Di IPM, kata korporasi sering dianggap ancaman ideologis. Profesionalisme dicurigai, sistem dihindari, dan ukuran kinerja dianggap berbahaya. Akibatnya, organisasi lebih nyaman hidup dari semangat ketimbang bertanggung jawab terhadap hasil. Masalahnya, kata ideologis tidak seharusnya dijadikan alasan untuk memaklumi ketidakmampuan kader. Militansi bukan pengganti kompetensi. Loyalitas tidak otomatis melahirkan dampak. Program boleh ramai, tetapi tanpa arah dan ukuran, ia hanya mengulang rutinitas.
Logika korporasi di sini bukan hanya soal profit saja, melainkan disiplin yang merencanakan dengan sadar, bekerja secara terukur, dan berani mengevaluasi. Muhammadiyah tumbuh besar justru karena nilai dikelola dengan sistem modern. IPM tidak sedang diminta menjadi perusahaan, ia diminta berhenti romantik pada kekacauan. Profesionalisme bukan musuh ideologi. Ia adalah cara paling jujur agar ideologi benar-benar bekerja.
Kader Militan, Organisasi Amatiran
IPM kaya akan kader militan, tetapi sering miskin tata kelola. Militansi dirayakan sebagai kekuatan, sementara ketidakteraturan dimaklumi. Semangat dianggap cukup, meski arah kabur dan dampak sulit diukur. Dalam situasi ini, organisasi bergerak terus, tetapi tidak selalu maju. Loyalitas kerap menggantikan kompetensi. Kehadiran rutin lebih dihargai daripada kemampuan mengelola. Kritik dibaca sebagai gangguan, evaluasi dianggap mengganggu harmoni. Akibatnya, program berjalan tanpa pembacaan kebutuhan yang serius, tanpa logika perubahan yang jelas, dan berakhir tanpa pembelajaran.
Profesionalisme bukan untuk mematikan militansi, melainkan menyalurkannya. Tanpa sistem, militansi hanya melahirkan kelelahan kolektif. Dengan manajemen yang rapi, militansi berubah menjadi daya dorong. IPM tidak butuh memilih antara semangat atau kecakapan yang harus ditinggalkan adalah romantisme bahwa semangat saja sudah cukup.
Bertahan, tapi Tidak Tumbuh
IPM hari ini mirip perusahaan yang mendekati kepailitan. Ia masih beroperasi, tetapi kehilangan daya tarik pasar. “Sahamnya” tidak selalu laku, banyak pelajar tidak lagi tertarik bergabung, namun organisasi tetap berjalan karena ditopang struktur, bukan minat. Aktivitas ada, tetapi ekspansi nyaris tidak terjadi.
Monotoni menjadi gejala paling nyata. Program berulang, pendekatan seragam, dan wacana yang sulit menembus realitas pelajar hari ini. IPM sibuk melayani dirinya sendiri, bukan membangun nilai yang dirasakan langsung oleh pelajar. Seperti perusahaan stagnan, organisasi ini bertahan hidup, tetapi gagal menciptakan inovasi yang membuatnya relevan. IPM seperti katak dalam tempurung, merasa puas dan merasa besar di kandangnya sendiri. Kita bahkan tidak pernah melakukan survei ke satu gang di sekret IPM, kita tanyakan satu persatu warga, kira-kira berapa persen dari mereka yang mengenal IPM? Ini mempertanyakan sebenarnya “dampak” IPM ini sampai mana?
Dalam logika korporasi, kondisi seperti ini menuntut restrukturisasi, bukan sekadar bertahan. Tanpa pembaruan model kerja, pembacaan pasar pelajar, dan diferensiasi nilai, IPM hanya akan terus hidup di zona aman stagnasi. Bertahan tanpa tumbuh bukan tanda sehat, itu tanda organisasi yang menunda krisis. Dengan profesionalisme, IPM mulai membaca pelajar sebagai subjek yang punya kebutuhan nyata, bukan sekadar target kaderisasi. Program disusun dari kebutuhan, dijalankan dengan logika perubahan, dan dinilai dari dampaknya. Inilah cara organisasi berhenti sekadar bertahan, lalu kembali tumbuh.
Menebalkan Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah
Dalam kerangka Muhammadiyah, kesejahteraan bukan efek samping dari kesalehan, melainkan tujuan sadar dari keberagamaan. Ideologi kesejahteraan Muhammadiyah lahir dari pemahaman Islam sebagai din wa ni‘mah yaitu agama yang menghadirkan kebaikan hidup, kemajuan, dan peradaban. Agama tidak berhenti pada urusan ritual, tetapi bekerja aktif meningkatkan kualitas hidup manusia secara material, sosial, dan kultural.
Karena itu, kesejahteraan dalam Muhammadiyah tidak dipahami secara pasif atau karikatural. Ia menuntut kerja sistematis, pengelolaan yang rapi, dan keberanian menguasai instrumen modern. Amal usaha, tata kelola organisasi, dan profesionalisme bukan penyimpangan ideologi, melainkan wujud konkret dari ideologi itu sendiri. Kesejahteraan tidak lahir dari niat baik semata, tetapi dari kemampuan mengelola nilai menjadi daya.
Dalam konteks ini, IPM sebagai ortom kader sejatinya memikul mandat ideologis yang sama. Ideologi kesejahteraan tidak cukup diajarkan, tetapi harus dipraktikkan sejak dini melalui cara organisasi dikelola. Ketika IPM menolak profesionalisme, sesungguhnya yang ditolak bukan logika korporasi, melainkan tuntutan ideologi kesejahteraan itu sendiri.
Profit sebagai Jalan Kesejahteraan Organisasi
Jika kesejahteraan adalah tujuan ideologis, maka profit tidak boleh terus diperlakukan sebagai kata kotor. Profit bukan lawan dari nilai, melainkan alat untuk menjaga keberlanjutan nilai. Organisasi yang menolak membicarakan profit akan terus bergantung, rapuh secara struktural, dan mudah terjebak dalam stagnasi moral yang sibuk berkhidmat, tetapi kelelahan secara sistemik.
IPM perlu mulai membayangkan dirinya sebagai organisasi yang menghasilkan nilai ekonomi secara ideologis. Bukan menjual identitas, tetapi mengemas kompetensi. Melalui instrumen seperti LFP, IPM sangat mungkin menjadi penyedia pelatihan kepemimpinan, outbond, dan LDKS bagi sekolah-sekolah. Pasarnya nyata, kebutuhannya ada, dan kader IPM memiliki legitimasi sosial untuk itu. Fasilitator IPM mampu merancang sebuah pelatihan sekelas trainer-trainer profesional, amat disayangkan jika kompetensi tersebut tidak difasilitasi dan dimonetisasi.
Profit yang dihasilkan bukan untuk dipuja, tetapi diputar kembali untuk kaderisasi, penguatan kapasitas, dan kemandirian organisasi. Di titik ini, ideologi kesejahteraan menemukan bentuk paling konkret. IPM tidak hanya berbicara tentang kepemimpinan dan kebermanfaatan, tetapi mempraktikkannya secara profesional. Inilah Islam Berkemajuan dalam bentuk yang bekerja, bukan sekadar diyakini.
Nilai Jual atau Jalan Sunyi Kepunahan?
Pada akhirnya, seluruh rancangan ini bermuara pada satu pertanyaan telanjang “apa nilai jual IPM bagi pelajar hari ini?” Di tengah generasi yang makin pragmatis dan cenderung apatis, ideologi tanpa manfaat nyata akan mudah ditinggalkan. Ketika IPM dikelola profesional, punya kompetensi yang bisa dipelajari, jaringan yang bisa diakses, dan pengalaman yang bisa “dipakai” di dunia nyata, ia berhenti menjadi organisasi moralistik, lalu berubah menjadi ruang tumbuh yang rasional dan menarik. Di titik ini, IPM tidak lagi memohon minat, ia menawarkan nilai.
Namun jika IPM tetap alergi pada profesionalisme, menolak mengukur dampak, dan enggan membangun relevansi, maka jurang kepailitan tinggal menunggu waktu. Organisasi boleh terus hidup di atas kertas, tetapi kehilangan generasi penerus yang benar-benar peduli. Kepunahan tidak selalu datang dalam bentuk pembubaran, seringkali ia hadir sebagai ketidakminatan yang sunyi. IPM harus memilih untuk membangun nilai jual yang ideologis dan berdaya, atau perlahan menua dalam stagnasi yang kita anggap setia.
- Penulis adalah Harish Ishlah, Anggota Bidang Perkaderan PP IPM.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.



































