Ahli masa depan (futurist), Alvin Tovler, mengatakan: “The illitarete of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Artinya, orang-orang yang mempunyai kemampuan belajar dan adaptasi tinggi terhadap keadaan dan teknologi yang melek kehidupan dan akan survive dari pusaran era perubahan yang cepat.
Dalam pengartian yang lebih sederhana ialah orang yang buta hari ini dan esok bukanlah orang yang buta huruf, melainkan orang yang tidak mampu memreberdayakan kekuatan Teknologi Informasi. Hal ini bisa diartikan bahwa orang merugi adalah orang yang hanya menjadi konsumen media sosial tanpa bisa memproduksi sesuatu yang bermanfaat dari teknologi dan sosial media.
Hasil survey pengguna internet dan media sosial di Indonesia menemukan setidaknya ada 129,2 juta pengguna internet atau 97,4% orang mengakses sosial media seperti Twitter, Facebook, Path Line, Instagram, Dll. Kurang lebih rilis ini inline dengan rilis Menkominfo yang memprediksi lebih dari 95% internet users juga memiliki akun sosial media. Minimal lebih dari satu akun. Bisa dilihat sebagai ilustrasi, bahwa satu orang dapat mengelola lebih ari satu akun di satu jejaring/aplikasi sosial media. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi Dan Komunikasi Publik (IKP) menyampaikan bahwa situs jejaring sosial media yang paling banyak diakses di Indonesia adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 Pengguna Facebook dan peringkat 5 pengguna Twitter terbesart setelah USA, Brazil dan India.
Namun disisi lain ada sesuatu yang amat tragis untuk kita lihat, ketika masyarakat Indonesia berada dalam posisi-posisi teratas tentang penggunaan media sosial. Hal tersebut tidak berbanding lurus dengan peta literasi yang terpuruk, hingga Republik ini diganjar dengan indeks 0.0001. Unesco pada tahun 2012 mencatat indeks minat baca Indonesia secara nasional berkisar pada angka 0,001. Artinya dari setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca.
Kajian mengenai dampak internet dan sosial media membenarkan keberadaan trend positif dan negative pada satu decade terakhir. Kekuatan online antau internet telah membawa revolusi besar setelah revolusi industri cara manusia berinteraksi dan juga berdampak pada berbagai bidang kehidupan manusai seperti kesehatan , pendidikan, bisnis/ekonomi, pekerjaan, hiburan, dan politik. Menciptakan konektivitas adalah dampak positif terhebat yang jutaan orang mengakui dari kekuatan online. Ada juga ancaman membentang seperti praktik-praktik penyebaran ajaran dan teologi kekerasan, etika negatif, hubungan samar, terror, kejahatan online, pornografi, human trafficking.
Media online dan sosial bisa menjadi alat pemecah bangsa atau kelompok masyarakat. Bebasnya kita untuk bermedia sosial tidak dibarengi dengan pintarnya kita memilah dan memilih informasi dari media sosial. Banyak sekali informasi hoax yang memiliki tujuan tersendiri bagi segelintir orang ataupun kelompok masyarakat.
Belum lagi ancaman pornografi yang menghantui baik pada orang dewasa, remaja, ataupun anak-anak. Sebuah survey terbaru yang diberitakan di intisari online menyebutkan, anak usia 12 tahun hingga 1 tahun rentan kecanduan pornografi melalui internet dampak buruk pornografi pada anak setelah dewasa yaitu dapat mendorong anak untuk bertindak seksual terhadapa anak-anak lainnya. Anak-anak sering meniru apa yang mereka lihat, baca, atau dengar. Studi menunjukan, paparan pornografi dapat mendorong anak-anak untuk bertindak secara seksual terhadap anak yang kebih muda, baik saat masih remaja maupun dewasa. Jelas sekali, ada gangguan identitas dan psikologi bagi anak saat remaja ketika terbiasa mengkonsumsi pornografi (Anjali Chhabaria, 2008).
Ketika melihat dampak negatif dan beberapa survey tentang sosial media dan literasi. Perlu adanya solusi agar candu dan dampak negatif sosial bisa teratasi. Disinilah literasi mengambil peran.
Literasi dalam pengartian paling sederhana ialah tentang membaca dan menulis. Namun dalam pengartian yang lebih luas tentang membaca ialah aktifitas yang beragam seperti menyimak, memahami teks, meneliti. Dalam definisi yang lebih kompleks, bahwa tiap hari manusia berhubungan dengan realitas. Bagaiman kita menangkap realita dan kemudian mengambil sikap terhadapanya. Saat kita mengindra objek, syaraf kita mengantarkan gambaran objek tersebut ke otak, untuk kemudian diartikan sesuai memory yang pernah terekam dalam ingatan. Ketika proses itu terjadi, kita telah melakukan apa yang disebut “Membaca”
Untuk menangkal dampak negatif tersebut kita bisa lakukan aktifitas berliterasi. Membaca buku yang bermanfaat karena buku dapat mengubah hidup orang, daripada kita terjebak dan menjadi penikmat pornografi.
Kita juga bisa menjadi pembaca realitas yang baik seperti sebelum share sebuah informasi dari media sosial kita melakukan check dan recheck terlebih dahulu dan tidak langsung share ke tempat lain (group, teman). Menilai sebuah berita jika sempat, jika tidak sempat sebiknya tidak menyebarkannya karena pasti akan bermasalah jika apa yang kita share ternyata kita sendiri tidak tahu dan membingungkan orang lain, lalu fikirkan matang-matang akibat jika di share.
Perlu sekali gerakan anti hoax di masyarkat dan juga perlu sekali aplikasi cerdas yang dapat bertempur melawan berita dan informasi yang palsu serta tidak bertanggungjawab. kita tentu saja dapat melakukan ini jika mau dan konsisten berliterasi dalam rangka menyelamatkan generasi bangsa yang sedang terancam oleh banjir bandang sosial media.
*) Dedi Kurniawan, Ketua PW IPM Jawa Timur Bidang Apresiasi Seni Budaya dan Olahraga