Andai secara keorganisasian IPM bisa lebih transparan dan akuntabel, maka mustilah pelajar-pelajar di dalamnya bisa hidup lebih tentram. Tentu ada banyak penafsiran tentang tentram, tetapi dalam definisi yang paling sederhana, tentram artinya tak gaduh dan tak gelisah. Hanya orang-orang yang sidiq, amanah, tabligh, dan fatonah, yang tidak khawatir tentang keributan sebab oleh mereka, semua hal bisa dipertanggungjawabkan.
Imajinasi soal IPM yang transparan dan akuntabel ini bukan barang baru. Sejak lama, kita punya kekhawatiran soal ini. Tetapi sayangnya, tak selalu kita punya cara untuk mewujudkan hal tersebut, baik secara politis (melalui political will) maupun secara praktis (melalui struktur dan aturan main).
Sebut saja, misalnya, salah satu rekomendasi Muktamar Medan. Di sana kita bisa terang melihat pentingnya IPM melakukan audit keuangan di setiap akhir periode. Atau di bagian lain, salah satu indikator keberhasilan bidang dan lembaga adalah punya LPJ. Dua hal ini (punya audit keuangan dan LPJ) boleh saja kita persepsikan sebagai kekhawatiran. Kita khawatir kalau IPM tak punya legacy yang trustworthy, dimana LPJ dan audit ini adalah salah dua dari mekanisme tersebut (baca Ahmed, 2024).
Hal-hal tentang transparansi dan akuntabilitas ini kerap dianggap remeh. Dinomorduakan. Padahal menurut saya, dengan melihat pentingnya transparansi dan akuntabilitas sebagai hal yang sentral di organisasi, kita tak cuma sedang membangun organisasi yang jauh dari kekhawatiran, tetapi turut membangun iklim keilmuan yang jarang dibicarakan.
Tulisan ini akan membahas korelasi ketiganya: Urgensi organisasi yang transparan dan akuntabel, membangun ketangkasan metodologis, juga implikasi praktis dan politisnya.
Urgensi Transparansi dan Akuntabilitas
Ide awal tentang transparansi dan akuntabilitas lahir karena tuntutan performa. Dalangnya ialah neoliberalism yang, suka tidak suka, harus kita akui menjangkit tak cuma IPM, tetapi juga banyak aspek lain di dunia. Di kalangan akademisi, neoliberalism adalah hal yang tak kunjung selesai dibahas. Namun demikian, di samping pro dan kontranya, ide tentang transparansi dan akuntabilitas sejatinya sangat masuk akal.
Bayangkan misalnya anda punya dua kelompok: A dan B. Dua kelompok ini sama-sama diberi uang dan modal 500.000 IDR untuk membuat sebuah program. Usut punya usut, kendati punya modal yang sama, kelompok A rupanya bisa mendeliver program lebih dari sekali kepada 200 pelajar se-Indonesia. Di sisi yang lain, kelompok B hanya bisa mendeliver program sekali dengan pelajar yang terdampak hanya 50. Anda lalu bertanya: Kok bisa ya? Kenapa kelompok A lebih baik? Kenapa dampaknya lebih besar?
Di situlah pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Dua hal ini memberikan gambaran yang lebih jelas bila kita ingin membandingkan performa dari sebuah organisasi. Ini tidak terkungkung pada aspek finansial saja. Justru, transparansi dan akuntabilitas yang dimaksud juga termasuk pada aspek yang teknis-mekanis. Artinya, transparansi dan akuntabilitas itu tidak hanya pertanggungjawaban soal uang, tetapi juga soal ide.
Analogi sederhananya begini: Ketika anda pergi ke bengkel servis untuk menanyakan kenapa motor anda lambat, yang perlu dilihat bukan cuma sparepart apa saja yang dibelikan si montir. Tetapi juga melihat, lambatnya disebabkan oleh apa. Hanya dari situlah anda bisa dengan objektif menilai, sesuatu itu tidak pas atau tidak efektif.
Kalau motor anda lambat karena bannya bocor, apakah salah kalau montirnya membeli ban dan velg baru? Tentu tidak salah. Tetapi dari situ anda tahu bahwa si montir bekerja dengan sangat tidak efektif. Sebab uang yang bisa dipakai hanya untuk menambal ban, malah dibuat ganti keseluruhan, yang bisa jadi masih sangat layak.
Hal yang sama berlaku di organisasi. Kalau sebuah organisasi jadi tidak efektif, apakah karena sirkulasi keuangannya yang melambat, atau karena, ide dan cara desain programnya yang buruk? Di sinilah pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Tanpa wawasan keduanya, kita tak pernah punya gambaran utuh tentang mengapa sesuatu bisa berjalan atau tidak berjalan.
Namun demikian, melakukan fungsi pengawasan terhadap transparansi dan akuntabilitas bukan perkara gampang. IPM punya pekerjaan rumit untuk membentuk pelajar dengan ketangkasan metodologis agar bisa mengawal transparasi dan akuntabilitas organisasi.
Mewujudkan Ketangkasan Metodologis
Saat berpikir tentang membangun ketangkasan metodologis, kita tidak bisa untuk tidak berbicara mengenai peta jalan keilmuan IPM. Peta jalan itu adalah visi dan misinya, sementara ketangkasan metodologis ini adalah kendaraannya. Dalam arti lain, visi dan misi keilmuan IPM hanya bisa dicapai secara organisasi kalau kadernya punya kemampuan mengubah visi dan misi itu menjadi hal yang applicable dan understandable.
Itulah apa yang saya sebut sebagai ketangkasan metodologis. Kecakapan dalam menerjemahkan ide menjadi perangkat-perangkat teknis yang bisa dimengerti. Tanpa ketangkasan metodologis, tak mungkin ide tersebut bisa dijalankan.
Sejak dahulu IPM sudah punya kesadaran soal ketangkasan metodologis itu. Pikirkan tentang perubahan penggunaan struktur sosial, appreciative inquiry (AI), hingga theory of change (ToC) di IPM. Metode-metode dan pendekatan itu adalah produk intelektual yang mengiringi perubahan ide keorganisasian di IPM.
AI digunakan beriringan dengan wacana Gerakan Pelajar Berkemajuan dan lokakarya di Gresik tahun 2013. ToC disemarakkan beriringan dengan wacana Gerakan Kepemimpinan Berdampak. Artinya, ide hanya mungkin diwujudkan kalau ada perangkat teknis yang membolehkannya diwujudkan.
Cara pandang ini juga berlaku pada ide tentang transparansi dan akuntabilitas. Gagasan tentang transparansi dan akuntabilitas tak cuma sejalan dengan wacana Gerakan Kepemimpinan Berdampak, lebih jauh, ia adalah penopangnya. Kendaraannya.
Asumsi di belakang masifikasi ide tentang transparansi dan akuntabillitas ini adalah organisasi yang punya dampak luas akan bisa diwujudkan kalau efektivitas bisa dibangun. Lalu, efektivitas bisa bangun, kalau mekanismenya bisa dimengerti. Cara mengetahui mekanisme itu ialah melalui desain dan implementasi ide dan program yang transparan dan akuntabel.
Pertanyaannya adalah, apa harga yang harus dibayar agar IPM bisa transparan dan akuntabel?
Implikasi Politis dan Praktis
Pertama, IPM harus secara sangat disiplin membiasakan menyusun program apapun dengan logic model yang jelas (baca Fitzpatrick, 2012; Knowlton 2013). Menggunakan logic model yang jelas (menggunakan ToC atau LFA, misalnya) memberikan gambaran kepada pembaca mengenai bagaimana dampak dari program bisa diwujudkan secara realistis melalui tataran ide.
Apakah input dan resource-nya mendukung? Apakah output dan outcome-nya sejalan dengan impact yang diinginkan? Apakah activity yang diusulkan realistis? Menggunakan logic model yang jelas memerlukan ketelitian dan disiplin yang luar biasa. Sebab orang bijak kerap bilang: Orang yang gagal mendesain adalah orang yang mendesain kegagalan.
Kedua, IPM harus juga sangat teliti dan membiasakan diri untuk membuat impact report dan technical report dari setiap program yang dibuat. Artinya, audit keuangan, tak cukup ada di akhir periode sebagaimana usulan rekomendasi Muktamar Medan. Tetapi juga perlu dibiasakan pada setiap akhir penyelenggaran program melalui LPJ yang berisi: (1) dampak dari program yang telah dilaksanakan dan (2) evaluasi teknis pelaksaan dari program tersebut.
Ketiga, untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu dibangun sistem monitoring dan evaluasi yang menyeluruh pada setiap aktivitas organisasi. Ini harga yang sangat mahal sebab monitoring dan evaluasi yang adil perlu ketelatenan dan kolaborasi dari banyak pihak.
Keempat, IPM dan orang-orang di dalamnya, tidak boleh menjanji-janjikan apapun di luar apa yang sudah dirancang dan ditetapkan dalam desain program dan anggaran yang sudah dibuat. Tokoh politik di IPM tidak lagi bisa sewenang-wenang menjanjikan program A di kabupaten B; tidak boleh lagi secara semena-mena mengiming-imingi kegiatan B di kota C; dan lain seterusnya-dan lain seterusnya.
Dalam bahasa yang paling sederhana: Konsekuensi logis dari transparansi dan akuntabilitas membuat tokoh politik di IPM jadi tidak bisa berbohong. Dan bagian inilah mengapa transparansi dan akuntabilitas sulit diwujudkan. Karena melarang tokoh politik di IPM untuk berbohong sama seperti melarang anak kecil mengemut permen. Mustahil.
Itikad Politik yang Jujur dan Etis
Maka demikian, kalau ditarik secara keseluruhan, saya berani bilang bahwa menumbuhkan ketangkasan metodologis itu tidak susah. Kita hanya perlu membiasakannya lewat perkaderan formal di IPM maupun lokarkya-lokakaya keilmuan yang lain. Mengajari orang membuat logic model dan mengaudit keberhasilan program itu tidak sulit.
Yang sulit adalah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas itu sendiri. Sebab untuk mewujudkan hal tersebut, kita perlu politisi IPM yang jujur dan etis. Ini yang susah. Ini yang sulit. Namun demikian, tetap perlu diusahakan. Anda yang membaca tulisan inilah yang akan mewujudkannya. Kita punya tanggungjawab itu.
Rujukan bacaan:
Ahmed, S. K. (2024). The pillars of trustworthiness in qualitative research. Journal of Medicine, Surgery, and Public Health, 2, 100051. https://doi.org/10.1016/j.glmedi.2024.100051
Fitzpatrick, J. L. (2012). Program evaluation : alternative approaches and practical guidelines (J. R. Sanders & B. R. Worthen, Eds.; 4th ed.). Pearson.
Knowlton, L. W. (2013). The Logic Model Guidebook: Better Strategies for Great Results (C.C. Phillips, Ed.; 2nd ed.). Sage Publications.
- Penulis adalah Brilliant Dwi Izzulhaq, Ketua PP IPM Bidang PIP. Bercerita, menulis, dan sedang belajar di Australia.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.