ipm.or.id – Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani yakni pedagogi, merujuk pada aktivitas sekelompok orang yang tugasnya menemani para pembelajar muda dalam bidang atletik, sastra, musik, dan etika. Hanya saja, istilah pendidikan pada dasarnya memiliki perluasan maknanya sendiri. Di Indonesia, sedikitnya ada tiga pandangan paradigma besar yang mewakili ekspektasi mengenai arah pendidikan nasional. Pertama, adalah kelompok Murdochian yakni mereka yang percaya bahwa pendidikan harus mengindahkan hukum intrinsik pengajaran, dan sepenuhnya memberlakukan seleksi melalui mekanisme “kesamaan kesempatan” (equality of opportunity).
Kelompok Murdochian pada umumnya menolak penerapan sekolah komprehensif yang memberlakukan siswa-siswa ke dalam model anti-seleksi (equality). Menurut kelompok Murdochian, sistem pendidikan pada dasarnya harus dijalankan melalui mekanisme “kesamaan kesempatan” sehingga siswa diberi kesempatan untuk memilih daripada sekedar diperlakukan sama sebagaimana dalam sekolah komprehensif yang menggabungkan antara anak dengan minat atau bakat musik belajar setara dengan anak atletik renang.
Kedua, adalah kelompok Jacototian-Freirean, yakni mereka yang percaya bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan proses mengemansipasi manusia. Kelompok Jacototian bertumpu pada premis bahwa siswa pada dasarnya memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa bantuan guru. Kelompok pendidik ala Jacotitan menolak prinsip “penjelasan” (la vivre) dalam proses belajar-mengajar. Bagi mereka, siswa merupakan subjek yang memiliki kemampuan belajar alamiah-universal yang tak selalu harus dibimbing oleh berbagai materi. Kelompok Jacototian pada dasarnya berkembang cukup pesat di Indonesia, melalui inisiasi-inisiasi kelompok belajar non-formal atau pun informal. Dinamika gerakan sosial juga memberi karakteristik tertentu bagi pengembangan-pengembangan pemikiran pendidikan kelompok ini.
Pada praktiknya terdapat sejumlah pendidik progresif semacam Ahmad Dahlan di awal abad 20, yang juga mempraktikkan model pendidikan modern dengan nasionalisme awal sebagai contoh pendidikan emansipatif.
Model inisiasi gerakan pendidikan ini merupakan sebuah fase khas dalam perjalanan pemikiran dunia pendidikan di Indonesia yang sebelumnya telah banyak berkelindan akibat epengaruh kontak-kontak globalisasi klasik. Maka salah-satu jalan yang meskipun problematis dan penuh bias, pada akhirnya adalah dengan memberi kategori bebas bagi kehadiran jenis kelompok ketiga. Dengan beberapa alasan teoritis dan praktis, kelompok ketiga merupakan perpaduan dari transisi antara praktik mengajar yang dijalankan dengan pemahaman bahwa pengajaran terjadi dalam mekanisme “alamiah-universal” sekaligus pengajaran sebagai sarana memupuk nasionalisme anti-kolonial.
Reformasi Pendidikan
Kajian mengenai sistem pendidikan di Indonesia selalu menjadi perbincangan yang hangat, meskipun apa yang dibahas sebenarnya tidak akan bergerak jauh untuk beberapa saat. Di Indonesia ada kecenderungan bahwa kebijakan pendidikan nasional mau tidak mau banyak dipengaruhi kultur ekonomi-politik yang tengah berjalan. Tidak dapat disangkal bahwa pangkal utama reformasi pendidikan bergantung pada konstelasi yang berubah atau tidak dari kultur ekonomi-politik.
Perubahan-perubahan sosial sedikit banyak berhubungan dengan kenyataan bahwa basis kesejahteraan telah menjadi tantangan bagi pemerataan kesempatan pendidikan. Reformasi dunia pendidikan pada dasarnya sederhana secara praktis; aksi pemberantasan buta huruf, subsidi perpustakaan, laboratorium untuk riset-riset ilmiah, dan pembangunan sarana kebudayaan.
Kebijakan pendidikan yang sejak awal tidak ditujukan sebagai upaya penemuan identitas akan menjadi masalah. Ilustrasinya sudah terbukti dari perubahan-perubahan arah pendidikan di berbagai belahan dunia pada pertengahan abad 20. Nalar disipliner, yang kemudian diikuti oleh formasi intelektual dalam profesionalisme, yang menyebabkan terhambatnya interaksi atau kolaborasi pengembangan isu-isu penting turut menjadi penyebab mengapa solusi-solusi kebijakan pendidikan kita teramat praktis hingga tak nyaris tak kontemplatif. Akhirnya publik menjadi begitu kuat dalam memperdebatkan persoalan tersebut tanpa mau berpikir bahwa dirinya turut melanggengkan durasi problematika pendidikan.
Misalnya dengan mengamini CSR (Corporate Social Responsibility) dari korporasi yang merusak lingkungan dan mengancam eksistensi kultur adat menjadi donatur program-program pendidikan “alternatif”. Contoh lainnya adalah dengan keengganan mempelajari secara memadai inisiasi-inisiasi sederhana komunitas yang bergerak dalam dunia pendidikan.
Jadi bagaimana caranya sebuah reformasi pendidikan dapat didorong?. Pertama adalah dengan memberi posisi praktis akan dependennya sistem pendidikan nasional atas kebutuhan industri yang sebenarnya tumbuh dalam suasana penuh hegemoni dan spekulatif.
Dalam hal ini, kita tidak bisa lagi mendekatkan jarak orientasi pendidikan pada kebutuhan industri yang pada suatu saat dapat mengubah iklimnya sendiri. Kedua, negara harus mampu memberi proteksi bagi perkembangan sekolah swasta (non-government school) yang sebenarnya memiliki daya-jangkau luas, sekaligus karena berpotensi mengelola pendidikan berbasis komunitas. Jalan kedua ini, merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan karena kesadaran berkomunitas di Indonesia beberapa tahun belakangan menguat dan semakin kreatif. Proteksi negara dilakukan dalam rangka memberi jaminan atas keberlangsungan pendidikan yang harus menjawab kebutuhan industri. Ini adalah sebuah upaya mengapresiasi keragaman konsep-konsep pendidikan yang tumbuh subur dalam sosiologi masyarakat Indonesia.
Ketiga, reformasi pendidikan sebenarnya dapat dijalankan dengan memperhatikan kembali makna sinkronisasi antara kebijakan sistem pendidikan dengan berbagai kebijakan-kebijakan lain yang harusnya dilandasi oleh semangat besar memperbaiki arah pendidikan. Meskipun kita mencoba menghindari sudut pandang yang melihat bahwa kebijakan pendidikan akan memainkan peran dominan dalam masa depan, secara umum tidak semua orang juga siap untuk benar-benar lepas dari konteks ini. Maka sangat penting untuk memperhatikan kontak komunikatif antara berbagai dimensi yang selama ini kepalang tanggung dipahami relasinya misalnya antara negara dan masyarakat.
Peran dominan negara lebih disebabkan karena posisinya tak banyak berubah sebagai penentu kondisi politik bagi arah pendidikan sekaligus pembantu investasi pembangunan infrastruktur pendidikan.
Reformasi pendidikan harus sadar betul bahwa konteks ini tak banyak bergerak sejak terjadinya masa transisi demokrasi Indonesia pada tahun 1998. Di sisi lain, secara umum ada ketergantungan pada pola penerimaan pemasukan negara melalui pinjaman dan bantuan internasional, atau investasi bidang migas. Posisi non-negara (civil society) bagi reformasi pendidikan selama ini dijalankan melalui pemanfaatan partisipasi politik parlemen untuk mengajukan draft. Intinya semacam komunikasi demokratis. Kendati demikian, di luar itu, sangat memungkinkan bagi non-negara untuk membangun inisiasi sembari memikirkan jalan keluar bagi dependennya posisi non-negara melalui relasi politiknya dengan negara. Setidaknya kita masih mungkin mencoba sembari berharap peruntungan bagus bagi reformasi pendidikan.
Kebijakan Full Day School
Kebijakan Full Day School yang akhir-akhir ini menjadi ramai dibicarakan justru membuat riak bertambah besar, dan kita secara substantif kehilangan cermin yang baik pada air yang tenang. Alasannya paling tidak karena tiga hal utama. Pertama, kebijakan Full Day School melibatkan diskursus dalam dua dimensi yang seringkali (seharusnya) berhubungan tapi nampak tak berkaitan yakni antara pandangan paradigma pendidikan dan arah reformasi pendidikan. Dalam dua konteks ini, kita tengah terjebak pada pencampuradukkan yang dilematis. Kebijakan Full Day School¸ jelas-jelas merupakan sebuah sekuensi panjang dari pandangan yang secara hegemonik begitu dominan dalam paradigma pendidikan, jadi memiliki posisi yang begitu teknis.
Kedua, kekecewaan politik telah menjadi motivasi instrinsik yang dicampuraduak dengan dalih-dalih teoritis dan sangkaan yang ambigu sekaligus naif. Apalagi sampai dianggap sebagai “bias kultur masyarakat urban” yang sebenarnya secara naif menganggap batas-batas urban-sub-urban secara ril tengah terjadi lebih dari satu abad setelah ditemukannya mesin uap dan kapitalisme-cetak. Apalagi jika memberi kaitan antara kebijakan Full Day School dengan pembentukan paham “radikal” yang menjadi lawan dari program “bela negara”. Keambiguan semacam ini telah mengaburkan pangkal persoalan utama.
Ketiga, mengkritik kebijakan Full Day School tidak identik dengan upaya yang serius atas reformasi pendidikan. Tujuan reformasi pendidikan pada dasarnya adalah membebaskan narasi-narasi kekerasan direproduksi dalam institusi pendidikan, sekaligus dalam rangka mengapresiasi keberagaman mode belajar alamiah karakter manusia Indonesia.
Secara teknis, model apa saja dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang memadai. Kendati demikian, arahnya tetap saja harus di mulai dengan mengagendakan reformasi pendidikan. Mengkritik kebijakan Full Day School sembari menyusupkan basis suprastruktur yang keliru justru membawa hambatan-hambatan baru bagi jalan reformasi pendidikan. Dengan membasiskan pada pembentukan kesadaran akan keadilan dan emasipasi, kritik atas kebijakan Full Day School akan menjadi lebih bermakna.
Terutama, jika mengingat bahwa diskursus soal pendidikan ini akan berkaitan langsung dengan masa depan manusia dan secara tak langsung menjadi apa yang disebut sebagai kondisi “terberi” bagi kehidupan awal manusia.
*) Penulis adalah Fauzan Anwar Sandiah, Anggota PP IPM Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan