Tiga tahun lalu, saat saya menjadi Ketua Umum PD IPM Kota Yogyakarta saya berkata pada seorang kader, Nabila Azzahra Pamuji namanya. Ia adalah mantan ketua umum di rantingnya, sempat masuk PD IPM di periode sebelumnya namun kemudian nggak bisa melanjutkan masuk di awal periode kami.
Saat itu situasi membaik, kondisinya mulai memungkinkan untuk kembali aktif di IPM. Lalu saya katakan ke Nabila kira-kira begini, “Kalau mau kembali dan aktif lagi, ayo kembali Nab, IPM bakal menerima kamu. IPM adalah rumahmu.”
Singkat cerita, Nabila mau dan teman-teman PD IPM setuju. Ia pun masuk melalui mekanisme Rapat Pleno I, sampai hampir setahun setelahnya dia kembali ber-IPM. Pelan-pelan aktif lagi setelah sekitar setengah tahun vakum. Hingga memasuki masa-masa Fortasi 2018 dan dirinya menjadi pemateri sekaligus tim monitoring Fortasi PR IPM SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta.
Suatu hari, Jumat, 20 Juli 2018 adiknya sakit dan dirawat di Rumah Sakit. Dia bertugas menemani karena orang tuanya tinggal di Riau. Lalu setelahnya dia harus bergegas untuk menjalani tugas monitoring Fortasi.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, Nabila kecelakaan dalam perjalanan. Sempat dilarikan ke rumah sakit namun nyawanya tidak terselamatkan. Pengalaman ini sangat membekas di dalam benak saya (dan teman PD IPM Kota Yogyakarta saat itu) selama ber-IPM.
Rumah Bagi Kader dan Pimpinan
Rasa kehilangan satu kader yang teramat mendalam berdasarkan cerita di atas menggambarkan pengalaman singkat menjadikan IPM sebagai “rumah” kita. Betul, IPM perlu menjadi rumah bagi kader dan pimpinan. Ini yang perlu dilakukan sebelum membahas tentang rumah bagi pelajar.
Sering dijumpai ada kader dan pimpinan yang tidak bertahan lama. Baru sebentar masuk, hitungan bulan sejak pelantikan atau rapat pleno, lalu kemudian menghilang. Hal ini jamak terjadi di struktur manapun. Karenanya, bagi saya pribadi fenomena ini perlu mendapat perhatian khusus.
Hilangnya kader dan pimpinan bukan semata-mata karena kualitas dan militansi kader tersebut rendah. Sangat mungkin banyak faktor lain. Jika harus menunjuk siapa yang bertanggungjawab maka sepatutnya telunjuk kita arahkan pada diri kita sendiri, para penggerak IPM di struktur masing-masing.
Kader yang menghilang dari pimpinan sangat mungkin terjadi karena: 1) ketidaknyamanan dengan kepemimpinan; 2) intensitas dan kualitas komunikasi yang minim; 3) visi yang tidak seiring; 4) ada aktivitas/kesulitan di luar IPM. Lazimnya, kita menyalahkan kader yang menghilang, menganggap mereka baperan. Padahal yang perlu kita lakukan justru menjamin urusan emosi dan kebutuhan juga diperhatikan oleh IPM.
Maka, IPM kita perlu menjadi IPM yang menjadi rumah. Secara fisik maupun psikis. Indikatornya nggak terlalu susah. Secara fisik, kantor/sekretariat sering dikunjungi, menjadi ruang temu, dan menjadi “rumah kedua” bagi para kader.
Secara psikis, agenda, rapat, dan pertemuan-pertemuan selain menjadi jalan perjuangan juga perlu menjadi tempat yang menggembirakan bagi para kader. Jika para kader gembira dalam melaksanakan agenda-agenda organisasi, keikhlasan, dan militansi akan muncul dengan sendirinya, bukan?
Selain itu, banyak kader-kader kita yang urusannya nggak hanya IPM saja. Bisa jadi mereka memiliki urusan di rumah atau di sekolah/kampus. Lebih lanjut lagi, kader-kader kita banyak yang memiliki persoalan keluarga, pertemanan, hingga perekonomian. Beberapa hal ini perlu disentuh lewat perhatian-perhatian para penggerak organisasi.
Sehingga, kita dalam ber-IPM nggak hanya berjuang, namun juga bersama-sama sebagai teman. Sebagai sahabat yang saling peduli dan membantu dalam situasi apapun.
Lalu, apakah hal-hal sederhana di atas sudah kita perhatikan sebagai penggerak IPM? Atau sebaliknya, kita justru tidak peduli, galak, dan banyak menuntut kontribusi kader-kader kita?
Rumah Bagi Pelajar
Setelah menegaskan posisi IPM sebagai rumah bagi kader dan pimpinan, maka kita bisa menjelajahi tugas selanjutnya: Menjadikan IPM sebagai rumah bagi pelajar.
Entah saya yang baru merasakan atau memang sudah terjadi sejak lama, IPM sebagai rumah pelajar sepertinya saat ini sebatas jargon. Indikatornya sederhana, IPM nggak banyak dikenal pelajar secara umum (bukan hanya di sekolah Muhammadiyah) dan IPM nggak tanggap isu-isu pelajar baik lokal maupun nasional. Tentu hal ini penilaian secara umum, IPM di beberapa tempat dan beberapa bidang mungkin berbeda.
IPM hari ini sebenarnya memiliki konsep yang melampaui zaman. Di tahun 2016, Konpiwil IPM Surabaya membahas SDGs, isu global yang baru marak dibahas di dunia akademik mulai pertengahan tahun 2016.
Masih di tahun yang sama, IPM mulai mengangkat isu literasi dan ekologi. Hal ini bahkan sebelum Mendikbud Muhadjir Effendy pada tahun 2017-2018 mengangkat gerakan literasi sekolah, juga sebelum Greta Thunberg di Swedia menggerakkan Friday’s for Future-nya yang mendunia itu. Belum lagi Sistem Perkaderan IPM yang membuka ruang lebar-lebar bagi pembahasan Hukum, HAM, sampai dengan gender yang kini sangat digemari anak muda.
Namun, konsep tersebut tampaknya nggak sampai ke ranah praktis. Gerakan literasi dan ekologi IPM masih cukup lesu. Pun perhatian IPM bagi isu-isu Hukum, HAM, dan gender belum terasa greget-nya.
Selain itu, IPM juga belum maksimal dalam penguasaan media sosial untuk menyampaikan gagasan. Padahal telah terbukti berkali-kali bahwa IPM punya kekuatan yang cukup besar di media sosial. Lembaga Media PP IPM telah membuktikan beberapa kali berhasil merangsek masuk ke dalam Trending Topics Indonesia di Twitter.
IPM di media sosial pun bisa dibilang memiliki kekuatan terbaik dibanding sesama ortom-ortom Muhammadiyah, juga bisa bersaing dengan OKP non-Muhammadiyah. Bisa dibuktikan melalui followers dan interaksi Instagram+Twitter.
Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan jaringan dan influencer yang kuat, serta juga belum didukung gagasan bermutu plus kesadaran digital para pimpinan. Ibarat perang, IPM saat ini memiliki serangan udara yang baik. Namun lemah dalam di darat dan laut. Sepertinya keren namun sebenarnya tidak efektif dan tepat sasaran.
Jika demikian, maka apakah IPM sudah menjadi rumah bagi para belajar? Tentu saja belum. Mudah menjawabnya.
IPM masih perlu mendekatkan diri dengan isu-isu pelajar dan anak muda. Lalu melakukan positioning ciamik lewat kanal-kanal media sosial yang dimiliki. Hal ini bisa dilakukan jika IPM menggeser kesadarannya untuk memayungi pelajar secara umum, di manapun mereka bersekolah.
Secara sederhana, IPM bisa mengubah bahasa yang digunakan menjadi ramah pelajar; seru, nggak kaku, namun tetap penuh nilai. IPM juga bisa menggerakkan program dan kebijakan yang menyenangkan, nggak hanya formalitas dalam perkaderan dan keorganisasian yang itu-itu saja. Pimpinan IPM pun hendaknya bisa belajar untuk setidaknya memahami media, lalu selanjutnya jadi influencer, tentu influencer yang dimaksud adalah followersnya banyak dan kontennya bermutu.
Hal ini perlu dipertimbangkan serius untuk membuat “IPM sebagai rumah pelajar” berubah dari sekadar jargon menjadi kenyataan.
Gagasan ini bukan bentuk benci pada IPM, melainkan bentuk cinta luar biasa. Nggak lain untuk menegaskan posisi IPM sebagai rumah pelajar Indonesia sehingga dampak positif IPM nggak hanya dirasakan kader-kader seperti kita saja. IPM punya nilai-nilai keren yang perlu disebarkan lebih luas lagi. Perlu gerak aktif nan energik dari pimpinan, kader, hingga anggota di setiap tingkatan untuk merealisasikan gagasan ini.
Menutup artikel ini, beberapa tahun belakangan di Yogyakarta muncul kader-kader IPM dari sekolah negeri. Mereka mengaku tertarik dengan kegiatan IPM.
Tentu saya terharu, dengan minimnya publikasi saja IPM menarik perhatian pelajar, apalagi jika kita menggencarkan publikasi dan kreativitas dalam melakukan pergerakan, bukan?
*Catatan
- Penulis adalah Nabhan Mudrik Alyaum, Ketua Bidang PIP PW IPM DIY, CEO Milenialis.id, dan Mahasiswa S1 Geografi dan Lingkungan UGM
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis
1 Komentar. Leave new
Keren, menginspirasi sekligus menapar hati para pemimpin IPM tentang kemunduran kader… Terimakasih tulisannya..