Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam

Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam

OpiniOpini Pelajar
44 views
Tidak ada komentar
Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam

Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam

OpiniOpini Pelajar
44 views
Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam
Narasi Sunyi: Meresapi IPM dari Dalam

Di balik gemuruh orasi pelajar, meriahnya kegiatan, dan deretan agenda yang padat setiap pekan, ada satu ruang yang sering terlupakan, ruang sunyi di dalam jiwa para kader. Sunyi ini bukanlah kekosongan, bukan kehampaan yang menelan bisingnya dunia luar, melainkan sunyi yang penuh perenungan. Ia hadir di sela-sela lelah seusai rapat, dalam keheningan saat menyusun program, bahkan dalam diam ketika seorang pelajar menatap langit malam, merenungi: mengapa ia memilih jalan ini? Mengapa ia berada di organisasi ini? Siapa yang membawanya ke sini?

Renungan itu akan membawanya pada pemikiran bahwa Ikatan Pelajar Muhammadiyah tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi organisatoris yang handal. Ia lebih dari sekadar struktur dan kegiatan; ia adalah gerakan ideologis—tempat para pelajar diajak untuk tumbuh secara utuh, intelektual, spiritual, dan sosial. Namun, proses itu tidak selalu riuh. Justru, ia lebih sering terjadi dalam senyap, dalam dialog dengan diri sendiri, dalam keikhlasan menjalankan amanah yang berat, namun mulia.

Meresapi IPM dari dalam berarti memahami bahwa setiap langkah dalam organisasi ini adalah perjalanan panjang dalam membentuk karakter. Tak semua orang melihat bagaimana seorang sekretaris menahan kantuk saat menyusun laporan, bagaimana seorang ketua harus mengambil keputusan yang sulit, atau bagaimana seorang kader baru mencoba memahami makna “amar ma’ruf nahi munkar” di tengah arus zaman. Semua itu terjadi dalam diam, namun berdampak besar pada jiwa.

Narasi sunyi ini tumbuh dari pengalaman. Dalam IPM, pelajar diajak belajar dari proses, bukan semata-mata hasil. Terkadang agenda gagal, peserta sedikit, atau program tak berjalan sesuai harapan. Namun, dari kegagalan itulah muncul ketabahan. Dari situlah lahir mental baja dan keberanian untuk mencoba lagi. Dalam kesunyian itu, pelajar belajar arti tanggung jawab—bukan karena ingin dipuji, tetapi karena merasa memiliki amanah yang harus ditunaikan.

IPM adalah ruang untuk bertumbuh, bukan sekadar bergerak. Ia bukan hanya kumpulan kegiatan, melainkan ladang pembelajaran nilai. Di balik setiap diskusi, pelatihan, hingga aksi sosial, tersimpan upaya untuk menanamkan prinsip Islam yang mencerahkan dan membebaskan. Kesunyian itu menjadi ruang reflektif untuk menimbang kembali: apakah kita masih berada di jalur dakwah? Apakah kita masih jujur pada niat awal?

Dalam IPM, pelajar tidak hanya dituntut untuk aktif, tetapi juga untuk sadar. Sadar akan identitasnya sebagai pelajar Muslim, sadar akan realitas sosial yang dihadapi, dan sadar bahwa perubahan sejati membutuhkan proses panjang—yang sering kali sunyi. Tidak semua kader tampil di depan, tidak semua mendapat sorotan. Namun, merekalah yang bekerja dalam diam yang justru sering menjadi fondasi kuat organisasi ini.

Narasi sunyi juga hadir saat pelajar IPM memilih untuk berdiri tegak dalam prinsip, ketika dunia mengajak untuk menyerah pada pragmatisme. Ketika yang lain mengejar popularitas, kader IPM diajak memilih jalan idealisme—jalan yang sepi, yang berat, namun penuh kemuliaan. Dari sinilah lahir kader yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.

Kita terkadang lupa bahwa IPM bukan tentang siapa yang paling sering tampil, tetapi tentang siapa yang paling ikhlas berjuang. Narasi sunyi adalah pengingat bahwa gerakan ini hidup dari keikhlasan, bukan dari tepuk tangan. Ia bertahan bukan karena fasilitas, melainkan karena komitmen kader-kadernya yang—meskipun lelah—tetap memilih untuk melangkah.

Kesunyian itu juga menjadi ruang untuk mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di tengah kesibukan dunia, kader IPM justru sering menemukan waktu paling intim dengan Sang Pencipta dalam kesendiriannya—doa-doa lirih di sepertiga malam, istighfar di sela-sela tugas, atau muhasabah selepas acara. Semua itu adalah bagian dari renungan dalam narasi sunyi yang memperkaya batin.

Meresapi IPM dari dalam adalah tentang menemukan makna dalam perjalanan—tentang menyadari bahwa organisasi ini bukanlah tempat untuk pamer kemampuan, melainkan ruang untuk belajar rendah hati. Suara-suara lirih yang menggerus hati kader yang memilih setia di jalan dakwah, meski tak selalu dihargai dunia. Dan justru dari kesunyian itulah, IPM menemukan kekuatan sejatinya: yakni menjadi gerakan pelajar yang menumbuhkan manusia, bukan sekadar menggerakkan massa.

  • Penulis adalah Alfhat GIfari, Anggota PW IPM Aceh Bidang PIP. Kenalan sama Alfhat melalui instagram-nya: @alfhatgfri 
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Gema Kebahagiaan dari IPM Banyumas: Resepsi Milad IPM ke-64 dan Deklarasi Sekolah Ramah Pelajar
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.