Sewaktu menjadi ketua tim materi Muktamar XX IPM di Samarinda tahun 2016, suatu hal yang paling penting bagi saya pribadi adalah mendorong IPM terlibat dalam diskusi-diskusi yang lebih luas. Ini ambisi pribadi, tapi bagi saya, inilah saatnya untuk mengekspresikan semua perkembangan yang saya amati dan pelajari selama sepuluh tahun menjadi pegiat IPM. Saya berusaha membawa IPM ke ranah yang lebih luas, mengingat sudah delapan belas tahun rezim otoriter tumbang, otonomi gerakan-gerakan pelajar perlu dipertajam dan tidak selalu harus tunduk dengan agenda pembangunan sosial politik neoliberal. Inilah suatu niat yang sangat personal, tapi tidak mungkin terelakkan. Tulisan ini secara ringkas akan merefleksikan kembali situasi-situasi selama merenungi materi Muktamar XX, dan bagaimana IPM di Muktamar berikutnya melakukan lompatan yang lebih baik dan signifikan.
Materi Muktamar XX sebagaimana dapat dibaca, mendokumentasikan beberapa diskusi; literasi, ekologi, dan pendampingan teman sebaya. Saya akan menyinggung yang pertama adalah tentang Agenda Aksi Pro-Ekologi. Tiga hal pokok tersebut sudah pernah kami angkat selaku pengurus pimpinan pusat saat Konpiwil di Surabaya. Sayang sekali, karena kesalahan fatal menggunakan diksi “pembangunan berkelanjutan”, maka materi tentang ekologi menjadi ditafsirkan bagian dari agenda IPM menerima skema-skema IMF. Perlu diakui bahwa penggunaan diksi “pembangunan berkelanjutan” memang sejak awal tidak saya terima sebagai ketua tim materi konpiwil. Alasan keberatan saya terletak pada terlalu dekatnya diksi tersebut dengan program-program global dengan dana melimpah. Sebaliknya, IPM sama sekali tidak berada dalam posisi yang beruntung dengan kehadiran istilah tersebut. Istilah itu akhirnya bisa diterima dengan alasan mempermudah fokus topik, sekaligus menunjukkan bahwa IPM juga hendak terlibat dengan narasi-narasi global. Saat sidang komisi C di muktamar XX, Agenda Aksi pro-ekologi hendak dihapus oleh sebagian kecil perwakilan pimpinan wilayah (PD IPM Kota Makassar) dengan alasan bahwa gerakan ekologi tidak penting bagi gerakan pelajar. Mereka hendak menggantinya dengan agenda aksi Media Syar’i, yang lebih kontekstual dengan literasi media. PD IPM Kota Yogya waktu itu bersikap abstrak dan tanpa resolusi untuk diskusi tersebut. PD IPM Kota Surabaya, IPM Medan, IPM Lampung, dan IPM Palembang menerima agenda aksi pro-ekologi. Sebagian lain, mungkin karena keterbatasan waktu, tidak sempat mengemukakan pendapat masing-masing.
Agenda aksi pro-ekologi masih menuai resistensi, terutama dari minoritas pimpinan wilayah di media sosial (Instagram) dengan menyatakan bahwa agenda aksi tersebut tidak berkaitan dengan “kepentingan pelajar”, sambil mencontohkan bahwa eksploitasi batu kapur di Jawa Tengah diperlukan untuk mensukseskan pembangunan. Selain penolakan-penolakan minor tersebut, saya justru melihat bahwa agenda aksi pro-ekologi tumbuh subur di tingkatan ranting hingga daerah (misalnya mencakup secara spesifik atau meluas dengan menyebut beberapa tempat; Gunungkidul, Kulonprogo, Gresik, Surabaya, Lampung, Medan, Palembang, Kalimantan). Bukan sesuatu yang mengejutkan bahwa agenda aksi ini begitu penting bagi pegiat IPM untuk mendinamisasi narasi-narasi partisipasinya dan koheren dengan diskusi nasionalisme dan keagamaan. Satu hal yang ingin saya katakan adalah bahwa dalam materi muktamar sangat penting untuk mengangkat suatu persoalan yang benar-benar penting bagi perjuangan gerakan pelajar muslim. Muktamar adalah representasi proses demokrasi penting bagi IPM, tempat di mana berbagai diskusi seharusnya diolah dengan pikiran terbaik dan bergagasan penting. Secara luas, muktamar IPM adalah arena kontestasi demokrasi pelajar yang masih dapat diandalkan. Saatnya anak muda muslim menggunakan forum-forum besar untuk memulai gagasan-gagasan besar. Kuncinya tentu saja adalah membaca.
IPM sebagai Anak Muda yang Bicara Narasi Emansipatif
IPM harus melibatkan diri dengan narasi-narasi emansipatif. Sejak awal, ketika diberi amanah untuk mengolah materi muktamar XX, visi semacam itulah yang membawa saya ke pekerjaan membaca berbagai praktik emansipatif gerakan sosial di Amerika Latin, Maroko, Mesir, Prancis, Thailand, dan secara lokal di beberapa tempat di Indonesia. Saya menghabiskan waktu untuk mempelajari apa saja yang didiskusikan oleh gerakan-gerakan. Saya juga membaca buku Political Process and the Development of the Black Insurgency 1930-1970 yang ditulis oleh Doug McAdam, Di Bawah Tiga Bendera Benedict Anderson, Sejarah Gerakan Perempuan Cora Vreede-de Stuers, GreenDeen Ibrahim Abdul-Matin, Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta novel pendek karangan Luis Sepulveda untuk kepentingan perspektif ekologi, dan beberapa buku lain yang memenuhi tas saya. Selama masa-masa membaca itu, tentu saja, sebagai aktivis IPM, saya harus mengerjakan hal lain. Begitu juga dengan keterlibatan saya di Rumah Baca Komunitas. Sembari membaca, saya membuat tulisan-tulisan respon yang akhirnya saya jadikan bahan dasar untuk menulis buku Melampaui Kritis (diterbitkan tepat saat Muktamar XX). Ide-ide yang saya peroleh saya presentasikan di diskusi-diskusi dengan mahasiswa, HMI, PMII, dan IMM, sebelum saya matangkan draft-nya untuk kebutuhan tim materi muktamar IPM.
Tentu saja dalam proses menemukan narasi-narasi emansipatif, saya belajar dari komunitas-komunitas yang saya ketahui. Komunitas-komunitas ini pada umumnya dikelola oleh anak muda, dan berproses dengan realitas sosial kelompok marjinal, atau menekuni isu-isu ekologi alternatif. Saya mempelajari bagaimana komunitas-komunitas anak muda ini begitu bertenaga dalam memformat narasi-narasi emansipatif pada empat topik; literasi, ekologi, gender, dan media-edukasi.
Proses membaca, belajar, dan menemukan praktik-praktik emansipatif membawa saya pada dua hal pokok, yakni emansipasi perempuan, dan gerakan ekologi. Dua hal itu tidak terelakkan lagi begitu sentral dalam gerakan komunitas kontemporer. Sejak bidang Ipmawati dihapus di Muktamar XIX di Jakarta, bagi saya dan tim materi penting untuk dihadirkan kembali. Alasannya jelas bahwa bidang ipmawati tidak sekedar sebuah bidang, melainkan suatu bentuk afirmasi politik keberpihakan IPM. Lagipula selama mempelajari diskusi penghapusan bidang Ipmawati, saya tidak menemukan narasi penolakan apapun yang rasional dan tepat untuk mendukung penghapusan bidang Ipmawati. Sebaliknya, justru penghapusan bidang itu menunjukkan bahwa minat baca pegiat IPM pada topik gender (termasuk juga ekologi) begitu kurang dan kering. Selama ini mereka fokus untuk topik-topik besar dan abstrak seperti proteksi moral bagi pelajar, seruan moralitas, transparansi organisasi, dan berkaitan dengan diskursus keislaman tahun 60-an soal Islam, Negara, dan anak muda. Secara keseluruhan, terputus dengan ramainya diskusi sosial IPM rentang tahun 1998-2010, dan kembali konservatif setelah itu. Kendati demikian, selama pasca reformasi, IPM selalu melibatkan diri sebagai “massa besar”.
Takdir IPM Pasca Muktamar XX
Mengapa saya menulis tentang takdir IPM pasca Muktamar XX? Alasan sebenarnya adalah bahwa pasca Muktamar XX, perubahan-perubahan penting akan menandai era baru IPM sebagai gerakan pelajar, entah apakah akan berfungsi tradisionalis sebagai gerakan pelajar atau menjadi bagian dari gerakan sosial. Mengapa itu memungkinkan? karena pegiat IPM di tingkat wilayah dan daerah sekarang sebagian besar berasal dari generasi yang lebih muda (18-21 tahun). IPM di Muktamar berikutnya (terutama tim materi) harus berpikir bahwa materi Muktamar tidak sekedar katalog isu dan media rekomendasi perubahan organisasi, melainkan suatu cara merawat supaya aktivis IPM tetap terikat dengan perubahan sosial, dan secara sadar mengambil bagian untuk mentransformasi situasi sosial ke keadaan yang semakin egaliter dan emansipatif. Jika tidak, maka besarnya jumlah pegiat muda di IPM akan terseret diskusi-diskusi konservatif, menjadi alat politik kekuasaan elektoral nasional, dan melahirkan suatu generasi ultra-kanan yang bersikap ekstrim terhadap proses demokratisasi kehidupan sosial. Tentu saja dengan memperhatikan kecenderungan politik global hari ini, kaum muda muslim menjadi bagian penting dari proses transformasi sosial yang emansipatif, entah melalui media apapun. Takdir IPM secara keseluruhan terletak pada kondisi ini.
*) Penulis adalah Fauzan Anwar Sandiah. Personalia PP IPM Periode 2014-2016 sekaligus berperan sebagai Ketua Tim Materi Muktamar XX IPM di Samarinda, November 2016.