Tidak ada yang benar dan salah dalam menafsirkan tujuan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Sistem Perkaderan IPM (SPI) dan paradigma dibuat untuk menerjemahkan tujuan ini.
Tagar dan jargon-jargon seperti “Generasi Emas”, “Pelajar Berdaya”, atau “Pelajar Berkemajuan” juga dibuat untuk mengontekstualisasikan tujuan IPM ke dalam lingkungan dan konteks masing-masing. Meski ini adalah indikasi baik dari kreativitas kader, tak jarang menjamurnya tagar dan refreshment ini justru membuat ada semacam kekaburan dalam menerjemahkan inti gerakan IPM.
Tulisan saya yang lewat yang berjudul “Apa yang Tak Nampak dari Dampak” memotret kegelisahan ini. Sesuatu yang diglorifikasi berlebihan seringkali jadi kehilangan makna. Menjadi purposeless. Oleh karena itu, singkatnya, makna harus dikembalikan.
Melalui tulisan ini, saya menawarkan kacamata baru dalam memandang gerakan IPM ke depan, yang mudah-mudahan sesedikit-sedikitnya mampu memperbaiki cara kita meneropong makna dalam tubuh ikatan. IPM adalah organisasi yang relational dan ethical.
Tujuan IPM
Untuk kembali mengingatkan, tujuan IPM tak lain tak bukan tertera jelas dalam banyak dokumen resmi:
Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Bila dimaknai secara eksplisit, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam tujuan ini. Pertama, IPM adalah organisasi yang bernafaskan Islam. Bergerak, berproses, dan berdampaknya IPM memiliki dimensi ilahiah dan transendensi.
Kedua, tujuan di atas menegaskan bahwa IPM adalah gerakan ilmu. Ini artinya, dalam kebijakan dan program-programnya, IPM menggunakan pengetahuan sebagai basis pijakan untuk bisa memberi manfaat. “Ilmu yang amaliah, amal yang ilmiah”.
Ketiga, ada penekanan pada dimensi non-akademik dalam tujuan IPM, ‘Berakhlak mulia’ dan ‘Terampil’. Kemampuan ini menekankan pentingnya soft-skill, hard-skill, dan karakter dalam berinteraksi, yang menurut saya merupakan traits utama dari seorang pemimpin.
Cakupannya yang luas dan general membuat tujuan ini relevan dalam memandang kompleksitas zaman. Sebutlah misalnya tantangan soal transisi generasi z ke alpha, krisis iklim, krisis moral, post-truth, artificial intelligence, dan lain sebagainya, semua prinsip dari tujuan IPM akan selalu berguna menghadapi ombang-ambing zaman. Tetapi, tentu untuk bisa diberlakukan dalam aturan organisasi, tujuan ini harus diterjemahkan dalam sebuah model.
Dua bagian setelah ini akan membahas model tersebut, mulai dari asumsi dasarnya.
Relasionalitas dan Etika: Asumsi Dasar Era Baru IPM
Muktamar IPM ke-23 di Medan mengejawantahkan tujuan IPM di masa depan sebagai ‘Era baru’. Secara eksplisit, setelah merenungi imajinasi soal Era Baru, saya membaca tujuan IPM dalam 10 tahun ke depan ialah untuk collaboratively thriving in the world.
Collaboratively thriving in the world adalah tujuan yang tak datang dari ruang hampa, sebab tujuan ini digarisbawahi oleh dua asumsi dasar yang dipengaruhi oleh gagasan pendidikan dari Starratt (2014) dan Biesta (2015): Pertama, IPM adalah organisasi yang bersifat relasional (relational) karena pelajar, program, dan semua agenda di IPM berinteraksi secara lokal dan global untuk berkontribusi terhadap kemanusiaan.
Kedua, IPM adalah organisasi yang menekankan etika (ethical) sebab IPM tak ubahnya seperti sekolah kehidupan yang mempersiapkan manusia untuk secara etis memikul tanggung jawab ‘orang dewasa’, sehingga pelajar bisa untuk menghormati tidak hanya manusia lain, tetapi juga organisme hidup lainnya (pohon, hewan, tumbuhan, dll).
Sebagaimana disinggung, tujuan IPM didasarkan pada gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang relasional. Relasional artinya, manusia tersusun secara komprehensif (secara fisik, psikologis, sosial, dan budaya) melalui hubungan dan interaksinya dengan dunia (Starratt, 2014).
Kader IPM disusun tidak hanya oleh rekan sejawatnya, tetapi juga dibentuk oleh iklim sekolah, lingkungan, dan alam raya. Sehingga akhirnya tentu, memahami hubungan antar individu di IPM memerlukan konteks yang lebih luas dan majemuk.
Pelajar yang relasional, memiliki apa yang oleh Biesta (2015) disebut sebagai kualifikasi, sosialisasi, dan subjektifikasi. Biesta menyinggung, bahwa kualifikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Dimensi kualifikasi punya keterkaitan dengan tujuan IPM: Mempersiapkan seseorang untuk memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tetapi tentu, bukan kecerdasan dan keterampilan saja yang menjadi poin penting tujuan IPM. Teschers et al. (2024) menyebut bahwa manusia perlu menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan (kualifikasi) dengan sosialisasi dan subjektifikasi.
Sosialisasi maknanya kader IPM harus belajar untuk ‘being’ dan ‘doing’ dengan orang lain di luar kehidupan mereka. Pelajar harus meyakini bahwa mereka bukanlah satu-satunya elemen yang ada di dunia. Mereka hidup bersama alam dan peradaban lainnya. Sementara itu, subjektifikasi artinya, pelajar secara eksistensial menemukan makna dalam hidup mereka sendiri di dunia (Biesta, 2015; Segev, 2024; Tescher dkk., 2024).
Kader yang dibentuk melalui ketiga domain tersebut tidak hanya akan memanusiakan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya tetapi juga budaya, masyarakat, dan peradaban dunia yang lebih luas. Ia membangun relasionalitas dengan alam raya dan peradaban di dalamnya.
Konsep relasionalitas ini juga berkaitan dengan bagaimana IPM menjadi ‘etis’ atau ethical. IPM menjadi etis dengan mempersiapkan kader untuk mangampu ‘tanggung jawab orang dewasa’.
Menurut Starratt (2014), manusia baru bisa secara paripurna menemukan karakternya ketika menghadapi dinamika kehidupan (tantangan, mimpi, keindahan, kengerian, kemenangan dan kekalahan) hingga ia berkembang menjadi makhluk yang ‘etis’; yang telah mencapai sifat-sifat kedewasaan: Otonomi (autonomy), keterhubungan (connectedness), dan transendensi (transcendence).
Pelajar yang telah memperoleh pengetahuan dan keterampilannya, mampu dengan mudah menemukan dirinya di tengah-tengah ‘kerumunan’, dianggap memiliki otonomi. Setiap orang memiliki otonomi. Bahkan tumbuhan dan seluruh elemen di bumi memiliki otonomi. Menjadi pelajar yang etis, artinya mengakui otonomi tersebut; otonomi manusia lain, tumbuhan, binatang, dan produk peradaban lainnya. Elemen ini adalah elemen keterhubungan.
IPM harus terus berusaha menghasilkan pelajar yang ‘beretika’ karena hanya melalui etikalah manusia menumbuhkan kepemilikan, tanggung jawab, rasa keterhubungan dengan dunia, kemampuan untuk menghormati otonomi orang lain, dan selalu berusaha yang terbaik untuk memajukan dunia ke arah yang lebih baik (transendensi).
Biesta (2021) mengemukakan poin penting dalam World-Centered-Educationnya, bahwa pelajar harus memikirkan tidak hanya tentang apa yang diinginkan seseorang untuk dirinya sendiri tetapi juga apakah hal tersebut diinginkan atau tidak dari sudut pandang orang lain (orang-orang di sekitar kita, masyarakat), dunia (kemanusiaan, lingkungan hidup), dan lain-lain. Sifat-sifat kekhalifahan inilah yang kemudian membawa manusia pada rida Ilahi dan menghubungkan manusia dengan Allah (transendensi).
Collaboratively Thriving in the World
Dua asumsi inilah yang membentuk tujuan IPM dalam 10 tahun ke depan. Dengan menjadi pelajar yang relasional dan etis, IPM memberi dampak tak hanya bagi kemanusiaan, tetapi juga bagi peradaban. Kader yang etis, yang mengampu tugas orang dewasa ialah mereka yang terhubung jiwanya dengan kaum marjinal dan alam yang rusak. Kader yang relasional adalah kader yang berdialog dengan dunia.
Itu mengapa dalam tujuan yang saya gambarkan, saya menggunakan kata ‘collaborative’. Sebab ‘collaborative’ bukanlah menggabungkan atau meleburkan dua nilai jadi satu, tetapi justru menghormati dan mengakui nilai masing-masing individu dan berupaya mencapai tujuan yang sama. ‘Collaborative’ mengartikulasikan sebuah proses keterhubungan yang otonom, connected, dan transendens.
Sementara itu, ‘thriving in the world’ melihat bagaimana melalui kecerdasan, keterampilan, karakter, dan nilai pelajar terhubung dengan dunia. ‘Thriving’ di dunia memiliki dua tujuan: Mengembangkan kompetensi global dan hidup secara berkelanjutan dengan sumber daya di bumi; melindungi keanekaragaman hayati dan ekologinya (Hannon & Peterson, 2021).
Komponen-komponen yang saling berkaitan ini harus dimasukkan dalam cara pandang kader IPM; misalnya, jumlah air dan cahaya yang digunakan di dalam pelatihan di IPM akan berdampak pada pelestarian alam.
Akhir kata, collaboratively thriving in the world menekankan bagaimana kader IPM memandang dirinya sendiri sebagai pelajar yang terhubung dengan dunia, yang satu aktivitas kecilnya bisa berdampak bagi sekelilingnya, yang karakter dan otonomi dirinya membuatnya stand out dan bisa ‘tampil di muka’.
Menerjemahkan Era Baru dalam Sebuah Model
Memang tujuan yang saya uraikan di atas akan terdengar sangat utopis. Tetapi pada dasarnya, disitulah peran pimpinan IPM: menerjemahkan tujuan dan visi-misi organisasi menjadi model yang bisa ‘dilihat’ dan ‘diukur’. Collaboratively thriving in the world tentu juga demikian. Asumsi relasional-etis memiliki implikasi pada kurikulum (SPI) dan model pelatihan.
Secara umum, Manyukhina & Wyse (2019), mengkategorikan kurikulum menjadi tiga: (1) Kurikulum berbasis pengetahuan (knowledge-based), dimana proses perolehan pengetahuan sangat sentral; (2) Kurikulum yang berorientasi keterampilan (skill-oriented), penekanan yang sama pada kompetensi dan skill; dan (3) Kurikulum yang berpusat pada pelajar (student-centered), kurikulum yang kurang menekankan pada domain tertentu sehingga seseorang bisa berkembang secara holistik.
Tujuan Era Baru IPM bersinggungan dengan dimensi knowledge-based dan skill-oriented. Selain itu, tujuan tersebut juga tak selaras dengan model student-centered sebab tujuan IPM yang dimaksud, lebih cenderung berpusat pada dunia (World-centered) dimana pelajar harus berinteraksi dengan guru, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas.
Ditinjau dari asumsi dasarnya, tujuan ini bermaksud untuk mengajarkan pelajar bahwa apa yang mereka lakukan dapat berkontribusi pada dunia. Oleh karena itu, dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan, terdapat lingkungan dan budaya yang menjadi bagian dari dialog dunia.
Secara eksplisit, tabel di bawah menggambarkan letak tujuan IPM pada alternatif tujuan lainnya:
Knowledge-Based Approach | Collaboratively Thriving In the World | Skills-Oriented Approach | |
Asumsi Dasar | Pelajar mempelajari core pengetahuan sebagai aktualisasi | Pelajar memperoleh skill dan pengetahuan untuk secara etis dan relasional berdialog dengan dunia | Pelajar mempelajari skill dan keterampilan sebagai aktualisasi |
Peran Fasilitator | Transmitter of knowledge, sumber interaksi dan proses belajar | Coaching dan mentoring pelajar, membangkitkan kritisisme dan reflektivitas dalam belajar | Mentor dan pemandu proses belajar |
Peran Pelajar | Memperoleh pengetahuan, mengaktifkan nalar kritis | Merefleksikan pengetahuan dan keterampilan untuk berdialog dengan dunia | Memperoleh keterampilan, melatih, memperoleh pengalaman |
Pendekatan Berpikir | Critical thinking | Reflective thinking | Analytical thinking |
Tugas Pimpinan
Tentu saja, apa yang saya tawarkan soal cara memandang tujuan IPM sangat bisa dibantah. Penafsiran ini adalah tugas masing-masing, tetapi untuk mengejawantahkannya, jelas ini tentu tugas pimpinan IPM. Saya hanya ingin urun rembug. Mewarnai corak berpikir ikatan ini agar tak terjebak rutinitas yang praktis dan pragmatis.
Di masa depan, tak mungkin pelajar bisa mempelajari semua hal. Terlalu banyak skill dan ilmu yang harus diserap. Terlalu cepat untuk terlewat. Oleh karena itu, pelajar perlu bisa berdialog dengan dunia. Menggunakan kemampuan berpikir reflektif dan kritisnya, to collaboratively thrive in the world. Tabik.
- Penulis adalah Brilliant Dwi Izzulhaq, Ketua PP IPM Bidang PIP. Bercerita, menulis, dan sedang belajar di Australia.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.