Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi

Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi

Jawa TimurOpiniOpini Pelajar
1K views
1 Komentar
Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi

Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi

Jawa TimurOpiniOpini Pelajar
1K views
Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi
Menjustifikasi Taruna Melati Utama Daring dalam Perspektif Etika Deontologi

Salah satu hajatan terbesar nasional IPM selain Muktamar yang juga sampai sekarang dalam proses pengkajian di tengah pandemi Covid-19 adalah terkait nasib dan kejelasan dari Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama (PKP-TMU). Tentu bagi saya, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) tidak menginginkan setiap program kerjanya kehilangan substansi, esensi dan nilai-nilai yang akan dibawa.

Apalagi, dengan hajatan se-tingkat nasional dan se-sakral TMU yang kerap kali memiliki tuntutan segenap pelajar Muhammadiyah untuk menggaungkan resonansi pemikiran dan gerakan bagi berlangsungnya IPM ke depan. Selain itu, secara praktis hasilnya juga tentu akan dibawa ke gelanggang keilmuan sebesar Muktamar, untuk diperas hingga menghasilkan sari pati pemikiran dan gerakan bagi segenap pelajar Muhammadiyah di seluruh Indonesia bahkan penjuru dunia.

Setelah melalui rangkaian pendaftaran, pada tanggal 25 Februari 2020, PP IPM telah mengumumkan secara resmi peserta terpilih sebanyak 30 orang yang tersebar di lima puluh persen dari Pulau Jawa dan lima puluh persen dari luar Pulau Jawa. Kebetulan, saya termasuk salah satu peserta yang terpilih dari Jawa Timur bersama dua sahabat yang setia menemani saya, yakni Ipmawan Dedi Kurniawan (Ketua Umum) dan Ipmawan Muflih Ramadhani (Sekretaris Umum).

PKP-TMU Diundur

Namun, hajatan sakral yang rencananya akan diadakan pada tanggal 24 – 31 Maret 2020 di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat  tersebut, secara resmi ditunda dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Lebih tepatnya, yaitu pada tanggal 16 Maret 2020 melalui akun Instagram PP IPM, dengan mempertimbangkan Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang Wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) serta melihat kondisi terkini.

Beragam komentar dilayangkan oleh netizen di akun Instagram PP IPM, salah satunya adalah dari Naban Mudrik (Ketua Bidang PIP PW IPM DIY) yang juga peserta PKP-TMU. Dia berkomentar, “Siap min, ngga ada yang sepadan dengan nyawa”.

Kemudian, pada tanggal 29 Agustus 2020 PP IPM mengadakan Tanwir bersama PW IPM Se-Indonesia untuk membahas kejelasan dari Muktamar dan periodisasi IPM. Tanwir tersebut menghasilkan keputusan bahwa Muktamar akan dilaksanakan secara hybrid (campuran) pada bulan Maret 2021, mundur empat bulan dari rencana awal yaitu pada bulan November 2020. Terlepas dari konsistensi keputusan tersebut dengan mempertimbangkan kondisi, namun yang jelas keputusan tersebut dapat dijadikan patokan untuk pimpinan di bawahnya terutama terkait periodisasi IPM.

Jika menggunakan hukum liniear-positivistik, secara logika jika PP IPM selesai pada bulan Maret 2021. Maka PW IPM selesai pada bulan April 2021, PD IPM selesai pada bulan Mei 2021, dan seterusnya ke bawah. Yang jelas, fakta kerasnya adalah periodisasi IPM sudah diterangkan kapan berakhirnya. Artinya, mau tidak mau apapun keadaannya setiap pimpinan harus tetap melaksanakan program kerjanya melalui proses adaptasi dan perubahan-perubahan yang dimusyawarahkan di masing-masing internal pimpinan.

Bagaimana Nasib PKP-TMU?

Jika berbicara tentang prediksi kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Tentu banyak sekali versi-versi yang beredar di media. Setiap ilmuwan memiliki prediksi yang juga beragam. Ada yang mengatakan bahwa tahun 2021 sudah selesai, 2022 baru selesai, dan lain-lain. Kita sangat kebingungan. Muktamar dan periodesasi sudah sedikit tercerahkan. Lantas bagaimana dengan nasib PKP-TMU? Apakah tetap bersikukuh untuk melakukan secara offline demi mempertahankan nilai dan substansi seperti dalam kondisi normal? Atau menyesuaikan keadaan dengan model baru secara daring?

Fakta kerasnya adalah periodesasi sudah jelas berakhir pada bulan Maret 2020, sedangkan situasi belum bisa dikendalikan sampai pada bulan tersebut. Konsekuensinya, PKP-TMU tidak dapat dilaksanakan secara offline. Namun, harus tetap dilaksanakan. Bagaimana caranya? Tentunya mau tidak mau secara daring.

Lantas bagaimana problem etis yang muncul jika PKP-TMU sebagai kegiatan sakral, dilakukan secara daring? Kalau demikian, tindakan apa yang semestinya dilakukan agar tidak menimbulkan persoalan etis?

PKP-TMU dan Persoalan Etis

Menurut etika deontologis, tindakan dikatakan benar/sah/sesuai standar adalah apabila selaras dengan prinsip kewajiban. Kewajiban sekarang adalah menjaga kesehatan, di atas kewajiban kita menjaga agar PKP-TMU tetap ideal seperti yang telah tertuang dalam SPI–yang identik dengan pertemuan offline, berlama-lama, dan menginap.

Oleh karena itu, etika deontologis tidak menganggap hasil tindakan, sebagai penilaian moral. Bukan berarti mengesampingkan kualitas hasil PKP-TMU. Namun, kesehatan dan nyawa lebih penting. Ditambah dengan periodisasi yang sudah jelas dan Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir.

Bagi Kant, moralitas bukan hanya sekadar apa yang kita lakukan. Tetapi, mengapa kita melakukannya. Perbuatan yang benar bukan datang dari perasaan. Tetapi, datang dari penalaran yang mengatakan: apa kewajiban kita sebagai manusia, terlepas dari bagaimana perasaan kita saat itu. Dalam konteks PKP-TMU, bila pada akhirnya kegiatan tersebut dengan terpaksa dilaksanakan secara daring karena adanya peserta yang berbeda-beda provinsi untuk mencegah penularan. Maka, karena kita memahami dari penalaran bahwa hal itu merupakan kewajiban kita (untuk taat pada otoritas utama yaitu kesehatan), hal itu adalah tindakan bermoral.

Dalam pandangan Kant, intensi lebih mudah diterima daripada emosi. Kebanyakan dari kita menilai tindakan satu sama lain dari apa yang kita sedang lakukan, ketimbang hasilnya. Emosi dalam konteks PKP-TMU adalah menganggap kalau tidak bertemu secara langsung, maka tidak afdhol, tidak dapat feel, dan tidak seru. Serta menganggap kualitas PKP-TMU daring lebih rendah daripada PKP-TMU offline.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Nabhan Mudrik Alyaum dalam tulisan Ketakutan Tak Beralasan Terhadap Muktamar Hybrid. Ia menjelaskan bahwa ghirah atau syiar, dan sebagainya, tidak akan menurun ketika kegiatan harus dan wajib dilakukan secara daring.

Deontologi dan Utilitarianisme

Lawan dari deontologi adalah utilitarianisme. Jika deontologi menerapkan dan mementingkan proses daripada hasil. Sebaliknya, utilitarianisme mementingkan hasil daripada proses. Jika kita masih menganggap bahwa PKP-TMU yang bermoral atau yang berkualitas adalah yang sesuai SPI (Dalam artian tatap muka dan menginap, yang semua itu hanya ada dalam kondisi normal tidak seperti sekarang). Kemudian, orientasi penuh pada hasil tersebut, maka etika utilitarianisme digunakan. Namun, proses tidak diperhatikan bahkan serampangan. Dalam hal ini, demi terwujudnya PKP-TMU yang berkualitas dalam standar kondisi normal, mempertemukan peserta seluruh Indonesia ke dalam satu tempat, akan menambah risiko penyebaran Covid-19.

Namun, akan berbeda jika menggunakan etika deontologi. Meskipun terkesan tidak memperdulikan hasil, akan tetapi probabilitas PKP-TMU untuk dikatakan sukses dan berkualitas masih ada. Meskipun, dilakukan secara daring demi kesehatan dan nyawa.

Logika premisnya, ketika kesehatan tidak dalam ancaman. Artinya, kemungkinan keberhasilan pelatihan itu masih ada. Karena semakin besar kemungkinan untuk hidup, maka semakin besar pula kemungkinan untuk melakukan yang terbaik. Namun, jika kesehatan terancam. Maka, kemungkinan untuk menuju apa yang bermoral atau yang berkualitas itu semakin kecil. Jika ngotot PKP-TMU dilaksanakan secara offline demi mendapatkan hasil yang baik, maka yang didapatkan adalah sebaliknya, yaitu bencana kesehatan.

***

Jika logika itu masih belum diterima. Baik, agar terlihat berbau Islami, saya akan gunakan kaidah hukum fikih yang bernama rukhsah. Dengan adanya rukhsah, manusia bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (Al-hajat) dan keterpaksaan (Ad-dariirat).

Jika salat sebagai ritual Islam, kegiatan yang berorientasi pada akhirat, terdapat keringanan atau kelonggaran. Apakah PKP-TMU yang juga dianggap sakral di perkaderan, yang termasuk urusan duniawi, tidak mendapatkan keringanan juga dalam bentuk daring di situasi seperti sekarang? Saya meyakini bahwa IPM tidak sekonservatif itu dalam menyikapi keadaan, perubahan dan kedaruratan.

*) Catatan:

  • Penulis adalah Nashir Efendi Ketua PW IPM Jawa Timur Bidang Perkaderan
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Tags: ,
Terapkan Konsep Hibrid, IPM Banyumas Sukses Selenggarakan Konpida
Refleksi 6 Tahun SPI Kuning: Kabid Perkaderan Se-Jawa Adakan Diskusi Perkaderan Nasional
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

1 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.