Kembali Bangkit dari Bencana Dahsyat dan Tetap Ikut Menyemarakkan Muktamar, Inilah Kisah IPM Sulawesi Tengah yang Sempat Tinggal di Tenda Pengungsian

Kembali Bangkit dari Bencana Dahsyat dan Tetap Ikut Menyemarakkan Muktamar, Inilah Kisah IPM Sulawesi Tengah yang Sempat Tinggal di Tenda Pengungsian

Acara Pra MuktamarBeritaMuktamar XXI
1K views
Tidak ada komentar

Kembali Bangkit dari Bencana Dahsyat dan Tetap Ikut Menyemarakkan Muktamar, Inilah Kisah IPM Sulawesi Tengah yang Sempat Tinggal di Tenda Pengungsian

Acara Pra MuktamarBeritaMuktamar XXI
1K views

IPM.OR.ID, SIDOARJO – Bencana gempa bumi yang disertai tsunami di Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu masih teringat betul di benak masyarakat Indonesia. Gempa bumi yang menggoncang Kota Palu dan daerah sekitarnya seperti Donggala dan Sigi berkekuatan cukup besar, yaitu 7,4 Skala Ritcher ini menyebabkan 2000 lebih orang meninggal dunia. Saat ini, satu setengah bulan setelah bencana, masyarakat Palu dan sekitarnya berangsur pulih dan kembali menjalani kehidupan selayaknya meski trauma masih menyelimuti.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang merupakan pergerakan pelajar se-Indonesia, tentu turut berduka atas gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu dan daerah sekitarnya, khususnya untuk kader-kader IPM di Sulawesi Tengah yang berjuang menyelamatkan diri dari gulungan ombak tsunami. Lima kader IPM Sulawesi Tengah Rina, Evi, Zulfia, Zainal, dan Dede hadir dalam perhelatan terbesar IPM, Muktamar XXI yang digelar di SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (SMAMDA) selama 6 hari, sejak 16 November 2018.

Selamat dari bencana yang cukup dahsyat itu, mereka mengaku sangat bersyukur. Rina, Ketua Umum Pimpinan Wilayah (PW) IPM Sulawesi Tengah bercerita bahwa bencana tersebut masih menjadi trauma sampai saat ini. “Bencananya cukup dahsyat, ya. Saya bersyukur sekali kepada Allah telah melindungi saya dan keluarga-keluarga saya. Padahal rumah saya termasuk daerah yang terparah terkena gempa. Rumah di samping rumah saya retak-retak, alhamdulillah rumah saya tidak.”, ceritanya kepada ipm.or.id saat ditemui di SMAMDA, lokasi Muktamar IPM XXI, Jumat (16/11).

Ia juga menjelaskan bahwa terjadi gempa bumi sudah terbiasa dirasakan masyarakat di Palu, karena daerahnya yang dikelilingi oleh lautan. “Sebenarnya gempa itu sudah biasa terasa, cuma tidak besar dan hanya sebentar kemudian selesai. Beda dengan yang kemarin itu, biasanya gempa itu goyangnya menyamping ke kanan ke kiri, sedangkan yang kemarin itu acak ke atas ke bawah, begini. Jadi kita kesulitan untuk lari karna rasanya di ubek-ubek. Itu juga yang menyebabkan aspal bisa pecah dan anjlok, ada yang di atas ada yang di bawah.”, jelas Rina kepada ipm.or.id sambil menggerakkan tangannya ke atas ke bawah meragakan gerak gempanya.

Rina menceritakan perjuangan Sekretaris Umum PW IPM Sulawesi Tengah, Samsul Bahri yang selamat dari gulungan tsunami yang menerpanya. “Kami disini alhamdulillah langsung bisa menyelamatkan diri ke gunung. Yang lebih parah Samsul. Dia cerita saat itu dia sedang berkendara motor lalu terjadi tsunami. Ada 3 kali hantaman tsunami. Hantaman pertama saat dia lari, air laut terlanjur menghantamnya dan dia bergulung-gulung bersama air laut itu. Kemudian dia pegangan di besi bangunan runtuh. Air laut surut lagi dia naik kebangunan itu, kemudian datang lagi gelombang yang kedua dia tergulung-gulung lagi sama air laut itu bersama tembok bangunannya. Runtuh. Gelombang ketiga akan datang, alhamdulillah dia bisa selamatkan diri.”, paparnya dengan jelas atas kejadian yang menimpa rekan IPM nya.

Rina, penduduk asli Palu yang tinggal selama 2 minggu di tenda pengungsian itu juga menjelaskan tidak hanya tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Sulawesi Tengah, tetapi juga likuifaksi, fenomena ketika tanah kehilangan kekuatan dan kekakuannya, sehingga membuat tanah menjadi bergerak. “Ada 3 bencana sekaligus yang terjadi waktu itu. selain gempa dan tsunami, juga likuifaksi. Paling mengerikan itu daerah yang terkena likuifaksi, karena tiba-tiba satu desa, desa Petobo namanya, itu masuk ke dalam tanah. Tanahnya menjadi lembek dan berputar-putar, rumah seperti di blender. Lama kemudian tanahnya mengeras dan desanya menghilang menjadi seperti tanah lapang, makanya sekarang disebut desa menghilang.”, jelasnya yang berlogat Mian tersebut.

Evi dan Zulfia, pun mengiyakan cerita Rina tersebut. “Iya. Tanah bisa jadi lembek begitu dan berputar-putar. Setelah mengeras kembali rumah-rumah, beserta kebun yang ada di desa itu hilang, masuk ke dalam tanah.”, papar mereka yang juga mengalami kejadian yang sangat melekat di benaknya.

Zainal, peserta Muktamar XXI IPM juga menceritakan kisahnya saat tsunami datang. “Waktu saya di kampus, sedang mau shalat magrib. Gempa dahsyat itu mulai terasa kan jam 18.02 WITA. Mahasiswa mulai berhamburan naik ke lantai atas menghindari Tsunami. Saya baru bisa bertemu dengan orang tua sekitar pukul 9 malam yang papasan di jalan yang sama-sama lari mau menuju ke gunung. Saya dan keluarga 2 bulan tinggal di pengungsian.”, terang laki-laki asal Donggala tersebut.

Lain halnya dengan Dede. Ia baru bisa bertemu dengan orang tuanya besok harinya setelah bencana. “Saya pulang dari mengajar yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ketika diatas motor itu saya langsung berlari berusaha meyelamatkan diri. Saya baru besoknya ketemu keluarga.”, jelasnya.

“Gempa sampai saat ini masih dirasakan. Tapi kecil. Sebelum berangkat ke bandara menuju kesini juga kita semua dibangunkan oleh gempa.”, ujarnya mengundang gelak tawa yang mendengarkan laki-laki yang memang humoris itu. *(Putri)

Tak Mau Kalah Semarakkan Muktamar XXI, Seluruh Bidang Asbo Berkumpul dalam KOPDAR ASBO IPM se-Indonesia
Dalam Seminar Pasca-Pembukaan Tanwir, Khofifah Tegaskan Perempuan Punya Hak yang Sama
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.