IPM sebagai salah satu basis generasi berkemajuan amatlah penting untuk diperhatikan dengan serius. Bagaimana tidak, sudah ada banyak bukti yang membenarkan bahwa para kader yang berasal dari ranting seperti inilah, kemudian dengan sungguh-sungguh berjuang untuk merawat serta melanjutkan keberlangsungan Muhammadiyah sebagai ayah kandungnya. Namun semua itu adalah soal cerita yang takkan berarti apa-apa kalau tidak dirawat dan dilanjutkan. Tak bias dipungkiri, dunia pelajar memang masih sangat membutuhkan hiburan. Karena pada masa inilah mereka ingin menemukan siapa diri mereka sebenarnya.
Usaha pencarian jati diri seorang pelajar membutuhkan satu wadah yang menjadi tempat untuk berproses. Pencarian jati diri selalu bersamaan dengan pembentukan mental dan peningkatan kualitas diri. Berhubung IPM adalah organisasi yang gerakanya bermotif keilmuan, maka tidak berlebihan jika penulis menyebut bahwa tempat terbaik untuk berproses tersebut adalah di IPM. Mengisi kekosongan dengan berbagai varian kegiatan yang bermanfaat merupakan ciri pelajar yang berkualitas.
Sekali lagi itu semua hanyalah soal cerita dan harapan. Hari ini tradisi keilmuan dalam tubuh IPM sangat minim bahkan tak ditemukan lagi (telah mati). Sebagai orang yang pernah menjadi kader dan besar dalam didikan organisasi IPM, penulis merasa sangat sedih dan kecewa menyaksikan pemandangan seperti ini. Kekecewaan itu bertambah ketika tidak ditemukannya lagi aktivitas keilmuan dalam kegiatan IPM, serta kecenderungan kader IPM untuk menghabiskan waktu dengan bermain gadget. Hampir setiap kali penulis bertanya pada kader IPM, siapa yang suka menulis artikel maupun opini khusus berkaitan dengan IPM? Belum satu pun penulis temukan jawaban iya atau ada. Hal semacam inilah yang menurunkan taraf keilmuan kader IPM.
Sejatinya, tanpa berpikir panjang ketika mendengar nama IPM maka siapa pun yang terlibat didalamnya sudah dianggap sebagai orang yang suka dengan dunia literasi (membaca, menulis dan berbicara). Pena menjadi lambang kehormatan organisasi yang berbasiskan pelajar ini. Bagaimanapun juga, IPM tak boleh dipandang sebelah mata dikarenakan hilangnya budaya keilmuan. Seluruh kader IPM harus berusaha sekuat tenaga merawat identitas keilmua IPM. Dan IPM harus tetap eksis memperjuangkanya.
Bangun Dari Romantisme Sejarah
Berbicara soal sejarah selalu saja berbicara soal dua hal, yakni kejayaan dan kebodohan. Kejayaan karena kita pernah mengukir sejarah panjang dan prestasi gemilang. Kebodohan sebab kita terlalu lama mengagungkan prestasi klasik tersebut. Dengan sejarah harus belajar bahwa tidak selamanya mendewakan sejarah. Mengenang sejarah sebagai keunggulan merupakan keharusan, namun selalu berpatokan pada cerita lama hanya akan membuat kita jatuh terkungkung dalam kubangan kejumudan.
IPM memang pernah mengukir sejarah gemilang. Keilmuan IPM tak pernah diragukan lagi. Kader-kadernya selalu menjadi bagian dalam usaha merawat keilmuan. Mereka tampil dan menguasai berbagai macam forum-forum dan kontestasi keilmuan. Tidak diragukan memang, sebab mereka tak pernah melupakan diri dari berbagai macam aktivitas keilmuan. Patut diacungi jempol, kader IPM menjadi garda terdepan dalam hal keilmuan. Tanggung jawab kemanusiaan dan organisasi betul-betul mereka resapi dengan sungguh-sungguh.
Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, kehadiran organisasi IPM sangat dirindukan oleh segenap pelajar dan para intelektual muda Muhammadiyah. IPM hadir untuk melanjutkan proses transformasi ideologi muhammadiyah kepada generasi baru. Disamping untuk merawat ideologi dan generasi, IPM juga hadir untuk menjawab keresahan pelajar agar terbendung dari banyaknya paham yang berpotensi merusak kepribadian generasi. Mereka dipersiapkan untuk menjadi eksekutor pengganti yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan.
Saatnya Memulai Kembali
Oleh karenanya, sudah saatnya kita bangun dari tidur panjang ini. Sebagai kader IPM sudah seharusnya tidak lagi mendewakan cerita dan prestasi-presatasi lama para pendahulu. Kader terbaik adah mereka yang mampu mencetak sejarah baru, dengan belajar pada kisah perjuangan para pendahulu. Membuktikan pada dunia bahwa kita adalah generasi terbaik yang dimiliki oleh IPM. Organisasi yang bersemboyankan “nun walqalami wama yasturuun”, meretas jaman dengan ilmu pengetahuan.
Tidak bisa kemudian kader IPM terus-terusan mengkhianati gelar kehormatan ini. Menjadi kader IPM adalah merelakan segenap jiwa dan raga untuk memperjuangkan segala apa pun yang menjadi tujuan IPM dan tujuan persyarikatan. Majunya tradisi keilmuan persyarikatan, juga ditopang oleh keberadaan IPM sebagai penjaga stabilitas ditingkat ranting. Kebiasaan menulis, membaca, dan berdiskusi harus dihidupkan kembali. Organisasi IPM dengan sendirinya akan diperhitungkan apabila terus menunjukkan dirinya.
Berdiri tegakklah tampillah dimuka, menjadi kader yang siap sedia untuk umat dan bangsa. Potongan mars ini sudah cukup membakar semangat para kader IPM untuk terus berkompetisi. Merebut kemenangan mewujudkan kejayaan organisasi menjadi wajib diemban oleh segenap kader IPM. IPM sudah saatnya disibukkan kembali dengan kegiatan yang bermanfaat. Waktu luang diisi dengan kegiatan dan kontes keilmuan. Pikiran diasah, jiwa dibenahi serta jasmani dilatih. Menjadi kader umat, kader bangsa dan persyarikatan merupakan tanggung jawab besar. Hanya mereka yang mau berproses dan bersungguh-sungguhlah menjadi pemenangnya.
Pena perlu diasah, tinta tentu harus senantiasa ditumpahkan dalam lembaran peradaban kehidupan yang beradab. Pembiasaan diri pada pelatihan pola pikir berkemajuan tak boleh surut. IPM tak boleh dipandang sebelah mata dikarenakan telah meninggalkan tujuan awalnya, yakni guna membentuk pelajar muslim yang berilmu; berakhlaq mulia; dan terampil dalam rangka mengusahakan serta menegakkan agama islam. Pun tak luput dari tujuan persyarikatan, IPM juga perlu ambil bagian didalamnya.
* Catatan
- Penulis adalah Wahjiansah (Ketua Umum PR IPM MA Muhammadiyah Kota Bima 2017-2018)
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis