Awal tahun 2000-an terjadi perdebatan hebat terkait perubahan nomenklatur IRM. Yakni wacana pengembalian ke nomenklatur awal, IPM. Perdebatan tersebut memang sangat alot karena dampak dari perubahan nama dari salah satu organisasi pelajar terbesar di nusantara ini cukup besar. Saat itu IPM seolah-olah terlahir kembali seperti bayi yang baru lahir dan mulai belajar duduk, merangkak dan berjalan. Proses yang harus dilalui memang cukup panjang karena perubahan nama tidak secara otomatis akan merubah segala hal dalam tubuh IPM. Organisasi kepelajaran ini harus menyusun kembali orientasi pergerakannya. Menyusun kembali sistem pendidikan kadernya, menyusun kembali narasi besar keilmuannya dan segala bentuk instrumen keorganisasiannya. Bahkan sampai sekarang, sesungguhnya proses tersebut masih berjalan. IPM sekarang seperti seorang remaja yang secara psikologis masih rapuh.
Banyak yang mengatakan “IPM ini sudah tua, sudah berumur lebih dari setengah abad.” Seharusnya IPM sudah menjadi orang dewasa yang memiliki kekuatan mental yang kokoh dan jiwa yang luhur. Namun kita tidak dapat mengesampingkan peristiwa dua kali perubahan nomenklatur IPM yang tercatat dalam buku-buku sejarah IPM dan menjadi bahan materi Taruna Melati Dasar IPM seluruh Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi fakta bagaimana faktor eksternal sangat mempengaruhi IPM dan juga sebaliknya. Kepekaan IPM terhadap faktor-faktor eksternal mengharuskan IPM memperbaharui diri mengikuti perubahan zaman dalam dunia kepemudaan. Kerelaan IPM menyesuaikan jiwa dan raganya dengan perkembangan zaman merupakan bukti dari sikap keterbukaan IPM. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti keseriusan IPM dalam semangat semboyan IPM yang ditafsirkan sebagai semangat keilmuan IPM.
Bergantinya elit intelektual dalam kepemimpinan IPM mempengaruhi orientasi gerakan IPM dari masa ke masa. Fakta sosial ini yang berusaha dibuktikan oleh Azaki Khoirudin dalam tesisnya. Sehingga unsur politik (orientasi terhadap pemangku jabatan) dalam tubuh IPM menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sebaik apapun perencanaan yang dilakukan secara keilmuan di dalam permusyawaratan IPM, tidak akan mencapai tujuannya apabila proses politik gagal menempatkan elit-elit intelektual di atas kursi yang semestinya. Padahal IPM membutuhkan subjek penggerak organisasi yang tepat untuk melanjutkan proses pertumbuhan IPM (kerangka keorganisasian) dan perkembangan IPM (wacana keorganisasian) yang menjadi keharusan. Bahkan apabila diperlukan rekayasa sosial untuk mencapai tujuan IPM yang tertera di pasal 6 Anggaran Dasar IPM yang juga tertera di bagian belakang setiap KTA IPM yang dicetak.
Sesungguhnya, usaha rekayasa sosial ini sudah berjalan mulai dari masa perdebatan terkait paradigma IPM. Saat ini rekayasa sosial tersebut mulai merambah ke ranah yang lebih implementatif. Terbukti dari munculnya wacana Gerakan Pelajar Kreatif pada Muktamar XVII IPM yang mengandung konsep membentuk IPM sebagai gerakan pelajar yang populis (diterima oleh semua kalangan dalam ruang lingkup pelajar). Kemudian usaha eksistensialisme IPM ini mengilhami agenda aksi Gerakan Komunitas Kreatif yang dimunculkan pada Muktamar XVIII IPM. Saat itu IPM di tingkatan pusat sudah mulai menyadari bahwa wadah populer di kalangan pelajar yang bersifat informal adalah komunitas. Namun agenda aksi tersebut hanya menjadi wacana yang kering akan implementasi. Sebab pada tataran nasional agenda aksi tersebut belum dapat diterima sepenuhnya. Agenda aksi Gerakan Pelajar Kreatif malah berkembang pesat di wilayah Jawa Timur. Hal ini dibuktikan pada Musyawarah Wilayah XVIII IPM Jawa Timur yang berhasil mengembangkan strategi komunitas secara konseptual. Saat itu, di Muktamar XIX IPM wacana intelektual IPM lebih mengarah ke penentuan paradigma IPM sehingga muncul paradigma Gerakan Pelajar Berkemajuan sebagai paradigm IPM yang disepakati. Setelah itu, dalam Muktamar XX difokuskan kepada penerapan konsep AI di dalam perencanaan program IPM yang saat itu berhasil menyerap isu-isu strategis global. Namun saat itu lembaga di IPM yang sesuai dengan ketentuan pasal 28 Anggaran Rumah Tangga IPM berkembang secara implementatif dan menjadi lebih populer. Di Muktamar XXI IPM kembali muncul kembali wacana terkait Strategi Komunitas Kreatif. Setelah itu baru muncul kesadaran secara nasional akan urgensi strategi ini sehingga tercetus tim akselerasi komunitas kreatif di Tanwir IPM 2019.
Rekayasa sosial yang dimaksud adalah perkembangan strategi gerakan (dakwah) IPM yang sengaja dimunculkuan secara terencana. Sehingga muncul konsep komunitas dan lembaga sebagai perpanjangan tangan IPM. Strategi dakwah IPM terimplementasi di dalam gerakan IPM itu sendiri. Karena sesungguhnya, setiap IPM bergerak, disitu IPM berdakwah untuk kalangan pelajar. IPM memahami diksi dakwa bukan hanya sekedar seruan, namun bagi IPM diksi dakwah lebih dipahami secara praksis. Oleh karenanya sangat tepat keputusan Musyawarah Wilayah XXI IPM Jawa Timur mencentuskan frasa diseminasi dakwah IPM sebagai pengganti frasa diaspora dakwah IPM. Harapannya frasa ini dapat menjadi narasi nasional yang dipahami oleh IPM secara nasional sebagai usaha penyebaran dakwah IPM melalui strategi komunitas kreatif (informal) dan pembentukan berbagai lembaga IPM (formal) yang membantu gerakan IPM meluas ke berbagai bidang dakwah.
*) Catatan
- Penulis adalah Alfa Rezky Ramadhan. Sempat aktif di PC IPM Paciran dan PW IPM Jawa Timur. Mantan Ketua Umum PR IPM Desa Sendangagung. Saat ini sedang menempuh pendidikan Strata Satu di Porgram Studi Manajemen Pendidikan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta. Sedang menganggur dan masih aktif memikirkan IPM.
- Penulis dapat dihubungi via alfarezkyramadhan@gmail.com
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.