IPM.OR.ID., Yogyakarta – Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) mengadakan Bedah Film Demi Nama Baik Kampus yang merupakan salah satu rangkaian parade 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Kegiatan ini dilaksanakan pada Selasa (26/11/2024) di Gedoeng Muhammadijah, Yogyakarta.
Film ini menceritakan seorang mahasiswi yang ingin bimbingan tugas akhir namun mendapat pelecehan dari dosennya. Korban mengalami tekanan dan juga trauma hingga hampir bunuh diri. Namun, sahabatnya mampu membantu ia pulih.
Di dalam film, awalnya mereka mengadukan kasus ini ke rektor dan dipertemukan kepada pelaku. Namun, justru rektor tak percaya dengan mereka dan lebih percaya pada pelaku karena statusnya sebagai dosen yang banyak menyumbang prestasi. Lebih lanjut, film ini menceritakan bahwa telah terjadinya relasi kuasa antara korban dan pelaku yang menyebabkan diskriminasi dan juga ketimpangan, sehingga hilangnya keadilan bagi korban.
Sekretaris PP IPM Bidang KDI Jauzi Sandiah mengatakan bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah domestik, publik, maupun dalam kebijakan negara, berakar pada bias sosial yang telah lama mengakar.
“Perempuan disubordinasi sedemikian rupa, perannya dibatasi, dan kerap diposisikan sebagai warga kelas dua. Pandangan ini tidak hanya meminggirkan suara perempuan, tetapi juga memperkuat stereotiype yang menjustifikasi ketidakadilan sebagai sesuatu yang kodrati,” jelas Jauzi.
Menurut Jauzi, konstruksi sosial semacam ini tidak berdiri sendiri. Kontruksi sosial itu dibentuk dan dilanggengkan oleh relasi kuasa yang kompleks, melalui tradisi, kesalahpahaman terhadap agama, ketidakadilan hukum, dan sistem pendidikan yang timpang.
“Film pendek Demi Nama Baik Kampus garapan Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek RI memberikan gambaran tajam tentang bagaimana relasi kuasa ini berperan dalam menormalisasi kekerasan terhadap perempuan,” ujar Jauzi.
Jauzi menjelaskan bahwa film Demi Nama Baik Kampus adalah film edukasi yang jauh dari kesan klise. Alurnya tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga memberikan panduan konkret tentang bagaimana menjadi pembela keadilan dari berbagai sudut pandang.
Film ini layak ditonton oleh siapa pun yang peduli pada keadilan dan berkomitmen terhadap perubahan sosial. Film ini diambil sebagai medium pemaparan realita ketidakadilan bagi korban pelecehan seksual di instansi pendidikan.
Ketua Umum PP IPM Riandy Prawita mengatakan bahwa setelah diadakannya bedah film ini, harapannya para pelajar sadar bahwa di instansi pendidikan kita masih banyak perilaku asusila serupa.
“Tugas kita sebagai kader Muhammadiyah adalah terus melebarkan sayap dakwah bagaimana mengatasi dan juga mencegah hal ini agar tidak semakin banyak terjadi,” ujarnya. *(Mahda)