Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menurut saya adalah salah satu organisasi yang sangat tersistematis dalam hal perkaderan formalnya. Dengan terkodifikasinya buku pedoman yang bernama Sistem Perkaderan IPM (SPI IPM), yang mana secara genealogis SPI-nya menunjukkan progresifitas yang terus berlanjut dengan dibuktikannya sudah beberapa kali diamandemen dan diperbarui sesuai perkembangan zaman, dan kemudian ditunjang dengan buku Pedoman Terpadu Pelaksanaan Perkaderan Nasional (PTPN), semakin menunjukan bahwa perkaderan di dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) ini tidak dapat dipandang sebelah mata, sangat sistematis sekali lagi.
Proses pengkaderan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) juga tidak hanya satu kali pelaksanaan, namun pelaksanaannya memiliki sekuel di setiap tingkatannya, yang tentu di setiap tingkatannya tersebut juga saling terintegrasi. Ada taruna melati 1 di tingkat pimpinan ranting dan pimpinan cabang, lalu ada taruna melati 2 di tingkat pimpinan daerah, taruna melati 3 di pimpinan wilayah dan taruna melati utama di pimpinan pusat.
Esensi Taruna Melati: Proses Internalisasi
Pada intinya yang saya tangkap dari maksud dan tujuan perkaderan IPM di SPI, bahwasannya tujuan utamanya adalah untuk membentuk kader, atau bisa dimaknai juga sebagai proses internalisasi (kbbi:pendalaman, penguasaan), karna dalam proses tersebut ada satu kompetensi dasar yang harus dicapai oleh seorang peserta kaderisasi, yang mana kompetensi dasarnya sudah terbentuk melalui analisa terlebih dahulu oleh fasilitator. Ada babagan perihal ideologis, metodologis, wawasan & skill, dan muatan lokal. Babagan materi tersebut tentu diorientasikan untuk membentuk kader agar nantinya mampu dalam menganalisa dan bahkan menangani problematika pelajar di era globalisasi ini.
Proses kaderisasi di IPM tidak instan seperti apa yang dibayangkan, tidak se-pragmatis pula, ada beberapa tahapan yang harus dijalani demi terlaksananya proses kaderisasi yang diharapkan dapat terbentuknya kader yang diinginkan. Dalam PTPN disampaikan, ada proses pra; yang mana mulai dari pembentukan panitia, fasilitator, menganalisa, need assessment, dan screening, kemudian proses pelaksanaan atau berlangsungnya Taruna Melati, kemudian yang terakhir adalah proses pasca; follow up. Serangkaian fase tersebut tentu bertujuan tidak lain tidak bukan adalah sebagai upaya agar proses kaderisasi dapat berjalan sesuai semestinya, dan mampu menjawab kebutuhan serta problem-problem pimpinan tersebut di teritorialnya.
Oleh karena itu, maksud dan tujuan kaderisasi Taruna Melati ini adalah upaya untuk membentuk kader, menginternalisasi ideologi maupun metodologi, sebagai bentuk pembekalan kepada kader tersebut untuk nantinya mampu menjawab kebutuhan dan tantangan pelajar.
Kaderisasi yang Hanya Untuk Legitimasi
Memang tidak ada yang salah dengan proses perkaderan di IPM, dengan berbagai macam dinamikanya yang telah saya uraikan, dan urgensi untuk IPM kedepannya, akan tetapi menurut pengamatan saya di beberapa kasus, esensi taruna melati atau proses kaderisasi di IPM ini—berdasarkan Point of View (POV) peserta kaderisasi—bukan malah diorientasikan untuk menginternalisasi diri, melainkan untuk sekadar melegitimasi dirinya bahwa dirinya sudah merupakan Eks dari Taruna Melati sekian, sehingga akan bisa turut ikut berkontestasi di pemilihan formatur pimpinan di atasnya.
Mungkin agak nakal jika premis saya seperti itu, namun realitas di lapangan memang demikian. Kecewa memang ketika proses kaderisasi ini bukan dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, bukan dimaknai sebagai salah satu proses urgent yang mana setelah itu kita harus mampu mengimplementasikan beberapa ilmunya minimal di teritorialnya masing-masing—atau bahasa kerennya berdiaspora, namun malah dimaknai untuk sekadar pencarian pengakuan, agar bisa ikut formaturan.
Kecewa terberat saya sebagai seorang fasilitator adalah ketika menjumpai proses yang begitu sistematis ini, sesakral ini. Namun, hanya dimaknai untuk kepentingan diri sendiri. Memang tidak banyak yang seperti itu, tapi yang pasti ada. Memang sih, Taruna Melati juga menjadi prasyarat dalam formaturan di musyawarah tertinggi pimpinan tersebut, tapi harapan saya, para peserta atau yang dicalonkan untuk menjadi peserta taruna melati itu bukan hanya kader yang sebentar lagi habis masa jabatan, melainkan kader-kader yang akan melanjutkan estafet kepemimpinannya. Menurut saya misal kepesertaan—atau calon kepesertaan— seperti itu, pimpinan yang mendelegasikan kadernya untuk mengikuti taruna melati di atasnya akan tetap bisa merasakan impact dari hasil mengikuti pelatihan, sehingga pimpinan tersebut juga bisa lebih dikembangkan oleh sang kader eks pelatihan tersebut, terlepas dia nantinya akan menjadi apa di pimpinan itu.
Mungkin problematika proses kaderisasi taruna melati ini sangat begitu kompleks, tidak hanya perihal kepesertaan tadi, bahkan juga ada yang secara terang-terangan declared dirinya bahwa proses ini ia lalui hanya serta merta untuk bisa ‘naik’.
Resapi Taruna Melati, Seperti Lagunya yang Menyayat Hati
Taruna melati tidak begitu pragmatis, maksud dan tujuannya sangatlah orientatif, dan beban moril yang dibawa selepas pelaksanaannya juga tidaklah ringan. Tentu kita sudah akrab betul dengan lagu yang sering dinyanyikan saat akhir taruna melati, sebegitu menyayatnya hati hingga kita mayoritas meneteskan air mata ketika menyanyikan lagu tersebut di ujung proses kaderisasi. Maknanya sangat dalam, mengingatkan bahwa tugas yang akan diemban tidaklah mudah, kita hanya hamba yang lemah, hingga kita memohon kekuatan kepada-Nya.
Saya berharap, kita sebagai kader berkemajuan, memaknai proses kaderisasi sebagai suatu proses penting untuk membentuk diri, bukan proses untuk menaikkan kasta pribadi. Ingatlah selepas itu ada amanah yang harus dituntaskan dan ada kewajiban yang harus dijalankan.
*) Catatan
- Penulis adalah Daei Aljanni, Anggota Korps Fasilitator PW IPM Jawa Tengah dan Ketua Bidang Perkaderan PD IPM Klaten
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.