Abd Rahim Paparkan Potret Penegakan Hukum di Indonesia
Yogyakarta, IPM.OR.ID – Abd Rahim Gazali memaparkan bahwa LHKP PP Muhammadiyah telah mengeluarkan pernyataan akhir tahunnya. Dengan kata lain, apa yang diungkapkan Abd Rahim melalui webinar Muhasabah Akhir Tahun 2020 pada Kamis, (31/12/2020) merupakan murni pendapatnya sendiri dan tidak membawa nama LKHP PP Muhammadiyah.
Muhammadiyah tidak pernah mengukur indeks hukum dan HAM di Indonesia. Biasanya, pihak yang mengukur indeks tersebut adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkaitan dengan bidang hukum dan HAM.
“Dalam hal ini lembaga yang juga setara dengan institut mencatat adanya indeks tentang hak sipil dan politik serta hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,”ujar Abd Rahim.
Hak sipil dan politik di Indonesia pada tahun 2020 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Dari indeks skala 1-7 hanya senilai 2,8 saja. Artinya, skala tersebut masih jauh dari angka median. Padahal, di tahun 2019 berskala 3,” ungkapnya.
Begitu halnya dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jika di tahun 2019 lalu hak ekonomi, sosial, dan budaya mendapat nilai 3,5, di tahun ini hanya mendapat nilai 3,1.
Potret Penegakan Hukum di Indonesia
Abd Rahim menyatakan bahwa penting untuk mengetahui isu-isu hukum yang cukup krusial di penghujung tahun 2020 ini. Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) misalnya, isu ini termasuk persoalan umat Islam.
“Dalam perspektif hukum, pembubaran FPI dianggap sebagai pelanggaran due process of law,” kata Abd Rahim.
Sudah seharusnya kasus pembubaran FPI tersebut diproses melalui hukum terlebih dahulu, meskipun pelanggaran yang dilakukan FPI itu nyata adanya. Kejadian serupa hampir sama prosesnya dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bebrapa tahun lalu. Meskipun pada akhirnya kasusnya sudah selesai dan ada proses hukumnya.
Di era kepemimpinan Joko Widodo ini dianggap sebagai pemimpin yang risk taker. Bagaimana tidak, Presiden Jokowi kerap mengambil suatu keputusan yang kemudian diproses belakangan. Aktivis HAM menganggap jikalau hal ini dianggap sebagai hal yang cukup mengkhawatirkan.
“Mengenai hal tersebut, kita sebagai umat beragama sudah seharusnya memandang peristiwa seperti ini dengan merujuk pada dalil-dalil agama untuk mencari tahu ‘apakah kasus ini (pembubaran FPI) membawa manfaat atau mudhorot?’,” tutur Abd Rahim.
Isu lainnya yang tak kalah krusial dengan pembubaran FPI adalah meninggalnya enam laskar FPI yang mengantar Habib Rizieq. Ketika proses hukum sedang berjalan dengan keterlibatan Komnas HAM.
”Dengan keterlibatan Komnas HAM, semoga keadilan bisa ditegakkan karena Komnas HAM mendapat mandat untuk memperjuangkan kasus itu. Meskipun Komnas HAM tidak memutuskan, mereka hanya memberikan rekomendasi hukum saja,” terang Abd Rahim.
Isu ketiga adalah isu pengangkatan Kementrian Agama Yaqut Cholil. Kasus ini erat kaitannya dengan kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Sudah seharusnya menteri agama tak banyak berwacana dan langsung eksekusi saja karena selama ini yang menjadi korban ketidakadilan intoleransi adalah tindakan nyata dari pemerintah. Padahal, banyak sekali korban intoleransi yang bertahun-tahun menunggu keadilan. Misalnya, kaum Ahmadiyah sudah bertahun-tahun mengungsi karena mereka tak bebas dalam beragama, bahkan mereka ternistakan oleh kelompok yang lain. Begitu pula dengan Syiah, meskipun golongan tersebut sudah kembali ke rumah masing-masing setelah tinggal di kamp pengungsian.
“Selain itu, banyak pula tempat ibadah yang dirusak karena intoleransi. Kasus-kasus seperti ini harus segera diselesaikan kementrian agama karena seperti yang kita tahu bahwa sebelum menjadi mentri, Yaqut Cholil merupakan orang yang sangat konses dengan kejadian intolerasi di Indonesia,”jelas Abd Rahim.
Kritik Terhadap Pemerintah Harus Sesuai Dengan Nilai-Nilai Agama
Sebuah lembaga riset mengeluarkan penilaian terhadap kinerja pemerintah yang ternyata hasilnya di luar ekspektasi. Kinerja presiden mendapat angka 74%, sedangkan kepuasaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani Covid-19 mencapai angka 57%. Hal ini terjadi mungkin karena pihak yang diwawancarai bukan orang-orang yang merasakan dampak Covid-19 secara langsung. Padahal, pada kenyataanya Indonesia belum siap dengan kondisi ini.
Berbicara tentang pihak opisisi di Indonesia, mereka yang beroposisi dari kelompok agamawan menganggap jika agama hanya dijadikan sebagai pemukul. Padahal, agama ada untuk dijadikan sebagai sarana menyampaikan nasehat-nasehat kebaikan.
Abd Rahim menyampaikan bahwa tidak ada pemimpin yang lebih kejam daripada Fir’aun. Allah mengutus Nabi Musa a.s untuk menghadap Firaun dan menyampaikan kepadanya qoulan layyian.
Dalam melakukan kritik pemerintah, para oposer menjungkirbalikkan nalar publik dengan menempel stempel dungu tanpa penjelasan.
“Hal ini tentu bisa menyebabkan hilangnya rasa simpati terhadap para pihak oposisi,” tutup Abd Rahim. (Inas)