya sendiri, hawa nafsunya sendiri. Bulan Ramadan hadir sebagai media latihan kita mengontrol dan mengendalikan itu. Menguatkan diri kita menghadapi perang besar yang tiada henti. Setelah kita berhasil mengatasi musuh besar itu, kita akan menjadi pribadi yang bertakwa, atau setidaknya kita akan berjalan lebih dekat dengan status ketakwaan itu.

Memahami Makna “Takwa”

Dalam QS. Al-Baqarah 183 dijelaskan bahwa Allah menyuruh orang beriman untuk menjalankan puasa supaya menjadi orang yang bertakwa. Output dari ikhtiar kita berpuasa adalah ketakwaan. Dalam buku “Allah Tidak Cerewet Seperti Kita” karya Mbah Nun (Emha Ainun Najib) dijelaskan bahwa takwa itu adalah tentang komitmen dan loyalitas seorang Hamba terhadap Tuhannya. 

Artinya, takwa adalah tentang kesadaran manusia akan peranannya sebagai manusia sebagaimana ia ada dan diciptakan untuk patuh terhadap perintah dan larangan Sang Penciptanya. Tentunya, untuk mencapai kesana kita membutuhkan latihan, trial and error, eksperimen, pemahaman empiris, dan sebagainya untuk membentuk suatu kesadaran yang utuh.

Mengutip tulisan Poci Maiyah dalam tajuk Puasantara (2025), satu alternatif untuk memahami apa itu takwa adalah kesadaran titik nol, tidak kurang, juga tidak berlebihan. Kita berjalan dengan dua cara. Pertama dengan ‘kaki kebaikan’ kemudian yang kedua dengan ‘kaki menjauh dari larangan’. Kesadaran titik nol bukan berarti kita tidak bisa salah atau berbuat dosa. Seperti yang kita tahu, bahwa ketidaksempurnaan manusia menampakkan kesempurnaan Tuhan. Saat kita bersalah, segeralah belajar dan memperbaiki diri, dan ketika berbuat baik, segeralah sadari bahwa itu anugerah yang diberikan oleh Tuhan pada kita.

Jadi, takwa adalah tentang komitmen (kesungguhan) dan loyalitas (kesetiaan) yang terus dilatih dan diusahakan. Takwa diartikan sebagai kata aktif yang dinamis, bukan dipandang sebagai status legitimasi hamba yang absolut dan paten. Takwa ini menjadi kunci manusia untuk menjalankan peranannya di dunia.

Mendapat Jaminan Allah dengan Takwa

Allah selalu menjamin manusia asal manusia bertakwa. Kita cukup membayar takwa kepada Gusti Allah, mayyataqillah. Takwa itu adalah kondisi ketika kita tetap waspada, kondisi ketika kita senantiasa mengingat-Nya setiap waktu dan dalam kondisi apapun. Maka, menjadi penting bagi kita untuk kemudian mempertahankan Allah dalam setiap kesadaran kita. Takwa berarti waspada, bahwa di dalam hidup Allah tidak pernah absen. Siang, malam, dalam keadaan apapun, sedih, gembira, Alla tidak pernah absen dari hidup kita. Kalau takwa kepada Gusti Allah, kita akan mendapat dua benefit: masalah akan dihilangkan, dan akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak pernah kita duga, menurut Mbah Nun dalam Buku “Allah Tidak Cerewet Seperti Kita”.

Mari bersama-sama kita jadikan Bulan Ramadan ini sebagai momentum titik balik kita mengevaluasi diri sekaligus meningkatkan kualitas diri untuk terus berjalan mencapai titik ketakwaan. Setelah menjadi hamba yang sadar, kembali on the track pada bulan Ramadan, maka tugas kita selanjutnya adalah mempertahankan good habits yang sudah kita bangun dan terus meningkatkannya pada bulan-bulan selanjutnya setelah Ramadan berlalu sampai good habits itu menjelma menjadi karakter yang membudaya dalam diri kita. Semangat!

  • Penulis adalah Fahri Sabililhaq, Ketua Umum PD IPM Kabupaten Tegal 2024-2026. Kalian bisa terhubung dengannya di melalui surel fachrisabilil12@gmail.com dan melihat update kehidupannya di instagram @fahrisabilio.
  • Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

 

Dari Kader untuk Bangsa: Sebuah Refleksi Terhadap Sekolah Kader PD IPM Boyolali
Rapor Pendidikan 2025, Lebih Lengkap dan Berdampak
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.