Dalam sejarah pendidikan Indonesia, Peorbakawatja (1968), mencuatkan tiga tokoh sebagai perintis, yakni: KH.Ahmad Dahlan (1868- 1923) via Persyarikatan Muhammadiyah (18 November 1912); KI Hadjar Dewantara (1889 – 1959) via Perguruan Taman Siswa (1922): dan M. Sjafei (1893-1951) via INS Kayutanam di Sumatera Barat tahun 1926. Diantara ketiga sosok tersebut, sosok KH. Achmad Dahlan kerap terpinggirkan dalam ingatan kolektif bangsa dalam konteks kesejarahan pendidikan di Indonesia. Bila ditinjau secara historis, Muhammadiyah adalah pelopor pendidikan modern pribumi yang paling pertama dan progresif. Hal ini tak lepas dari buah pemikiran mendalam KH.Achmad Dahlan terhadap kejumudan umat Islam Indonesia saat itu. Ia, dihadapkan dengan fenomena umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia namun, kehilangan semangat dan nilai-nilai keagamaan (Islam). Lalu bagaimanakah pendidikan berkemajuan menurut KH. Ahmad Dahlan?
Pendidikan Berkemajuan dan Pergumulan Pemikiran Kyai Ahmad Dahlan
Berpijak dari persoalan-persoalan krusial yang menimpa umat Islam Indonesia. KH. Achmad Dahlan meng-ijtihadi (melakukan pembaharuan) melalui pendidikan yang ia sebut, progresif atau berkemajuan. Gagasan pendidikan yang ditawarkan KH.Ahmad Dahlan berupa “sosial-pedagogik” atau pedagogik sosial untuk melawan formalisme dan konservatisme Islam. Pendidikan berkemajuan berupaya menggunakan nilai-nilai agama (Islam) untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang diarahkan bagi individu, sosial berkelanjutan serta berusaha aktif melakukan perbaikan kehidupan. Melalui uraian tersebut dapat disimpulkan pondasi pendidikan berkemajuan yakni agama.
Teori pendidikan berkemajuan KH. Ahmad Dahlan boleh dikatakan menjadi sebuah teori yang unik, meskipun ada juga tokoh dunia yang mencetuskan teori pendidikan progresif yakni John Dewey (1859 – 1952). Kendati demikian, pondasi pemikiran keduanya berlainan, sebab, John Dewey berlandaskan dari filsafat kehidupan sosial empirik, sedangkan K.H Achmad Dahlan berlandaskan dari agama.
Kunci Pendidikan Progresif KH. Ahmad Dahlan
Ada tiga konsep kunci pendidikan progresif dalam pemikiran KH. Achmad Dahlan yakni: akal, pengamalan, dan berkemajuan. Dimensi pertama, akal, menurut KH.Achmad Dahlan, akal memiliki watak menerima hal-hal yang suci dan bersih berupa ilmu pengetahuan. KH. Achmad Dahlan berujar.
“Watak akal itu menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal, sebab akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapat tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disirami secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaanya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan kesemuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa”.
Akal oleh KH. Achmad Dahlan diqiyaskan (analogi) serupa biji yang terbenam dalam tanah. Ia, akan tumbuh dan berkembang bila dirawat, dijaga, dan disiram. Akal pun demikian, ia mesti di siram dengan pendidikan. Akal juga menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Melalui akal, manusia mampu menguraikan masalah dalam kehidupan manusia sehingga manusia dapat menatap masa depan. KH. Achmad Dahlan juga optimis bahwa melalui akal untuk berpikir, manusia dapat mengemban tugas kekhalifan sebagaimana telah menjadi Firman Allah. Dimensi kedua, adalah pengamalan, menurutnya pendidikan berangkat dari pengalaman, oleh pengalaman, dan untuk pengalaman. Secara epistemologi, pengetahuan merupakan produk dari pengalaman yang menggunakan metode saintifik. KH Achmad Dahlan berpandangan pengamalan (amal saleh) berfungsi untuk meningkatkan kualitas perbuatan sehingga lebih realistik. Sebagaimana hakikat pendidikan yang merupakan usaha untuk melahirkan perbuatan baik pada individu.
Representasi dari pentingnya pengamalan (amal saleh), dapat kita jumpai sebagaimana dalam novel Sang Pencerah (Basral, 2010; 337), episode “membahas kentut di Kweekschool”. Dalam peristiwa tersebut terdapat kejadian seorang siswa kentut di kelas. Lazimnya, seorang guru akan memarahi siswa bila berperilaku semacam itu, lain halnya KH. Achmad Dahlan. Alih-alih marah, justru ia mengajak berpikir dan berdialog agama kepada siswa, kemudian dielaborasi dari sudut pandang biologi. Contoh berikutnya yang popular yakni ketika mengajarkan surat Al-Maun. KH. Achmad Dahlan selalu menekankan untuk mengamalkan, bukan semata dihafalkan. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa dalam praktik pengamalan sebagai dimensi pendidikan progresif memerlukan interaksi sosial.
Dimensi ketiga, berkemajuan, KH. Achmad Dahlan selalu berujar kepada, murid-muridnya “dadijo kjai sing kemadjuan”. Artinya, jadilah kyai (ulama-intelektual yang berkemajuan (progresif). Kyai ataupun intelektual berkemajuan yakni ilmuwan yang mampu menangkap tanda-tanda zaman, membaca ke arah mana arus perubahan bergerak, sehingga tidak jalan di tempat. Kyai berkemajuan mampu mengantisipasi perubahan, dan mampu berpikir visioner. Dimensi berkemajuan dalam pendidikan juga memiliki korelasi dengan ajaran agama Islam. Apabila dipahami secara akal suci, agama Islam menstimulasi umatnya untuk berijtihad dan bekerja keras untuk memecahkan problematika kehidupan. Bila hendak diringkas, tujuan dari pendidikan berkemajuan KH Achmad Dahlan adalah pada pertumbuhan individu, moral dan sosial, atau dapat dijabarkan melahirkan manusia religius yang seluruh potensi pribadi dapat tumbuh secara bulat, bermoral tinggi, dan memiliki sikap sosial positif yang termanifestasi dalam bentuk aksi sosial memajukan kehidupan masyarakat.
Pandangan KH Achmad Dahlan Terhadap Peserta Didik
Achmad Dahlan memahami peserta didik sebagai pribadi yang aktif dalam mencari kebenaran dan memecahkan masalah kehidupan sosial umat Islam. Ia memposisikan peserta didik sebagai mitra dialog dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Sekilas, pola pendidikan KH Achmad Dahlan seperti mengamini pola Paulo Freire yakni pendidikan yang membebaskan. Peserta didik dalam pandangan KH Achmad Dahlan dan Paulo Freire adalah subjek pendidikan. Sehingga pendidikan akan memberikan kesadaran pada individu dan memberikan karakter. Praksis pendidikan progresif (berkemajuan) KH Achmad Dahlan harus menjadi “Ketentuan Sekolah Muhammadiyah” dalam hal kurikulum pendidikannya. Anasir ini sekiranya perlu diketengahkan dalam khazanah pendidikan Muhammadiyah, mengingat bahwa pemikiran tersebut memang tidak secara eksplisit dirumuskan oleh KH Achmad Dahlan. Melainkan melalui pengamatan, pengkajian dan penelaahan terhadap KH Achmad Dahlan dapatlah disimpulkan semacam itu. Hal ini pula yang mesti dijadikan pedoman bagi pelajar-pelajar Muhammadiyah agar memahami, menghayati serta mewujudkan pelajar yang sebagaimana di cita-citakan oleh KH. Achmad Dahlan.
- Penulis adalah Chubbi Syauqi. Pernah Menjadi Ketua Umum Pimpinan Ranting IPM SMK Muhammadiyah 1 Purwokerto periode 2016-2017. Penulis kini tengah melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto. Bisa terhubung melalui akun instagramnya @ syauqichubbi. Nomor Telepon (WA): 0858-7636-5662.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.