“Meningkatnya kekerasan berbasis gender yang dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi penyalagunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi yang dipakai seorang untuk memaksa atau membohongi orang lain. Dampaknya adalah kehancuran integritas dan kepercayaan diri perempuan yang menjadi korban dan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan”.
(Saparinah Sadli, 2010: 88). [1]
“Kelahiran bidang ipmawati harapannya agar banyak muncul tokoh-tokoh perempuan yang mempunyai keberpihakan terhadap perempuan yang powerfull memperjuangkan hak-hak perempuan di ranah publik untuk dapat memberikan warna baru sebagai upaya memberi kebermanfaatan bagi umat, bangsa dan persyarikatan”.
(Velandani Prakoso, Ketum Umum PP. IPM 2016-2018).
“Pelajar perempuan adalah corong perubahan terbesar untuk gerakan perempuan, kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam pacaran dan kekerasan seksual menjadi persoalan yang besar bagi bangsa ini. Walaupun negara sering tidak hadir atas kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Pelajar perempuan harus bergerak dari bawah membangun sisterhood untuk membumi hanguskan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia”
(Ahmad Sarkawi, Kabid Ipmawati PP. IPM 2008-2010)
Di dalam lintasan sejarah para perempuan selalu mengalami penindasan dan marginalisasi, ini dapat dilihat dari masa jahiliyah di mana anak perempuan yang lahir akan dibunuh, karena bagi para kaum masa itu, kelahiran anak perempuan tidaklah memberikan kebanggaan dan kedudukan perempuan dalam masyarakat pada masa itu tidak mendapati posisi yang setara dengan lelaki sehingga kaum perempuan hanya menjadi objek bukan subjek yang bisa menentukan kehidupannya. Umar Bin Khattab mengatakan “Kami, pada zaman yang gelap, tidak mengangap apapun kaum perempuan. Tetapi ketika Tuhan menyebut mereka, kami baru tahu, bahwa mereka punya hak-hak otonom tanpa kami boleh mengintervensi. Dan ketika menjelang pulang, Nabi yang mulia itu, dengan suara terputus-putus berpesan: “Allah, Allah, fi al Nisa Innahunna wa Isthalaltum Furujahunna bi Kalimah Allah”.[2]
Penindasan dan subordinasi ini tidak hanya terjadi pada masa jahiliyah atau abad kegelapan namun sampai sekarangpun masih berlangsung penindasan terhadap perempuan dalam bentuk yang lebih canggih. Mansour Fakih mengatakan ada lima bentuk-bentuk penindasan atau ketidakadilan gender yaitu: Pertama, Double burden; perempuan melakukan pekerjaan domestik yang lebih lama dan banyak dari pada laki-laki. Kedua, Subordinasi; adanya anggapan yang merendahkan perempuan dalam segala bidang baik pendidikan, ekonomi dan politik. Ketiga, marginalisasi; berlangsungnya proses pemiskinan terhadap kaum perempuan, hal ini disebabkan perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis menyangkut kepentingan dirinya dan publik. Keempat, stereotype; adanya cap negatif yang dilekatkan kepada kaum perempuan seperti lebih mengutamakan perasaan ketimbang akal. Kelima, Violence; adanya kekerasan baik bersifat fisik dan psikis yang disebabkan oleh budaya patriarki.[3]
Bentuk ketidakadilan gender seperti double burden (beban ganda) masih berlansung di wilayah Indonesia, karena anggapan bahwa peran perempuan hanya berada diranah domestik sehingga kaum maskulin merasa itu bukan tugas mereka untuk membantu pekerjaan kaum perempuan. Kerja diranah domestik ini akan semakin berat apabila daerah yang menjadi tempat tinggal kaum perempuan itu mengalami dampak pembangunan seperti yang terjadi pada Ibuk-Ibuk Rembang dimana mereka merasakan bagaimana efek pembangunan pabrik semen terhadap kebutuhan air yang akan mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari.
Syaldi Sahude seorang aktivis aliansi laki-laki baru mengatakan pembagian peran domestik memiliki sejarah yang panjang dan tidak hanya terjadi dari level keluarga melainkan terjadi di setiap masyarakat, pada awalnya pembagian peran perempuan dan laki-laki tidak pernah terjadi namun kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dari waktu ke waktu membuat konstruksi sosial itu semakin melembaga, Pembangian peran ini di Indonesia selalu dikotomikan dengan cara laki-laki yang dianggap rasional memiliki peran diruang publik, perempuan yang dipersepsikan emosional hanya cocok untuk bekerja diranah domestik. Padahal tidak seperti itu, seharusnya laki-laki dan perempuan sama-sama mengurus kerja diwilayah domestik, mereka harus saling membantu makanya dalam hubungan suami-istri, mereka seharusnya bernegosiasi untuk pembagian peran domestik tersebut.[4]
Di dalam masyarakat Islam di Indonesia untuk menciptakan ruang yang partisipatif di ranah domestik dengan keterlibatan kaum laki-laki dibutuhkan pendekatan teologi feminis, dakwah yang berkeadilan gender dan pendidikan sejak dini sehingga dikotomi ini bisa diselesaikan dan dimasa depan kerja diranah domestik tidak hanya dilakukan oleh perempuan. Selain burden, ketidakadilan gender yang masih marak di Indonesia ialah kekerasan, kekerasan inilah yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik yang dilakukan oleh negara, suami, dan komunitas.
Data dari catahu Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan pada 2016 sebanyak 259.150. Kekerasan tertinggi terjadi pada kaum perempuan adalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang berjumlah 75% (10.205) Kasus. Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092, yang mana kekerasan seksual menduduki peringkat pertama sebanyak 2.290 dan disusul oleh kekerasan fisik 490 kasus. kekerasan yang terjadi di ranah keluarga dan relasi personal. KTI (Kekerasan Terhadap Istri) menempati peringkat pertama yang berjumlah 56% (5.784) kasus, pada peringkat kedua yakni; KDP (Kekerasan Dalam Pacaran) 21% (2.171) kasus. kekerasan pada peringkat ketiga dialami oleh anak perempuan sebanyak 17% (1.799). dan kekerasan lainnya dilakukan oleh mantan pacar, mantan suami dan lain sebagainya. Namun pelaku kekerasan seksual yang paling tinggi diranah relasi personal adalah pacar, bagi Komnas Perempuan kasus ini sangat sulit untuk mendapat keadilan.[5]
Meningkatnya kekerasan ini sangat berbahaya bagi kebudayaan dan masa depan generasi pelajar dikarenakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam keluarga dan ruang publik sangat memberikan pengaruh dan dampak bagi pelajar, IPM sebagai gerakan pelajar berkemajuan memiliki peran yang sangat besar untuk terlibat mengurai permsalahan gender dan kekerasan di Indonesia. Peran itu bisa dilakukan dengan edukasi dan advokasi dalam rangka mewujudkan peradaban yang berkeadilan gender. Peran edukasi yang bisa dilakukan oleh gerakan pelajar berkemajuan ini dengan cara internalisasi nilai-nilai feminis di dalam tubuh organisasi dan sekolah serta sistem pendidikan yang ada di setiap sekolah Muhammadiyah bahkan hingga sekolah negeri. Edukasi ini dapat dalam bentuk sekolah feminis dengan pengenalan dasar-dasar feminisme hingga sebuah gerakan dan kalau perlu memberikan kursus-kursus untuk pelajar perempuan serta mendorong pelajar perempuan yang berprestasi di Indonesia, peran edukasi yang dilakukan oleh IPM ini diharapkan melahirkan pemimpin pembaharu perempuan di bumi pertiwi ini, yang mana politik perempuan belum mendapatkan posisi yang setara dan seimbang dalam keterlibatan diskursus hingga penentuan kebijakan publik yang berkeadilan gender.
Pendidikan feminis yang dilakukan IPM akan mampu memperkuat pelajar perempuan dan laki-laki yang memiliki kesadaran gender secara teoritis dan praktis sehingga kalau ada kekerasan dan bentuk ketidakadilan yang terjadi dilingkungan sekitarnya maka diharapkan seorang pelajar mampu mencegahnya bahkan mengantisipasi agar praktek-praktek budaya patriarki itu mampu dikikis secepat-cepatnya. Pendidikan gender sebenarnya sudah berjalan di dalam tubuh IPM bahkan telah melahirkan pemimpin perempuan yang telah memainkan peran diberbagai tempat. Yang perlu dilakukan ialah massifikasi, mobilisasi sumber daya gerakan sehingga gerakan pelajar perempuan ini memiliki daya transformasi sesuai cita-cita gerakan.
Peran IPM dalam advokasi dapat dilakukan terhadap pelajar yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan gender, peran ini sangatlah mendasar, karena banyak sekali pelajar perempuan yang mengalami kekerasan di sekolah dan lingkungannya maka IPM perlu melakukan advokasi dan responsif terhadap kekerasan yang menimpa pelajar perempuan, dulu IPM pernah melakukan advokasi ini.
Ipmawati Dede mengatakan pada 2000 an kita melakukan advokasi terhadap pelajar perempuan diluar nikah, kalau dulu hamil dikeluarkan disekolah. Kita dulu memilih advokasi agar dia tetap sekolah, kalau sekarang mereka yang terkena pergaulan bebas ini melakukan pengunduran dirinya agar tidak terkena stigma. Kita bisa mengindetifikasi korban-korban yang mengalami kekerasan dan meresponnya.[6]
Kiprah pendidikan dan advokasi perempuan yang dulu pernah dilakukan oleh IPM mengalami kemandekan semenjak bidang Ipmawati dihapuskan dalam tubuh organisasi. Padahal bidang Ipmawati memiliki peran strategis dan fundamental untuk memperkuat peran kebangsaan IPM. Di hapusnya bidang Ipmawati inilah yang disebut oleh Fauzan Anwar Sandiah terjadinya stagnasi emansipasi dalam tubuh IPM. Kehadiran bidang Ipmawati melalui Muktamar Samarinda telah mengembalikan spirit dan ruh emansipasi gerakan IPM. Namun yang perlu diingat bahwa dihapuskannya bidang Ipmawati di tingkat pusat, tidak membuat bidang ini hilang di wilayah atau daerah bahkan ada daerah yang tetap mempertahankan bidang ini. sebagai contohnya wilayah Sulawesi selatan dan lainnya.
PW IPM Sulsel mengangap bahwa sesuai dengan analisis kebutuhan. Bidang ini sangatlah penting untuk menjadi wadah bagi para ipmawati dikarenakan bidang ipmawati inilah yang akan menjadi tempat pendidikan utama dan akan ikut memberikan kontribusi besar.[7]
Keberadaan bidang ini bukan hanya penting di satu wilayah namun seluruhnya hingga tingkat pusat sehingga eksistensi bidang ini mampu mendorong transformasi kecil hingga transformasi besar, adanya bidang ipmawati akan meneguhkan dan memperluas ranah dakwah IPM, kalau sekarang IPM memiliki tiga lokus gerakan seperti yang dikatakan oleh Velandani Prakoso bahwa IPM konsen pada literasi, sosio-entreprenurship dan konservasi ekologi maka kehadiran bidang ipmawati ini akan melengkapi tiga lokus gerakan IPM. Gerakan feminis adalah gerakan yang akan memperkuat kiprah pelajar berkemajuan.
Keputusan Muktamar telah ada pembelaan terhadap teman sebaya, yang membuat IPM ikut serta untuk mengambil bagian, karena sebagai gerakan advokasi pelajar, khususnya pelajar perempuan IPM harus berada digarda terdepan dengan cara pendidikan dan pendampingan serta memberikan pemahaman bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki.[8]
Peran edukasi dan advokasi inilah yang harus dijalankan untuk menyelesaikan kasus-kasus ketidakadilan gender yang terjadi, IPM sebagai gerakan yang berkemajuan dan selalu berhasil membaca tanda-tanda zaman harus melakukan internalisasi pendidikan gender dan memperkuat peran pelajar perempuan di Indonesia sehingga melahirkan kepemimpinan pembaharu dan budaya yang adil serta berpihak pada perempuan. Strategi untuk melakukan internalisasi dengan cara pengarusutamaan gender dan adanya anggaran responsif gender di IPM.
Pengarusutamaan gender dan anggaran responsif gender kalau sudah berjalan maka IPM bisa menjadi pelopor organisasi responsif gender di tingkat organisasi pelajar dan gerakan mahasiswa di Indonesia, karena selama ini banyak gerakan pelajar dan mahasiswa tidak serius dalam melakukan internalisasi pendidikan gender, IPM sebagai pelopor organisasi responsif gender harus memainkan peran ini agar peradaban berkemajuan dan berkeadilan gender itu bisa diwujudkan. Namun yang tidak kalah penting dari itu, penelitian-penelitian tentang perempuan dan publikasi-publikasi ilmiah harus disegerakan, cita-cita transformasi ini bisa diwujudkan, sistem organisasi yang rapi dan kekuatan kelektif kolegial serta idealisme yang masih murni di miliki kader IPM menjadi kekuatan amat besar untuk mewujudkan gerakan pelajar berkemajuan sebagai pelopor organisasi responsif gender di Indonesia.
[1]Sadli, Saparinah. 2010. Viktimisasi Perempuan. Jakarta: Maarif Vol. 5 No. 2-Desember 2010. hlm,. 88
[2]Muhammad, Husein, 2009. Menghapus Dikotomisasi Menjemput Masa Depan. Jakarta: Maarif Vol. 4, No. 1-juli 2004. hlm,. 25
[3]Suleman, Zulkarnain dan Kau, Sofyan. 2014. Fiqih Feminis (Menghadirkan Teks Tandingan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hlm.. 4-5
[4]Sahude, Syaldi. 24/7/2017. Kerja-Kerja Domestik Adalah Tanggungjawab Laki-Laki dan Perempuan. http://www.jurnalperempuan.org/berita/syaldi-sahude-kerja-kerja-domestik-adalah-tanggung-jawab-laki-laki-dan-perempuan. Di Akses Pada Tanggal 8/2/17.
[6] Ipmawati Dede, Mengisi Acara Wokrshop Ipmawati PP. IPM di Universitas Muhammadiyah Yogyakatrta. (22/07/17).
*)Penulis adalah Hanapi. Pegiat RBK, LaPSI PP. IPM dan Peneliti Jihad Konstitusi Muhammadiyah)