Indonesia diberkahi populasi pelajar mencapai 28 juta orang yang berarti 9% dari total populasi penduduk Indonesia. Dalam jumlah itu, selain kebutuhan terhadap adanya patron inspiratif, melekat pula goresan pengharapan akan hadirnya wakil di sekeliling Presiden yang dengan siap sedia memperjuangkan hak-hak pelajar. Kehadiran adanya wakil atau wujud yang merepresentasikan pelajar menjadi penting untuk perkembangan pelajar. Sebab pada akhirnya, pelajar sebagai kelas terdidik secara terus-menerus harus menjadi komunitas pembelajar (a learning community).
Berbicara mengenai representasi sebenarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai menghadirkan yang tidak hadir. Bisakah pelajar memiliki wakil dalam pemerintahan? Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menyebutkan dengan istilah ‘peserta didik’ adalah mereka yang berusaha untuk mengembangkan potensi melalui jalur Pendidikan dalam tingkatan, jalur, dan jenis tertentu. Artinya jika memakai kerangka Howe & Strauss (2000) pelajar/peserta didik memiliki irisan dengan milenial.
Tatkala Presiden memilih generasi muda untuk menjadi stafsus milenial, konsekuensinya yang mengikutinya adalah mereka juga wakil pelajar/peserta didik. Maka sejatinya stafsus merupakan representasi mengenai klaim-klaim representasi non-elektoral yang berupaya menjawab persoalan representasi tanpa melalui proses politik formal (pemilu).
Viera dan Ruciman dalam Representation yang diterbitkan oleh Cambridge: Polity Press ketika berbicara mengenai representasi maka ada tiga konsep yang mengikutinya, pertama, pictorial representation, mereka yang dipilih untuk mewakili harus menyerupai yang diwakilinya. Kedua, theatrical representation, wakil yang terpilih harus menafsirkan, berbicara dan bertindak untuk pihak yang diwakilinya. Ketiga, juridical representation, wakil yang terpilih harus bertindak atas nama yang diwakilinya dengan persetujuan demi kepentingan bersama.
Prasyarat Representatif
Sebenarnya, orang-orang yang terpilih menjadi stafsus milenial, mereka itu orang-orang keren. Tapi barangkali birokrasi bukan lapangan yang baik buat mereka untuk bertiki-taka jika merujuk pada konsep Viera dan Ruciman, mereka tidak cukup representatif. Ya, karena untuk representatif, kita butuh orang yang berada di sekeliling Presiden yang paham keadaan sehingga gagasan yang muncul berorientasi pada solusi untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan.
Mengutip ulama Muhammadiyah Prof. Dr. Hamim Ilyas menyatakan untuk menjadi a learning community, dibutuhkan orang yang memiliki pengetahuan secara komprehensif (berwawasan bidang kehidupan), kohesif (utuh dan terpadu), praktis (bisa dilaksanakan), terukur, dan fungsional (meninggikan peradaban). Itulah kualifikasi yang harus ada pada staf khusus milenial jika milenial ingin menjadi masyarakat pembelajar. Maka tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya tentang stafsus milenial (https://ipm.or.id/disfungsi-staf-khusus-milenial-jokowi-harapan-yang-menjadi-sorotan/)
Bagaimana jika orang-orang dibawah ini menjadi stafsus milenial Presiden? Apakah mereka cukup representatif bagi pelajar dan memiliki kemampuan untuk memberikan alternatif solusi masalah pelajar di meja Presiden?
Arief Rosyid
Arief Rosyid bukan orang baru dalam organisasi kemahasiswaan dan pemuda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia menempuh pendidikan sarjana di Universitas Hasanudin, Makasar. Kegiatan di HMI berlanjut saat dia melanjutkan studi di Magister Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia pada 2011-2014. Arief didapuk menjadi Ketua Umum HMI periode 2013-2014 pada kongres ke-28 di Jakarta. Bakat entrepreneurship juga mengantarkannya menggeluti dunia usaha. Mantan Ketua PB HMI itu kemudian didapuk menjadi Ketua Departemen Kaderisasi Pemuda Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Faldo Maldini
Faldo Maldini menempuh pendidikan sarjana di Universitas Indonesia, kemudian mendapat beasiwa ke Inggris untuk menempuh pendidikan master di Imperial College London. Pulang ke Indonesia berkiprah sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Partai Amanat Nasional, dan kini sebagai ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia Sumatra Barat. Faldo merupakan pendiri portal pulangkampuang.com yang bertujuan menyatukan orang Minang yang ada di rantau dan di kampung (Sumatra Barat). Portal ini sebagai wadah Gerakan unutk kontribusi urang awak yang berjuang di daerah rantau maupun di Ranah Minang.
Fahd Pahdepie
Fahd Pahdepie merupakan seorang penulis, pengusaha, sekaligus aktivis. Fahd adalah salah satu dari 20 pemimpin muda berpengaruh versi Australia-ASEAN Emerging Leaders Program. Fahd juga Peraih Australia Alumni Award 2017 yang fotonya dipampang di Menzies Building, Monash University. Pada tahun 2018, Fahd juga dianugerahi Alumni Achievement Award (AAA) oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selain itu, Fahd merupakan penulis buku best seller yang tulisannya digandrungi oleh anak-anak muda. Dulunya Fahd belajar Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pendidikan master diraihya di Monash University, Australian dengan bidang yang sama. Untuk memparipurnakan pendidikannya, Fahd kini mengambil Pendidikan doktor di Universitas Indonesia bidang Manajemen.
Dyah Puspitarini
Dyah Puspitarini merupakan Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah periode 2016-2020. Peran penting Dyah di Nasyiatul Aisyiyah adalah kelas parenting yang ditujukan untuk memberikan pendidikan parenting bagi orangtua dalam mendidik anak. Nasyiatul Aisyiyah menjadi leading organisasi perempuan dalam pemberdayaan perempuan. Dyah selalu menitikberatkan bahwa perepuan yang maju, bukan hanya bagus dalam hal intelektual tetapi juga spiritual. Kepemimpinan Dyah yang amat concern terhadap pendidikan anak barangkali dipengaruhi oleh pendidikannya sebagai Magister Manajemen Pendidikan.
Dedek Prayudi
Dedek Prayudi atau biasa dipanggil Uki menempuh Pendidikan sarjana di Wellington, Selandia Baru. Tak cukup menempuh Pendidikan sarjana, Uki mendapatkan beasiswa master di Stockholm, Swedia. Sepulang bersekolah dia pernah bekerja di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, United Nations Population Fund (UNFPA). Uki juga membentuk wadah bagi anak muda yang dapat dijadikan platform untuk berkarya dan menyuarakan pentingnya menghormati perbedaan da merawat toleransi. Wadah tersebut dinamakan 4.20 Society yang berslogan Respect Differences, Enjoy Tolerance. Kini Uki terjun ke Partai Solidaritas Indonesia sembari menempuh Pendidikan doktor di Universitas Indonesia bidang kesejahteraan sosial.
Ai Fatimah Nu Fuad
Fatimah merupakan pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka). Beliau alumni Al-Azhar, Mesir sekaligus meraih gelar doktor di University of Leeds, Inggris. Kiprahnya dalam dunia akademik dan sosial tak perlu diragukan lagi. Banyak buku dan juga tulisan yang telah diterbitkan oleh beliau. Pun juga aktifitas sosialnya di Aisyiyah merupkan kontribusi kongkrit bagi masyarakat. Fatimah bisa menjadi salah satu opsi staf khusus milenial bidang keagamaan.
. . . .
Sekalipun belum teruji dalam ranah birokrasi, orang-orang di atas merupakan bagian dari milenial yang memiliki reputasi baik dalam bidangnya masing-masing. Tidak salah jika kita beranggapan bahwa temporalitas stafsus milenial bisa di-cut, tinggalkan yang sudah ada. Kita bisa membangun yang lebih hebat di masa mendatang, yang lebih kontributif bagi perkembangan pelajar. Pemberdayaan pelajar adalah kunci. Kita butuh Stafsus milenial terbaik untuk menciptakan perubahan bagi pelajar dimulai dari hari ini atau tidak selama-lamanya. Change starts here.
*) Catatan:
- Penulis adalah Hilal Fathurrahman Ketua PP IPM Bidang Kajian dan Dakwah Islam
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.