Paradigma Gerakan IPM: 3T

Paradigma Gerakan IPM: 3T

Beritablog
5K views
Tidak ada komentar

Paradigma Gerakan IPM: 3T

Beritablog
5K views

Pada tahun 70-an dan 80-an awal, terdapat stigma
yang dilekatkan kepada aktivis organisasi kepelajaran dan kemahasiswaan,
bahwa kebanyakan mereka adalah orang-orang yang suka membolos, prestasi akademik pas-pasan, pola hidup tak teratur, dan untuk mahasiswa masa studinya
panjang. Tak terkecuali aktivis IPM, yang kesemuanya pelajar di tingkat ranting, pelajar dan mahasiswa di tingkat cabang dan daerah, serta hampir semuanya mahasiswa di tingkat wilayah dan pusat.

Stigma tersebut bukannya tanpa alasan. Ketika saya menjadi Wakil Ketua Pimpinan Ranting SMA Muhammadiyah 1Yogyakarta misalnya, memang sering ijin tidak mengikuti pelajaran karena harus mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi yang diselenggarakan IPM sendiri maupun menghadiri undangan-undangan dari organisasi atau lembaga lain. Demikian halnya teman-teman yang lain, bahkan kantor IPM Ranting menjadi tempat yang seringkali tetap ramai pada jam-jam pelajaran.
Di tingkat daerah sampai pusat, prestasi akademik anggota pimpinan yang menjadi mahasiswa agaknya  kurang menggembirakan. Rata-rata waktu yang ditempuh untuk menyelesaikan studinya lebih lama. Hingga kepemimpinan Masyhari Makhasi (almarhum) pada periode 1983–1986, PP IPM masih didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang berusia di atas 25 tahun.
Teman-teman seangkatan saya di PW IPM DIY (periode 1983–1986), rata-rata menyelesaikan studinya juga dengan waktu tambahan. Sebut saja Eka Wuryanta (Ketua I), Agus Amarullah (Ketua II), Nurhayati (Ketua III),  Azwir Alimuddin (Sekretaris Umum), Wikan Eka Pramuji (Sekretaris I), M. Agus Syamsuddin (Sekretaris II), Syahrial Suandi (Bendahara), Noor Hurriyati (Wk Bendahara), Untung Cahyono (Dep. Dakwah), Ton Martono (Dep PIP), Marwati Abdullah (Dep. PIP), Kastian Indriawati (Dep. Ipmawati), Mahmudiah Firdiani (Dep. Ipmawati). Saya sendiri termasuk yang ditinggalkan teman-teman seangkatan, dan menyelesaikan S1 bersama dengan adik angkatan.
Aktif di organisasi pada masa-masa itu memang memberikan keasyikan tersendiri. Saya melihat teman-teman aktifis IPM sangat menikmatinya sehingga rela meninggalkan kegiatan-kegiatan lainnya, termasuk kegiatan studi, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi.  Apalagi tema-tema perjuangan yang bersifat ideologis, mampu membangkitkan semangat rela berkorban untuk kepentingan perjuangan. Salah satu bentuk pengorbanannya adalah terpaksamenyelesaikan studinya dalam masa yang lebih lama.
Ketika menjadi Ketua Umum PD IPM Kota Yogyakarta (1981–1983), pada tahun 1983 an saya mendapatkan pertanyaan dari Allahuyarham bapak Muhammad Djaziem, sekretatris PDM Kota Yogyakarta pada waktu itu, tentang bagaimana perkembangan studi saya di Fakultas Kedokteran. Agaknya beliau mengkhawatirkan studi saya karena hampir setiap hari melihat saya di kantor IPM yang kebetulan satu atap dengan kantor PDM, serta dalam berbagai kegiatan IPM dan Muhammadiyah. Belajar kedokteran memerlukan ketekunan luar biasa sehingga kalau sering ditinggal bolos, dapat dipastikan hasilnya tidak menggembirakan. Saya memang sedang dalam prestasi tidak baik waktu itu, nilai ujian banyak yang D dan E dengan Indeks Prestasi semester itu kurang dari 2. Namun jawaban yang saya berikan kepada beliau pada waktu itu adalah: “Belajar di Perguruan Tinggi seperti berada dalam menara gading yang belum tentu bermanfaat bagi perjuangan. Saya akan melakukan yang terbaik untuk perjuangan meskipun terpaksa tidak menyelesaikan kuliah”. Saat ini saya merasakan kekonyolan jawaban saya yang sepertinya menjadi sebuah pembelaan diri atas prestasi yang jauh dari “baik”. Pak Djaziem barangkali kecewa dengan jawaban saya tersebut, tetapi beliau hanya tersenyum sambil manggut-manggut dan berkata: “Sebaiknya nak Agus selesaikan dengan baik kuliahnya, nanti pasti bermanfaat untuk perjuangan!”.
Tingginya semangat berorganisasi dimanifestasikan pula dalam bentuk berkegiatan hingga jauh larut malam bahkan hingga lewat tengah malam. Tentu akibatnya dapat segera kita duga: jangankan melaksanakan shalat tahajud, shalat subuhpun sering kesiangan. Rapat-rapat di siang haripun kadang-kadang sangat mengasyikkan sehingga ketika adzan terdengar tidak segera menghentikan rapat dan bersegera shalat berjama’ah.
Kondisi para aktifis IPM tersebut tidak luput dari perhatian para Pemimpin Muhammadiyah. Allahuyarham Pak Muhammad Djasman Al Kindie misalnya, sering mengolokpara Pemimpin IPM dengan kalimat: Aktifis kok telat” Beliau juga sering bertanya kepada teman-teman anggota PP IPM: Kapan selesai kuliahnya?”
PP IPM periode kepemimpinan Masyhari Makhasi sebagai Ketua Umum dan Isma’il Ts Siregar sebagai Sekretaris Umum (1982–1985), sering bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Pak AR Fachruddin, pak Jarnawi Hadikusuma, pak Djasman Al Kindie dan lain sebagainya, untuk  mendapatkan bimbingan dan nasehat dari tokoh-tokoh penting Muhammadiyah tersebut. Pak Djasman yang disamping menjadi anggota PP Muhammadiyah juga menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, adalah tokoh Muhammadiyah yang sering mengingatkan teman-teman PP IPM untuk segera menyelesaikan studinya. Beliau berharap agar Perguruan Tinggi Muhammadiyah dipimpin oleh kader-kader yang sudah terbina dalam ortom yang memenuhi kualifikasi memimpin perguruan tinggi.
Para orang tua dan pendidik banyak yang memberikan nasehat kepada para aktifis organisasi untuk mengurangi aktifitas organisasinya dan lebih memperhatikan belajarnya. Orang tua saya termasuk yang mencemaskan pendidikan saya. Berkali-kali beliau menasehati untuk lebih fokus pada pendidikan tanpa harus meninggalkan organisasi sama sekali. Bapak saya (Drs H Affandi) adalah aktifis sekaligus tokoh Muhammadiyah sejak masih muda yang tahu betul kehidupan berorganisasi. Beliau tentu berharap, anaknya menjadi kader Muhammadiyah, tetapi dengan pendidikan yang baik.
Pola kegiatan dalam IPM serta kondisi internal organisasi yang mempengaruhi prestasi studi, pola hidup yang kurang teratur, dan kehidupan berorganisasi menjadi bahan perenungan teman-teman dalam berbagai kesempatan formal dan non formal pada periode kepemimpinan Masyhari Makhasi. Tokoh-tokoh PP IPM pada waktu itu antara lain Mas Haedar Nashir, Mas Hamdan Hambali, mbak Siti Noordjannah Djohantini, Mas Ismail Ts Siregar, Mas Sunardi, Pak Rofiq Handoyo, Pak Khoiruddin Bashori, Mas Ichwan Bagyo, Mbak Zumrochah, Mas Yususf A Hasan, Mbak Eko Rinianti, Mas Fuad Abdullah, Mas Hudiyanto, Kang Agus Kusnadi, Pak Setia Irianto, Mas Kasmir Tri Putra, Dik Noor Hurriyati, Mbak Nur Fadhliah. Saya sendiri menjadi anggota Departemen Kader merangkap sebagai Ketua Umum PW IPM DIY.
Beberapa pokok-pokok pikiran mereka antara lain:
1.       IPM merupakan organisasi dakwah di kalangan pelajar. Sebagai organisasi dakwah, semestinya apapun yang dilakukan IPM adalah untuk membina pelajar menjadi pribadi-pribadi muslim yang sebenar-benarnya: bertauhid murni, berakhlak mulia, beribadah dengan tertib, dan bermu’amalat duniawiyah sesuai ajaran Islam. Oleh karena itu sistem organisasi haruslah mendorong terlaksananya ajaran Islam dengan baik, khususnya  pelaksanaan ibadah mahdhah yang tatacara dan waktu pelaksanaannya sudah ditentukan. Muncullah tekad yang dirumuskan dalam kalimat: Kita harus tertib beribadah”
2.       Sebagai organisasi pelajar, IPM semestinya membina pelajar agar dapat menyelesaikan tugas belajar mereka dengan baik. Tugas utama pelajar adalah belajar. Oleh karena itu, sistem organisasi hendaknya menjamin semua aktifisnya dapat belajar dengan baik sehingga dapat menyelesaikan studinya tepat waktu dengan prestasi cemerlang. Muncullah tekad yang dirumuskan dalam kalimat: “Kita harus tertib belajar!”
3.       Sebagai sebuah organisasi, IPM haruslah menjadi organisasi yang solid dengan sistem yang baik, semua aktifitas dan dinamikanya diarahkan menuju terwujudnya tujuan IPM: “Terwujudnya pelajar muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi masyarakat, dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah”. Semua aktifisnya harus mau tunduk pada aturan-aturan organisasi yang telah disepakati, dan mensubordinasikan diri dalam organisasi. Muncullah tekad: Kita harus tertib dalam berorganisasi”.
“Tertib beribadah, tertib belajar, dan tertib berorganisasi” diformalisasikan menjadi bagian dari strategi perjuangan IPM yang kemudian dipopulerkan dengan istilah “Tri tertib” atau “3 Tertib”. Secara tidak langsung, strategi tersebut berdampak positif bagi upaya untuk mempersiapkan para aktifis IPM menjadi kader persyarikatan, kader ummat dan kader bangsa yang terbaik.

AKTUALISASI TRI TERTIB1.    Tertib Beribadah

Pengertian ibadah sangatlah luas, menyangkut semua upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya, meninggalkan larangan-larangan-Nya, serta senantiasa berbuat sesuai dengan syari’at-Nya. Ibadah ada yang umum dan yang khusus. Ibadah yang umum adalah segala perbuatan yang diijinkan syara’, sedangkan yang khusus adalah ibadah yang tatacara mengerjakannya telah ditetapkan dengan cara-cara yang khusus[1].
Dalam pengertian umum, ketertiban beribadah haruslah diaktualisasikan dalam bentuk menjalani kehidupan di dunia ini menurut yang dikehendaki ajaran Islam. Termasuk di dalamnya, hal-hal yang menyangkut keyakinan (aqidah), akhlak, ibadah (dalam arti khusus), dan mu’amalat duniawiyat. Tetapi dalam pengertiannya yang khusus, ketertiban beribadah diaktualisasikan dengan menjalankan ibadah seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majlis Tarjih sebagai cara yang paling rajih.
Ketertiban beribadah diawali dengan tertib shalat. “Shalat merupakan tiang agama, siapa yang menegakkannya berarti telah menegakkan agama, dan siapa yang merobohkannya, telah merobohkan agama”. Seseorang dinyatakan tertib shalatnya apabila cara melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAWsebagaimana diputuskan oleh Tarjih, di awal waktu, dan berjama’ah.
Sebagai aktifis IPM, melaksanakan shalat dengan tatacara sesuai putusan tarjih adalah salah satu bentuk loyalitas kepada Muhammadiyah. Meskipun ada tatacara lain yang boleh jadi benar, tetapi putusan tarjih adalah pilihan jama’i dalam Muhammadiyah yang seharusnya menjadi bagian dari identitas Anggota Muhammadiyah. Ada kesepakatan tak tertulis: yang mempunyai faham berbeda dengan putusan Tarjih, boleh diamalkan hanya dalam kehidupan pribadi dan tidak diajarkan kepada orang lain. Dalam Taruna Melati, materi ibadah praktis dimanfaatkan betul untuk membimbing dan meluruskan cara shalat (termasuk thaharah) sebagaimana diputuskan oleh Majlis Tarjih.  
Semangat tertib beribadah memunculkan kesadaran positif di kalangan tokoh-tokoh IPM untuk tidak lagi menunda shalat fardhu karena alasan apapun. Bila terdengar adzan, sepenting apapun rapat yang tengah berlangsung harus diskors untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengganggu pelaksanaan shalat fardhu, seperti rapat atau kongkow-kongkow sampai jauh larut malam yang dapat menyebabkan terlambat shalat subuh sedapat mungkin dihindari kecuali untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat emergency. Teman-teman juga saling memotivasi untuk meningkatkan stamina spiritual dengan membiasakan shalat tahajud, rawatib, dan dhuha.
Diawali dengan tertib shalat, dilanjutkan dengan menertibkan ibadah-ibadah lainnya sehingga mencapai derajat tinggi sebagai orang yang ta’at beribadah. Insya Allah inilah modal utama menjadi kader persyarikatan, kader ummat, dan kader bangsa yang dapat memperjuangkan tegaknya ajaran Islam.

2. Tertib Belajar

Belajar adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang yang beriman sebagaimana dituntunkan Rasulullah dengan sabdanya: Belajar (mencari ilmu) diwajibkan atas setiap mu’min laki-laki dan perempuan”.  
Cara IPM dalam mengaktualisasikan tertib belajar antara lain dengan:
·  Mendorong teman-teman memiliki kebiasaan belajar. Bila mereka yang tidak aktif di organisasi dapat tertib belajar pada waktu dan tempat yang sama setiap hari, para aktifis IPM dimotivasi untuk bisa belajar di mana saja, misalnya ketika menunggu rapat di kantor, di sela-sela mengisi acara Taruna Melati, dan kegiatan apa saja.
·    Melaksanakan diskusi-diskusi tentang cara belajar efektif.
· Memberikan toleransi kepada teman-teman yang sedang kuliah, praktikum, KKN,menghadapi  ujian, dan kegiatan-kegiatan akademik lainnya untuk tidak menghadiri rapat.
·    Menghindari waktu-waktu ujian untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan besar.
·   Mengoptimalkan hari-hari libur untuk kegiatan-kegiatan organisasi seperti Taruna Melati, pengajian, seminar, dan lain sebagainya.
Pola penjadwalan kegiatan yang berpihak pada kepentingan proses belajar mengajar disosialisasikan hingga tingkat ranting melalui berbagai pertemuan.

3. Tertib Berorganisasi
“Adakanlah di antara kamu segolongan ummat yang senantiasa mengajak kepada Al Khair (Islam), amar makruf dan nahi mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran 104).
Pemahaman yang sangat mendalam KHA Dahlan terhadap QS Ali Imran 104 di atas, memberikan inspirasi beliau membentuk organisasi yang kemudian dinamai Muhammadiyah. Dalam paham KHA Dahlan segolongan ummat yang dimaksud adalah orang-orang yang mau berhimpun dalam organisasi untuk melaksanakan Dakwah Islam, Amar Makruf, Nahi Mungkar.  Karena ayat tersebut merupakan perintah, maka berhimpun dalam organisasi menjadi wajib.
Paham KHA Dahlan tersebut diperkuat dengan kaidah ushul yang menyatakan: “Maa Laa yatimmu al wajib illa bihi fahuwa wajib”, yang artinya: Suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya suatu alat, maka pengadaan alat tersebut menjadi wajib. Memperjuangkan Islam tidak mungkin tanpa organisasi, sebab musuh-musuh Islam terlalu kuat untuk dihadapi secara individual. Perjuangan menegakkan Islam hanyalah mungkin dilakukan dengan organisasi yang baik. Maka berorganisasi hukumnya wajib bagi setiap ummat Islam, sebagai cara untuk melaksanakan jihad fi sabilillah.
Kesadaran bahwa ber IPM merupakan bagian dari jihad fii sabilillah menimbulkan semangat bersungguh-sungguh dalam berorganisasi yang diwujudkan dengan kesediaan menjalankan organisasi sesuai sistem yang telah disepakati dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatannya dengan niat ibadah kepada Allah SWT untuk mendapatkan ridha-Nya.
Cara IPM dalam mengaktualisasikan Tertib Berorganisasi antara lain dengan:
·         Menerbitkan tuntunan dan panduan-panduan dalam berorganisasi, antara lain:
o   Sistem Perkaderan IPM (SPI)
o   Pedoman Kesekretariatan
o   Pedoman Seragam Ipmawati
o   Juklak-juklak dan lain sebagainya.
·         Kesediaan menjalankan organisasi sesuai sistem yang disepakati dengan kerelaan untuk mensubordinasikan diri ke dalam aturan dan tatanilai yang dianut oleh IPM, antara lain:
o   PP IPM hanya mau meng-SK-kan kepemimpinan IPM bila telah bernomor baku Muhammadiyah
o   Ketaatan kepada keputusan rapat meskipun berbeda dengan pendapat dan keinginannya.
o   Aktif menghadiri rapat-rapat IPM
o   Aktif menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh IPM
o   Bila tidak bisa menghadiri rapat atau kegiatan lainnya harus pamit dll.
Ketiga strategi tertib tersebut dilaksanakan bersama-sama dalam keseimbangan sehingga diharapkan menjadi jalan menuju sukses. Memang tidak mudah! Tetapi bukankah tidak ada sukses yang mudah di raih? Hampir semua kesuksesan melewati jalan yang sulit sehingga tidak semua orang berhasil melewatinya.
Semangat menjalankan 3 tertib, diikuti pula upaya mempercepat proses regenerasi dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk memimpin PP IPM. Dalam Konpiwil  IPM di Yogyakarta yang diselenggarakan menjelang Muktamar ke 7 IPM di Cirebon tahun 1986, disepakati batas usia maksimal Pimpinan IPM adalah 25 tahun, termasuk di PP IPM. Artinya, anggota pimpinan ketika telah berusia 25 tahun haruslah digantikan oleh kader lainnya. Kepemimpinan Khairuddin Bashori (Ketua Umum) dan Azwier Alimuddin (Sekretaris Umum) pada periode 1986–1999 yang merupakan hasil Muktamar Cirebon berada dalam masa peralihan di mana masih diberikan toleransi boleh berusia 25 tahun pada awal periode. Periode selanjutnya batas usia 25 tahun untuk akhir masa jabatan. 
Alhamdulillah, periode-periode selanjutnya pada kepemimpinan Jamaluddin Ahmad, Athaillah, Izzul Muslimin, dan seterusnya, meskipun nama IPM berubah menjadi IRM, Pimpinan Pusat dapat dipimpin oleh kader-kader muda yang ketika naik ke tampuk pimpinan masih berusia sekitar 22 tahun. Sdr Slamet bahkan baru 21 tahun saat terpilih menjadi ketua PP IPM dalam Muktamar di Bantul 2010 yang lalu. Dan yang menurut saya sangat menarik dan menggembirakan, saat ini banyak adik-adik yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA/SMK) yang menjadi Ketua PD IPM.  Ternyata mereka dapat mengukir prestasi yang membanggakan.

 

Khatimah

Demikianlah catatan subyektif saya tentang 3 tertib. Bila ada hal-hal yang tidak pas, kiranya teman-teman yang terlibat langsung dalam proses perumusannya dapat meluruskannya. Maklum, mengingat peristiwa yang telah berlalu lebih 27 tahun lewat, bukanlah perkara mudah. Saya mohon maaf kepada para senior dan temanteman yang saya sebutkan karena lambatnya proses penyelesaian studi. Saya tidak melihatnya sebagai aib, tetapi lebih merupakan bagian proses sejarah dan pembelajaran yang harus dilewati sebagai hasil ijtihad pada masa itu. Toh cepat lambatnya masa studi tidaklah selalu berkorelasi dengan kesuksesan karir selanjutnya.
Sebagai Learning Organisation, IPM tentu bisa mengambil manfaatnya bagigenerasi IPM  atau IRM selanjutnya banyak menghasilkan kader-kader muda yang bagus prestasi studinya dan bagus karir organisasinya.
Menurut pendapat saya, 3 tertib adalah strategi yang tak lapuk oleh waktu dan tetap penting untuk masa-masa yang akan datang, khususnya sebagai strategi untuk mempersiapkan kader-kader persyarikatan, kader ummat, dan kader bangsa. Terlebih pada era di mana sistem pembelajaran di sekolah menengah dan perguruan tinggi kurang memberikan ruang gerak yang memadai untuk berorganisasi, urgensinya menjadi semakin terasa. Organisasi memiliki fungsi yang amat penting sebagai media terbaik untuk menghasilkan pemimpin. Bila IPM berhasil menjadikan strategi 3 tertib tersebut menjadi bagian dari budaya organisasi, Insya Allah menghasilkan banyak pemimpin hebat.
IPM era 80 an menghasilkan Mas Busyro Muqaddas sebagai salah satu kader terbaik bangsa Indonesia, Mas Haedar Nashir sebagai salah satu kader terbaik persyarikatan, dan mbak Siti Noordjannah Djohantini sebagai kader yang dipercaya memimpin ‘Aisyiyah. Saya yakin prestasi tersebut dapat ditradisikan oleh generasi-generasi berikutnya.
Marilah kita jadikan IPM sebagai tempat penyemaian terbaik bagi pemimpin-pemimpin masa depan!
Hiduplah IPM kita
Suburlah IPM Kita
Majulah IPM kita
Untuk Selama-lamanya………!!



[1]Keputusan Tarjih tentang masalah 5: Apa itu Ibadah?


*) Penulis adalah dr. H. Agus Sukaca, M.Kes, merupakan dokter jebolan UGM yang saat ini masih menjabat sebagai Dokter Praktek Umum di Samarinda, 1993–sekarang, Dosen Akper Muhammadiiyah Samarinda, 1995–sekarang, Direktur RS Khusus Bedah, Bersalin, dan Anak “ Qurrata A’yun” Samarinda, 2004–sekarang. Ketua PW Tapak Suci Kalimantan Timur tahun 2000–2005, Ketua PW Muhammadiyah Kalimantan Timur, periode 2005– 2010. Ketua Majelis Ulama Indonesia Propinsi Kalimantan Timur periode 2007–2012. Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Pereiode 2010–2015.Pernah mengemban amanah sebagai Ketua I Pimpinan Pusat IPM tahun 1986-1989.

Pelajar Jatim Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa
IPM Gerakan Ideologis
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.